Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ajakan Keliru Presiden Jokowi

Pernyataan Presiden Joko Widodo di depan pendukungnya pada Sabtu pekan lalu sungguh mengkhawatirkan.

7 Agustus 2018 | 07.00 WIB

Presiden Joko Widodo atau Jokowi menghadiri rapat umum relawan Jokowi di Sentul International Convention Centre, Bogor, Sabtu, 4 Agustus 2018. TEMPO/Friski Riana
Perbesar
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menghadiri rapat umum relawan Jokowi di Sentul International Convention Centre, Bogor, Sabtu, 4 Agustus 2018. TEMPO/Friski Riana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pernyataan Presiden Joko Widodo di depan pendukungnya pada Sabtu pekan lalu sungguh mengkhawatirkan. Siapa pun tidak boleh bersemangat mengobarkan permusuhan, apalagi seorang kepala negara yang akan berkompetisi dalam pemilihan presiden tahun depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Presiden Jokowi semula sudah memulai pidatonya dengan sangat baik. Dia meminta relawan tidak membangun permusuhan serta menyampaikan ujaran kebencian, fitnah, ataupun celaan. Namun persoalan muncul ketika dia menutup pidato dengan ajakan bahwa pendukungnya harus berani jika diajak berkelahi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kubu Jokowi menganggap pesan Presiden itu sebagai cara untuk memompa semangat juang relawan agar lebih militan, yang diperlukan untuk menghadapi aneka fitnah dan hoaks. Istana pun menyatakan apa yang disampaikan Presiden merupakan kiasan supaya relawan siap menghadapi fitnah hingga ujaran kebencian. Namun pernyataan ini dengan mudah ditafsirkan sebagai ajakan untuk tidak menyelesaikan persoalan lewat koridor hukum.

Seharusnya Presiden Jokowi menahan diri agar tidak menyampaikan pernyataan yang bisa membikin suasana makin panas di tahun politik ini. Presidenlah yang semestinya berdiri di garda terdepan untuk menyatakan bahwa hukum adalah panglima dalam menyelesaikan pelbagai persoalan dalam pesta demokrasi lima tahunan ini.

Tanpa upaya serius, pemilu damai tahun depan akan susah dicapai. Soalnya, banyak wilayah yang baru saja menggelar pemilihan kepala daerah beberapa bulan lalu. Massa pendukung tiap calon kepala daerah itu saat ini belum cair kembali. Di DKI Jakarta saja, "luka" akibat pemilihan gubernur dan wakil gubernur masih terasa, padahal kompetisi tersebut sudah lewat setahun.

Belajar dari pemilihan pemimpin Jakarta, massa pada waktu itu terbelah menjadi dua kelompok yang berhadap-hadapan dengan keras karena para politikus memainkan politik identitas. Publik khawatir politik identitas ini akan terulang dalam pemilihan presiden 2019. Jika hal ini terjadi, akibatnya tak terbayangkan, karena magnitudo pilpres jauh lebih besar ketimbang perebutan kursi gubernur Jakarta.

Ketika pidato sudah terucap dan telah viral di media sosial, tidak ada salahnya jika kemudian Presiden Jokowi meralat atau menjelaskan maksud sebenarnya pidato tersebut. Upaya ini akan membantu meluruskan informasi-informasi liar yang kadung beredar di publik soal kesiapan meladeni ajakan tawuran.

Selain itu, para calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung dalam pilpres 2019 seharusnya tidak memainkan isu ajakan berkelahi tersebut di masyarakat. Berbagai survei menunjukkan publik sesungguhnya ingin para kandidat memperkenalkan diri sebagai pengusung kebangsaan dan kebersamaan. Lebih dari itu, sebenarnya ini hanya pemilihan presiden, yang tak ada harganya jika dibandingkan dengan keutuhan republik ini.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus