Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - PM baru Israel, Naftali Bennett, was-was dengan terpilihnya hakim garis keras Ebrahim Raisi sebagai Presiden baru Iran. Menurutnya, latar belakang Raisi serta kedekatannya dengan rezim garis keras Iran bisa berdampak buruk terhadap kelanjutan negosiasi perjanjian nuklir ke depannya.
"Kepemimpinan Raisi akan menjadi rezim eksekutor yang brutal. Saya menganjurkan negara-negara untuk tidak melakukan negosiasi nuklir dengannya," ujar Naftali Bennett, dikutip dari kantor berita Reuters, Ahad, 20 Juni 2021.
Diberitakan sebelumnya, Ebrahim Raisi menjadi Presiden Iran setelah menang telak dari dua pesaingnya, Mohssen Rezaei dan Abdolnaser Hemmati. Dari 28,6 juta suara yang masuk, dari pemilu yang hanya diikuti 48 persen pemilih, Raisi berhasil mengumpulkan 17,8 juta suara.
Di Iran, Raisi dikenal untuk banyak hal. Selain sebagai salah satu penentang pengaruh Barat dan loyalis Pemimpin Agung Ayatollah Ali Khamenei, dia juga dikenal sebagai hakim yang gemar memberikan eksekusi mati.
Selama menjadi hakim, ia dilaporkan Amnesty International sudah mengetok palu eksekusi mati untuk kurang lebih 5000 orang. Mayoritas di antaranya adalah tahanan politik yang dieksekusi di tahun 1988. Menurut kabar yang beredar, mereka yang mati karena vonis dari Raisi dimakaman di kuburan massal tersembunyi dan tanpa tanda.
Tahun 2019, tak lama setelah Raisi diangkat oleh Khamenei menjadi Hakim Agung, Amerika menjatuhkan sanksi kepadanya. Ia dianggap sudah melanggar hak asasi manusia ketika mengeksekusi mati ribuan tahanan politik serta menggunakan pengadilan untuk menekan pelaku unjuk rasa.
Catatan-catatan tersebut yang membuat Naftali Bennett was-was dengan Ebrahim Raisi. Ia takut Raisi akan menggunakan kekuasaan barunya untuk menggenjot lagi program pengayaan nuklir. Itulah kenapa, menurutnya, negara-negara yang menekan Perjanjian Nuklir Iran tidak usah buang-buang waktu untuk bernegosiasi dengannnya.
"Pemilihan Raisi adalah kesempatan terakhir bagi negara-negara dunia untuk sadar dengan siapa mereka berhadapan perihal perjanjian nuklir."
"Rezim brutal eksekutor tidak seharusnya diizinkan memiliki senjata pemusnah massal dan posisi Israel soal ini tidak akan berubah," ujar Naftali Bennett, melanjutkan sikap Israel yang diputuskan pendahulunya, Benjamin Netanyahu.
Di masa kepemimpinan Donald Trump, Amerika setuju dengan sikap Israel, diikuti dengan menarik diri dari perjanjian nuklir dan memberikan sanksi ke Iran. Namun, ketika Presiden Joe Biden terpilih, ia ingin membawa kembali Amerika ke perjanjian itu untuk memastikan pengayaan nuklir Iran terkendali.
Kepada Pemerintah Iran, administrasi Joe Biden berjanji sanksi ekonomi akan ia cabut jika pemerintah setuju kembali ke kesepakatan nuklir. Negosiasi soal itu sekarang sedang berjalan. Ebrahim Raisi, di kampanyenya, berjanji salah satu fokus utamanya adalah perbaikan ekonomi Iran dan kembali ke perjanjian nuklir, untuk bebas dari sanksi, ia anggap solusi.
Baca juga: Profil Ebrahim Raisi, Hakim Garis Keras yang Menang Pilpres Iran
ISTMAN MP | REUTERS
Catatan redaksi: Berita ini mengalami perbaikan judul karena adanya kesalahan penulisan. Atas kesalahan itu, kami mohon maaf
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini