Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Wellinton – Pemerintah Selandia Baru memperketat peredaran senjata api di negara itu setelah aksi teror penembakan massal yang menewaskan 51 warga Muslim di dua masjid di Kota Christchurch pada Maret 2019 seperti dilansir Stuff.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah memperketat peredaran senjata api dengan memberlakukan pencatatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini merupakan upaya reformasi senjata kedua setelah terjadinya pembantaian di Christchurch oleh seorang terdakwa pendukung supremasi kulit putih, yang menewaskan korbannya menggunakan senjata semi-otomatis,” begitu dilansir Reuters pada Kamis, 18 Juni 2020.
Pelaku penembakan massal, yang bernama Brenton Tarrant, mengaku bersalah atas serangan itu dan akan menerima vonis pada tahun ini.
Undang-undang baru mengenai senjata api ini akan mulai berlaku pada pekan depan. UU ini telah mendapat pengesahan di parlemen pada pekan ini.
Salah satu ketentuan penting dalam UU reformasi senjata ini adalah pengguna senjata wajib untuk mendaftarkan senjatanya saat membeli atau menjualnya kembali.
“UU baru ini dirancang agar senjata tidak jatuh ke tangan orang yang bermasalah,” kata Stuart Nash, menteri Urusan Polisi, dalam pernyataannya.
UU itu juga melarang penjualan senjata berisiko tinggi seperti senapan pendek semi-otomatis, memperketat aturan penjual senjata, mengurangi masa berlaku lisensi senjata dari 10 tahun menjadi 5 tahun.
Upaya pemerintah Selandia Baru dan parlemen untuk memperketat kontrol senjata api mendapat dukungan dunia internasional. Sebagian pelobi industri senjata merasa keberatan dengan sistem pencatatan senjata api yang baru.