Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sendiri Menantang Dunia

Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, semakin agresif menjalankan politik luar negerinya. Dilema yang acap menimpa dinasti kepemimpinan.

14 Maret 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOREA Utara menantang dunia. Sendirian, di bawah kepemimpinan seorang Kim Jong-un yang eksentrik, berusia 33 tahun, dan meyakini bahwa hukum kisas-hukum Taurat berlaku di Semenanjung Korea. Mata harus dibayar dengan mata, gigi dengan gigi, provokasi harus dijawab dengan provokasi, dan latihan perang dijawab dengan uji coba senjata nuklir.

Mengantisipasi latihan perang Korea Selatan-Amerika Serikat pekan lalu, Kim Jong-un mempersiapkan serangan balasan yang membuat dunia mengernyitkan kening. Ia memerintahkan uji coba peluncuran rudal jarak pendek dan panjang, uji coba senjata nuklir, disertai klaim kepemilikan bom hidrogen, bom dengan miniatur kepala nuklir, berikut ancaman memulai serangan senjata nuklir ke Korea Selatan dan Amerika Serikat. Semuanya dalam kurun hampir dua bulan terakhir.

Kecaman pun berdatangan; tidak hanya dari Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan negara Barat lain, tapi juga dari kawan-kawan lama Korea Utara. Untuk pertama kalinya Rusia memperingatkan bahwa uji coba ini dapat meningkatkan "potensi akan konfrontasi militer dan politik" di Semenanjung Korea. Sedangkan Cina, satu-satunya sohib yang cenderung memanjakannya selama ini, kali ini memprotes keras. Cina mengajukan kekhawatirannya akan kemungkinan jatuhnya debu radioaktif di daerah Cina yang berbatasan langsung dengan Korea Utara.

Selama tujuh pekan, Dewan Keamanan sibuk bukan buatan. "Hari ini komunitas internasional berbicara dengan satu suara, menyampaikan pesan sederhana kepada Pyongyang. Korea Utara harus meninggalkan programnya yang berbahaya dan memilih jalur yang lebih baik untuk rakyatnya," kata Presiden Amerika Serikat Barack Obama di pengujung perumusan sanksi. Di antara sidang-sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sanksi atas Pyongyang kali ini disusun oleh Amerika Serikat dan Cina. Selain pemeriksaan kargo terhadap kapal-kapal Korea Utara, sanksi itu mencakup larangan penjualan dan pengiriman semua senjata kecil dan ringan ke Korea Utara serta pengusiran diplomatnya yang terlibat dalam kegiatan di luar bidang diplomasi.

Pada 2006, PBB menjatuhkan sanksi atas uji coba senjata nuklir dan peluncuran rudal yang hingga saat ini masih berlaku kepada Korea Utara. Sekarang daftar sanksi bertambah panjang, termasuk larangan mengimpor dan mengekspor semua jenis senjata serta dimasukkannya 31 perusahaan perkapalan Korea Utara (Ocean Maritime Management Company) ke daftar hitam. Sejumlah diplomat, seperti dikutip The New York Times, mengatakan bahwa resolusi ini memuat sanksi terberat agar Korea Utara tidak memiliki kemampuan untuk mendanai program senjata nuklirnya. Suatu langkah jitu untuk melumpuhkan kemampuan nuklir Korea Utara.

Semenjak Kim Jong-un mengambil alih kekuasaan dari mendiang ayahandanya, Kim Jong-il, tiga tahun silam, hubungan Korea Utara dengan dunia internasional berangsur-angsur memburuk. Hubungan Cina-Korea Utara juga tidak semanis dulu. Inisiatif Korea Utara mengadakan uji coba persenjataan nuklir pada Januari lalu tanpa memberi tahu Cina telah membuat Beijing merasa tidak dihargai. Dan ini bukan kekecewaan yang pertama. September tahun lalu, Korea Utara menolak mentah-mentah undangan untuk ikut ambil bagian dalam pembicaraan enam negara nuklir yang disponsori Beijing. Dan, sebulan sebelum itu, Kim Jong-un juga tidak memenuhi undangan pemerintah Cina dalam upacara perayaan peringatan akhir Perang Dunia II.

Mungkin baru kali ini dinasti Kim—setelah Kim Il-sung, kakek Kim Jong-un, dan Kim Jong-il—yang memerintah Korea Utara menghadapi isolasi internasional seberat ini. Tapi apa yang menimpa Korea Utara tampaknya juga dialami oleh banyak dinasti, ketika kekuasaan harus jatuh ke tangan orang yang mencoba eksis, diakui dalam komunitas elite.

"Bayangkan, di akhir usia 20-an, tiba-tiba dia harus mengambil alih kepemimpinan di sebuah negeri. Dia dikelilingi para perwira tinggi dan pejabat partai yang jauh lebih berpengalaman. Mungkin yang ada dalam pikirannya saat itu adalah membuat dia 'dianggap' oleh orang-orang senior itu—dengan begitu mereka akan menjalankan perintahnya dan tak mengambil alih kedudukan barunya," tulis Stella Kim, pengamat Timur Jauh, menganalisis keadaan Kim Jong-un kala menerima kepemimpinan Korea Utara.

Sejak berkuasa pada awal 2012, Kim Jong-un telah belajar bagaimana mengkonsolidasi kekuasaan, sambil berjuang keras meyakinkan dirinya bahwa kekuasaan itu masih tetap di tangannya. Ia butuh bukti, maka mulailah ia membersihkan nukleus kekuasaan dari orang-orang yang berpotensi menjadi pesaingnya di kemudian hari. Konsolidasi Kim Jong-un ditandai oleh pengasingan dan eksekusi mereka yang dicurigai.

Setahun berkuasa, ia telah memerintahkan eksekusi pamannya sendiri, Jang Song-thaek, dengan tuduhan pengkhianatan. Tahun lalu, Menteri Angkatan Bersenjata Hyon Yong-chol mengalami nasib sama—ia dituduh tidak setia pada kepemimpinan. Tahun ini Ri Yong-gil, pemimpin Tentara Rakyat Korea (KPA), dihukum mati dengan tuduhan melakukan korupsi dan lain-lain. Ri sebenarnya orang dekat Kim Jong-un. Tapi ketidakhadirannya dalam pertemuan pejabat senior Partai Buruh dan upacara perayaan hari kemerdekaan Korea Utara menimbulkan kecurigaan. Sesuatu yang berakibat fatal pada akhirnya. Menurut sumber-sumber yang layak dipercaya, sejak berkuasa, Kim Jong-un telah menyuruh eksekusi 70 lawan politiknya.

Tapi, demikian analisis Stella Kim, konsolidasi kekuasaan tidak berhenti di situ. Sebagai pemimpin tertinggi, Kim Jong-un boleh jadi harus berdiri di barisan paling depan dalam memperjuangkan pengakuan internasional terhadap negerinya. Dengan cara ini pula ia sekaligus dapat merasakan pengakuan atas kepemimpinannya selama ini. Semakin agresif Kim Jong-un melancarkan politik luar negerinya, Korea Utara semakin terisolasi, tapi dia sendiri semakin eksis sebagai pemimpin. Paling tidak, begitulah analisis Stella Kim terhadap pemimpin Korea Utara ini.

Idrus F. Shahab (BBC, AFP, The New York Times, The Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus