Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Peraih Nobel asal Filipina Maria Ressa dan situs beritanya Rappler dibebaskan oleh pengadilan atas dakwaan penggelapan pajak pada Rabu, 18 Januari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan ini, menurut pengawas media dan kelompok hak asasi manusia, adalah kemenangan bagi kebebasan pers dan supremasi hukum.
"Pembebasan ini bukan hanya untuk Rappler, ini untuk setiap orang Filipina yang pernah dituduh secara tidak adil," kata Ressa setelah putusan di Manila.
"Ini kemenangan untuk keadilan dan kebenaran. Tuduhan ini bermotivasi politik. Penyalahgunaan kekuasaan yang kurang ajar," katanya sambil menahan air mata.
Ressa adalah pemimpin Rappler, outlet berita yang mendapatkan reputasi karena pelaporannya yang mendalam dan pengawasan ketat terhadap mantan Presiden Rodrigo Duterte dan perang mematikannya terhadap narkoba.
Dia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian bersama seorang jurnalis Rusia pada 2021.
Kasus penggelapan pajak itu bermula dari tuduhan badan pendapatan negara bahwa Rappler telah menghilangkan dari pengembalian pajaknya hasil penjualan kuitansi penyimpanan kepada investor asing pada 2015. Itu kemudian menjadi dasar regulator sekuritas untuk mencabut lisensinya.
Pengadilan pajak mengatakan dalam putusannya bahwa mereka membebaskan Ressa dan Rappler karena kegagalan penuntut untuk membuktikan kesalahan mereka tanpa keraguan. Kementerian Kehakiman Filipina mengatakan menghormati keputusan pengadilan.
Ressa, 59 tahun, saat ini dalam jaminan. Dia mengajukan banding atas hukuman penjara enam tahun yang dijatuhkan pada 2020 karena tuduhan pencemaran nama baik. Dia telah melawan serangkaian tuntutan hukum pemerintah sejak 2018 yang digambarkannya sebagai bagian dari pola pelecehan.
Penderitaannya telah memicu kekhawatiran internasional tentang pelecehan media di Filipina. Negara itu disebut-sebut paling berbahaya di Asia bagi jurnalis.
Pengawas media dan kelompok hak asasi manusia memuji putusan pengadilan. Carlos Conde, peneliti senior di Human Rights Watch, dalam sebuah pernyataan, mengatakan vonis ini merupakan kemenangan bagi kebebasan pers di Filipina.
"Tantangan bagi pemerintahan Marcos adalah mencatat hal ini dan memastikan bahwa wartawan melakukan pekerjaan mereka tanpa rasa takut," kata Conde.
Pada Oktober, seorang jurnalis radio ditembak mati, di antara sejumlah orang yang tewas dalam dekade terakhir.
Filipina berada di peringkat 147 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2022. Komite Perlindungan Wartawan menempatkan Filipina di peringkat ketujuh di dunia dalam indeks impunitas 2021, yang melacak kematian anggota media yang pembunuhnya dibebaskan.
REUTERS