Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Damaskus - Para wanita di Suriah telah mengeluhkan sulitnya untuk menemukan pasangan menyusul perang berkepanjangan di negara itu, yang menelan banyak korban jiwa terutama kalangan pemuda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setidaknya hal itu diceritakan seorang mahasiswi Suriah, Nour. Dengan wajah sedih, dia terlihat menatap jari-jarinya sambil sesekali mengamati teman-teman sekelasnya di sekitar Universitas Damaskus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca: Turki Tangkap 150 Orang Pengkritik Operasi Militer di Suriah
Di tengah mahasiswa wanita ini, tidak ada seroang pria lajang yang terlihat layak baginya.
Warga membantu seorang pria yang terjebak di antara puing-puing bangunan setelah serangan udara menyerang daerah pinggiran yang dikuasai pemberontak di dekat Damaskus, Suriah, 5 Februari 2018. Warga di sejumlah wilayah Suriah telah melaporkan meningkatnya serangan-serangan udara. Syrian Civil Defense White Helmets via AP
Baca: Peluk Putin, Assad: Terimakasih Sudah Selamatkan Suriah
Pada usia 30 tahun, Nour mengatakan bahwa dia bertekad untuk menikah. Namun konflik Suriah yang berkepanjangan menyebabkan berkurangnya lelaki yang potensial menjadi jodohnya. Kebanyakan diantaranya telah mengungsi, bergabung dengan tentara atau meninggal dunia.
"Saya berharap cincin kawin akan menghiasi jari ini suatu hari nanti," kata Nour, yang meminta untuk ditulis menggunakan nama samaran.
"Tapi tidak ada lagi pria muda di sini, mereka semua pergi bertahun-tahun yang lalu. Saya memperhatikan penurunan (jumlah mahasiswa lelaki) dari tahun ke tahun."
Nour mengakui pilihannya terbatas karena hampir tidak ada pria yang cocok untuk dinikahi karena banyak yang sudah menikah atau sudah terlalu tua.
Di masyarakat Suriah yang konservatif secara luas, wanita pada umumnya diperkirakan akan menikah pada usia 20-an. Namun, kurangnya pemuda yang memenuhi syarat agaknya mengabaikan norma-norma itu.
Angelina Jolie berpose dengan seorang bocah pengungsi saat berkunjung ke kamp pengungsi Al Zaatri, di kota Mafraq, Jordania, dekat perbatasan dengan Suriah, 28 Januari 2018. AP Photo
"Sekarang, karena krisis, seorang wanita bisa menikah pada usia 32 tahun tanpa orang mengatakan dia terlambat untuk menikah," kata Salam Qassem, seorang profesor psikologi di Damaskus.
Yusra, 31, mengatakan fakta bahwa dia belum menikah membuat orang tuanya resah bahwa dia akan ketinggalan 'kereta pernikahan'. Ia mengaku bahwa suatu ketika ibunya pernah memperingati bahwa tidak menginginkannya menjadi perawan tua.
"Ibuku meminta agar aku terus memperhatikan sekeliling dengan hati-hati untuk menemukan jodoh," katanya, seperti dilansir Independent pada 19 Februari 2018.
Tapi sama seperti Nour, Yusra yang bekerja sebagai penerjemah pemerintah, mendapati dirinya dikelilingi oleh wanita atau oleh rekan pria yang dianggapnya terlalu tua untuk bisa menjadi pasangannya.
Selain itu, dia mengatakan perang telah "memperluas keretakan sektarian di masyarakat", membuat orang-orang dari latar belakang agama yang berbeda cenderung tidak mau saling bergaul.
Perang juga menyebabkan inflasi yang melonjak, tingkat pengangguran yang meluas, dan kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai lebih dari US$ 225 miliar, membuat Firas, yang berusia 37 tahun, menolak memikirkan pernikahan.
"Meningkatnya biaya hidup dan faktor keuangan lainnya membuat menikah seperti misi tidak mungkin," kata Firas, yang bekerja di bengkel mesin cuci di lingkungan Damaskus, Bab Touma.
Lebih dari 340.000 orang tewas dalam perang Suriah yang berkecamuk sejak 2011, dan jutaan lainnya telah pergi jauh dari rumah. Dari populasi pra-perang di negara itu yang berjumlah 23 juta, lebih dari lima juta orang telah meninggalkan negara tersebut.