Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seorang pembunuh Syekh Mujibur Rahman kembali ke Bangladesh karena wabah corona.
Abdul Majed mendapat sejumlah posisi di pemerintahan sebelum kabur ke luar negeri.
Dua pembunuh lain diduga bersembunyi di Amerika Serikat dan Kanada.
SURAT yang diteken hakim Distrik Dhaka, Mohamad Helal Chowdhury, itu dibungkus kain merah dan dikirim ke Penjara Pusat Dhaka di Keraniganj, Dhaka, Bangladesh, pada 8 April lalu. Isinya perintah hukuman mati terhadap Abdul Majed, bekas kapten Angkatan Darat yang terbukti terlibat dalam pembunuhan Bangabandhu Syekh Mujibur Rahman, pendiri negeri itu, pada 15 Agustus 1975. Perintah keluar setelah Presiden Abdul Hamid menolak permohonan ampun Majed.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mujib—panggilan Mujibur Rahman—adalah ayah Syekh Hasina, Perdana Menteri Bangladesh dan pemimpin Partai Liga Awami. Hasina bersama adiknya, Syekh Rehana, adalah dua anggota keluarga Mujib yang tersisa dari pembantaian 45 tahun lalu oleh Majed bersama sekelompok tentara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majed menjadi buron selama dua dekade lebih dan diduga bersembunyi di India. Penangkapannya terjadi ketika pemerintah Bangladesh menutup negeri itu karena wabah Covid-19. Polisi aktif berpatroli untuk memastikan orang-orang tetap berdiam di rumah. Saat itulah polisi menerima laporan ada pria bercambang putih yang mirip dengan salah satu pembunuh Mujib di daerah Mirpur, Dhaka.
Abdul Majed, tersangka pembunuhan Syekh Mujibur Rahman./Youtube/V6 News Telugu
Polisi menangkap Majed pada 7 April dan menahannya di penjara Keraniganj. “Mungkin ketakutan akan virus corona memaksa dia pulang,” kata Menteri Dalam Negeri Asaduzzaman Khan, yang menyebut penangkapan itu sebagai “hadiah terbesar di Tahun Mujib”. Tahun ini adalah peringatan 100 tahun kelahiran Mujib.
Eksekusi Majed dijadwalkan berlangsung pada Sabtu, 11 April lalu, pukul 22.00, tapi tertunda karena hujan badai. Pada pukul 23.00, dengan kepala ditutup kain hitam, Majed dibawa ke tiang gantung yang terletak di sisi selatan penjara. Tepat satu menit lewat tengah malam, Kepala Pengawas Penjara Pusat Dhaka menjatuhkan sapu tangan sebagai tanda eksekusi. Dua algojo menarik tuas. Majed dibiarkan tergantung selama satu setengah jam untuk memastikan dia tak lagi bernyawa. Dia menjadi orang pertama yang dieksekusi di penjara yang berdiri pada 2016 itu.
Petugas penjara kemudian menyerahkan mayat Majed kepada istrinya, Saleha Begum. Mulanya, keluarga hendak mengubur Majed di kampungnya di Bhola, tapi warga desa memprotes. Akhirnya, mereka memakamkan Majed di makam keluarga mertuanya di Narayanganj, Sonargaon. Keputusan ini juga diprotes kalangan aktivis dan politikus. Polisi akhirnya turun tangan. “Jika ada yang mencoba membikin keributan, polisi akan bertindak,” ucap Inspektur Moniruzzaman, Kepala Kepolisian Sonargaon.
•••
ABDUL Majed lahir dari pasangan Ali Mia Chowdhury dan Meherjan Begum pada 5 Mei 1950 di Desa Batmara, Bhola. Tidak ada informasi tentang masa kecil dan remajanya. Yang pasti, pada 1975, dia sudah menjadi kapten Angkatan Darat.
Ketika Majed dewasa, Syekh Mujibur Rahman, yang memproklamasikan kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan pada 1971, menjadi presiden setelah partainya, Liga Awami, menang dalam pemilihan umum 1973. Tapi militer tampaknya tidak puas terhadap rezim Mujib dan isu kudeta pun mulai bertiup.
Dalam telegram rahasia kepada Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Kedutaan Besar Amerika di Dhaka melaporkan soal kunjungan mendadak dua perwira militer Bangladesh, Mayor Syed Farooq Rahman dan Mayor Khandaker Abdur Rashid, pada 11 Juli 1973. Mereka meminta informasi tentang pasokan dan harga senjata atas nama Komisi Penyedia Persenjataan pimpinan Wakil Kepala Staf Angkatan Bersenjata Bangladesh Brigadir Jenderal Ziaur Rahman. “Tak biasanya pejabat militer datang ke kedutaan tanpa perjanjian untuk meminta informasi semacam itu,” demikian bunyi telegram tersebut.
Telegram pada Mei 1974 bahkan menyebutkan Farooq menelepon ke rumah pejabat kedutaan, William F. Gresha. Ia memberi tahu bahwa militer sangat tidak puas terhadap pemerintahan Bangladesh dan ingin memastikan sikap pemerintah Amerika bila terjadi pengambilalihan pemerintahan.
Menurut pengakuan Farooq dan Rashid kepada wartawan ITV pada 2009, Farooq bertemu dengan Ziaur pada Maret 1975 dan menyampaikan perlunya “beberapa perubahan untuk memperbaiki negeri ini”. Zia—sapaan Ziaur—menolak terlibat, tapi mengatakan, “Jika kau ingin melakukan sesuatu, perwira muda harus melakukannya sendiri.”
Kudeta pecah pada 15 Agustus 1975 dinihari. Pelakunya sekitar 30 perwira muda, termasuk Abdul Majed. Tokoh kuncinya sejumlah mayor, termasuk Farooq, Rashid, Shariful Haque Dalim, Mohiuddin Ahmed, Abdul Kalam Mohamad (A.K.M.) Mahiuddin Ahmed, Bazlul Huda, dan Noor Chowdhury.
Mereka menyerang dalam beberapa kelompok dan membunuh 24 orang, di antaranya Mujib dan semua anggota keluarganya, termasuk Syekh Russell, putra bungsu Mujib yang baru berusia sembilan tahun. Syekh Hasina dan Syekh Rehana selamat karena sedang berada di luar negeri.
Mereka juga menangkap pemimpin Liga Awami, yakni bekas perdana menteri, Tajuddin Ahmed dan Mansur Ali; mantan wakil presiden, Syed Nazrul Islam; serta eks Menteri Dalam Negeri, Qamaruzzaman. Keempatnya dibunuh tiga bulan kemudian.
Dalam siaran radio setelah kudeta, Mayor Dalim mengumumkan bahwa negeri itu berganti nama menjadi Republik Islam Bangladesh dan darurat militer diterapkan. Khandaker Mushtaq Ahmed, bekas Menteri Perdagangan yang juga sepupu Khandaker Abdur Rashid, diangkat sebagai presiden.
Mushtaq Ahmed kemudian menerbitkan Ordonansi Penjaminan 1975, yang melarang setiap upaya mengadili orang-orang yang terlibat kudeta. Jenderal Zia menjadi orang paling berpengaruh pada masa itu. Dia menjadi presiden pada 1977 dan mendirikan Partai Nasionalis Bangladesh pada tahun berikutnya. Istrinya, Khaleda Zia, memimpin partai itu setelah Zia dibunuh sekelompok tentara yang disangka terafiliasi dengan Mujib pada 1980. Itu sebabnya Syekh Hasina dan Khaleda Zia terus bermusuhan hingga kini.
Selama Zia dan Khaleda berkuasa, orang-orang yang terlibat kudeta 1975 mendapat berbagai posisi di pemerintahan. Mereka dikirim Zia ke Libya, lalu diberi tugas di berbagai kedutaan. Majed bertugas di kedutaan Bangladesh di Senegal.
Setelah pensiun dari dinas militer pada 1980, Majed mendapat posisi di Dewan Direksi Bangladesh Inland Water Transport Corporation, badan usaha milik negara yang mengelola pelabuhan dan angkutan sungai. Dia kemudian menjadi direktur di Kementerian Pembangunan Pemuda, lalu direktur di Departemen Tabungan Nasional.
Keadaan berubah ketika Liga Awami memenangi pemilihan umum dan Syekh Hasina menjadi perdana menteri pada 1996. Parlemen mencabut Ordonansi Penjaminan, membuka jalan bagi pengadilan terhadap pelaku kudeta. Majed dan rekan-rekannya buru-buru kabur ke luar negeri. Saat diinterogasi polisi sebelum dieksekusi, Majed mengaku lari ke India, lalu ke Libya, Pakistan, dan kembali ke India. Empat tahun terakhir, dia tinggal di Kolkata dan sempat menghubungi keluarganya di Bangladesh.
Pada November 1998, pengadilan negeri menjatuhkan hukuman mati kepada 15 bekas tentara yang terlibat dalam pembunuhan Mujib. Pengadilan tinggi mengukuhkan putusan itu untuk 12 terdakwa. Lima terdakwa—Farooq, Sultan Shahriar, Bazlul, Mohiuddin Ahmed, dan AKM Mahiuddin Ahmed—sudah ditahan, tapi yang lain masih diburu, termasuk Abdul Majed. Adapun Aziz Pasha meninggal di Zimbabwe pada 2001. Mahkamah Agung mengukuhkan putusan pengadilan tinggi pada 19 November 2009 dan lima terdakwa yang ditahan kemudian dihukum gantung.
Menteri Asaduzzaman mengatakan pemerintah sedang mencari para terdakwa yang masih berstatus buron. “Kami punya informasi tertentu tentang keberadaan dua pembunuh dan mencoba membawa mereka pulang. Bila sudah di sini, mereka juga akan digantung,” ucapnya. Menurut media-media Bangladesh, Noor Chowdhury diketahui berada di Kanada dan Khandaker Abdur Rashid di Amerika Serikat.
IWAN KURNIAWAN (BANGLADESH POST, THE DAILY OBSERVER, THE BUSINESS STANDARD)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo