Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejak tahun 2022, Tim Cek Fakta Tempo telah membongkar 69 jenis konten hoaks terkait perang Rusia Ukraina dengan narasi yang berbeda-beda. Perbedaan narasi dan hoaks kemudian menyebabkan peperangan baru di dunia maya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tempo berjejaring dengan 70 negara lain yang tergabung dalam International Fact-Checking Network (IFCN) untuk melawan misinformasi/disinformasi seputar invasi. Polanya sama: diimpor, lalu ditambahkan dengan konteks lokal,” ujar Koordinator Tim Cek Fakta Tempo, Ika Ningtyas dalam seminar yang diadakan oleh AJI Indonesia, Rabu, 8 Februari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, Tempo menemukan 7 kategori narasi hoaks invasi Rusia ke Ukraina yang jamak beredar, yaitu:
- Narasi kedekatan Rusia dengan Indonesia, yang kemudian memberikan kesan Indonesia mendukung invasi Rusia ke Ukraina. Begitu pula sebaliknya, Indonesia digambarkan mendapat dukungan Rusia dalam isu-isu global. Seperti melawan peringatan WTO dalam larangan ekspor nikel hingga seolah-oleh siap berperang dengan Australia dalam isu Pulau Pasir
- Narasi ini adalah perang antara Rusia melawan Eropa dan Amerika Serikat
- Narasi keliru soal situasi konflik dengan menggunakan video-video lama, supaya menggambarkan bahwa pasukan Rusia lebih unggul
- Narasi seputar kondisi pemerintah Ukraina melalui bentuk parodi (lucu-lucuan). Sehingga memberikan persepsi seolah-olah perang ini tidak berdampak serius
- Narasi kedekatan Rusia dengan Islam, mulai dari “Vladimir Putin masuk Islam”, “Putin akan invasi Israel karena menyerang Masjidil Aqsha”, dan sebagainya. Ini menunjukkan bagaimana si pembuat hoaks memahami betul Indonesia yang memiliki populasi Muslim besar
- Narasi Presiden Jokowi atau pemerintah Indonesia berperan dalam meredam peperangan
- Narasi tentang kondisi pengungsi dan korban, yang menggiring audiens tidak perlu berempati
Seluruh konten hoaks yang dibongkar Tempo, menunjukkan konten pro Rusia. Ini terlihat dari akun penyebar yang rata-rata baru dibentuk pascainvasi Rusia.
“Sulit membantah jika ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan propaganda yang digencarkan. Untuk video suntingan berdurasi 5-8 menit, sulit membayangkan ini hanya kerjaan iseng atau tanpa agenda khusus,” jelas Ika.
Ada Kebingunan Redaksi di Tengah Ketidakpastian Perang
Sebelumnya, Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ika Ningtyas dalam diskusi tentang disinformasi perang Ukraina di Jakarta, Rabu, 8 Februari 2023, menyebut ada kebingungan dan dinamika etik di ruang redaksi di tengah ketidakpastian berita mengenai perang Rusia-Ukraina. Hal ini terlihat dari pembelahan pandangan yang menghasilkan simpati tinggi pada agresor.
Di tengah sengkarut informasi, Ika meyakini media di masing-masing ruang redaksinya harus bisa menjadi penjernih, dengan dasar pemeriksaan fakta atau verifikasi. Penguatan literasi untuk publik, dia melihat, menjadi sangat penting.
Senada dengan Ika, Radityo melihat media cukup tunduk pada asas meliput dua pihaknya. Namun demikian, dia secara khusus menyoroti, bahwa pemberitaan perlu memberikan perhatian lebih pada korban dalam hal ini Ukraina.
Selama ini, Peneliti Hubungan Internasional yang mengajar di Universitas Airlangga, Radityo Dharma dalam forum yang sama menganggap narasi yang berkembang di Indonesia cenderung banyak memuat Rusia. Masyarakat dan media kritis terhadap Amerika Serikat dan invasi ke Irak, Afghanistan dan masalahnya dengan Palestina.
Masyarakat Indonesia Kurang Paham Konteks Perang Rusia-Ukraina
Selain banyaknya narasi hoaks seputar perang Rusia-Ukraina, Radityo melihat adanya kecenderungan masyarakat Indonesia yang kurang paham konteks perang Rusia-Ukraina. Di tengah ketidakpastian informasi mengenai masalah ini, timbul kesan luas keberpihakan terhadap Rusia, yang merupakan pihak agresor.
Radityo menilai kondisi itu didorong karena berbagai faktor. Merujuk pada penelitian Lowy Institute, dia mengatakan warga Indonesia lebih mempercayai pemerintah atau pengamat dibanding media.
Radityo berpendapat opini yang dipublikasikan dari pakar dan praktisi hubungan internasional Indonesia adalah salah satu alasan yang mendorong sentimen pro-Rusia di Indonesia. “Sebagian besar pandangan akademisi dan mantan diplomat Indonesia berfokus pada aspek perang yang berkaitan dengan politik negara-negara adidaya,” kata Radityo.
Dia menjelaskan ada anggapan perang di Ukraina merupakan pertempuran NATO yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Rusia. Wacana yang berkembang ini menutup sudut pandang Ukraina.
Menurut Radityo, yang pernah tinggal di Estonia, pengertian umum yang berkembang di pemaknaan masyarakat kerap muncul Uni Soviet adalah Rusia. Estonia adalah pecahan dari Uni Soviet. Dia menyebut banyak orang Indonesia tidak terlalu memahami fakta bahwa negara-negara pecahan Uni Soviet seperti Ukraina ingin menjauh dari Rusia.
Terminologi soal invasi Rusia ke Ukraina juga menjadi perhatian Radityo. Apa yang terjadi di Ukraina itu merupakan agresi dari Rusia, bukan konflik. Radityo mengatakan, pemahaman seperti latar belakang sejarah dan keadaan sosial Rusia yang dipimpin Vladimir Putin saat ini juga perlu disampaikan secara jelas dan dengan pendekatan populer.
"Karena sudah ada saluran, bisa juga menghubungi langsung orang, atau pakar Ukraina," kata Radityo mencatatkan minimnya pengamat di Indonesia yang punya sudut pandang di pihak terjajah.
DANIEL A. FAJRI | ARTIKA RACHMI FARMITA