Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

YLBHI: Tanpa Sanksi Tegas, Mutasi Perwira Hanya Jadi Cara Mabes Polri Meredam Protes Publik

YLBHI menilai mutasi perwira hanya jadi cara Mabes Polri meredam protes publik. Tidak ada pemberian sanksi tegas terhadap perwira yang melanggar.

3 Januari 2025 | 17.36 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo memimpin upacara serah terima jabatan (sertijab) Kapolda dan beberapa Pati Polri, di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan, 29 November 2024. Dok.Humas Polri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengkritisi langkah Polri yang memutasi ratusan perwira dalam beberapa waktu terakhir. Menurutnya, mutasi Polri terkesan hanya sebagai upaya meredam protes publik tanpa memberikan sanksi yang tegas terhadap perwira yang melakukan pelanggaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pertama, masyarakat dan YLBHI itu bertanya. Karena seringkali ada kejadian, kesalahan yang dilakukan oleh seorang perwira atau petinggi atau komandan, tetapi kemudian cuma dimutasi ke posisi yang setara,” ujar Isnur saat dihubungi, Rabu, 01 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menilai bahwa mutasi tersebut bukanlah bentuk sanksi yang seharusnya diberikan kepada perwira bermasalah. Bahkan, dalam beberapa kasus, perwira yang dimutasi justru mendapatkan promosi setelahnya.

Isnur secara khusus menyoroti kasus-kasus yang melibatkan aparat kepolisian seperti yang terjadi dalam skandal Ferdy Sambo. Menurutnya, pola tindakan Polri yang tidak memberikan sanksi tegas terhadap anggota yang terlibat pelanggaran serius menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat. “Kita bertanya, kok seperti ini tindakan kepolisian? Alih-alih diberikan sanksi tegas, mereka malah dimutasi,” kata dia.

Lebih lanjut, Isnur mengangkat kasus Kapolrestabes Semarang yang diduga membuat berita palsu untuk menutupi kasus pembunuhan terhadap Gamma, seorang anak SMK yang mati ditembak Ajun Inspektur Dua Robig Zaenudin.

Ia menilai tindakan tersebut bukan hanya soal pelanggaran etik, tetapi juga melibatkan potensi pelanggaran pidana. “Ketika dia membuat cerita palsu tentang sebuah peristiwa, itu bukan hanya tentang jabatan yang harus dicopot. Tetapi dia telah membuat berita bohong. Itu ada ancaman pidananya,” kata Isnur.

Menurut Isnur, pemindahan jabatan tidak cukup untuk memberikan efek jera kepada aparat yang melanggar. Ia menekankan pentingnya proses etik kepegawaian yang diikuti dengan proses pidana, jika pelanggaran tersebut melibatkan unsur pidana. “Jangan sampai polisi terkesan melindungi kesalahan dari para anggotanya yang melakukan pelanggaran,” ujarnya.

YLBHI juga menyoroti fenomena berulang dalam tubuh Polri, di mana banyak aparat yang bersalah tetapi tidak ditindak secara tegas. Isnur menegaskan bahwa Polri perlu mengambil langkah lebih serius agar tidak merusak citra institusi, terutama terhadap aparat yang masih menjalankan tugas dengan baik.

“Ini adalah catatan besar. Kita terus menerus disuguhkan pengulangan cerita di mana ada banyak aparat yang bersalah, tetapi tidak ada tindakan tegas. Sebaiknya kepolisian tegas kepada orang seperti ini,” katanya.

YLBHI berharap agar Polri memperbaiki mekanisme penegakan hukum dan memberikan sanksi yang sesuai terhadap anggotanya yang melanggar. Hal ini dinilai penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum tersebut. “Masih banyak aparat yang baik-baik. Jadi, jangan sampai mereka juga ikut dirugikan karena ulah oknum yang tidak bertanggung jawab,” ujarnya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus