Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hakim memvonis ringan dan bebas polisi yang menjadi terdakwa kasus tragedi Kanjuruhan.
Vonis bebas dan ringan melengkapi ketidakseriusan pemerintah sejak awal pengusutan.
Prinsip tak ada sepak bola seharga nyawa tidak berlaku di negeri ini.
VONIS ringan dan bebas untuk para terdakwa tragedi Kanjuruhan menjadi akhir sandiwara peradilan yang menyakitkan bagi keluarga korban. Ketukan palu hakim menggenapi skenario untuk mengubur dalam-dalam tragedi yang menewaskan 135 orang dan mencederai lebih dari 600 orang itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya lebih dulu memvonis ringan Hasdarmawan, yang memerintahkan penembakan gas air mata ke tribun penonton selepas pertandingan antara Persebaya Surabaya dan Arema FC pada 1 Oktober 2022. Bekas komandan kompi dari Brigade Mobil Kepolisian Daerah Jawa Timur itu hanya divonis satu setengah tahun penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majelis hakim kemudian memvonis bebas Wahyu Setyo Pranoto dan Bambang Sidik Achmadi, dari Kepolisian Resor Malang, yang juga memerintahkan penembakan gas air mata. Menurut hakim, asap gas air mata yang dilontarkan ke tengah lapangan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, dibelokkan angin ke penonton di tribun.
Sejak awal pengusutan kasus tragedi Kanjuruhan terkesan formalitas belaka. Pemerintah seperti merasa “gugur kewajiban” dengan membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), tak lama setelah tragedi Kanjuruhan meletus. Pemerintah tak serius mengawal pelaksanaan semua rekomendasi tim yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. itu.
Alih-alih serius mencari siapa yang harus bertanggung jawab, pemerintah justru lebih sibuk menyelamatkan diri dari sanksi Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA)—agar Indonesia tetap bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Demi memastikan Indonesia lolos dari sanksi FIFA, pada hari kedua setelah kejadian, Presiden Joko Widodo sampai menelepon langsung Presiden FIFA Gianni Infantino.
Persidangan tragedi Kanjuruhan yang dipindahkan dari Malang ke Surabaya pun berjalan penuh kejanggalan. Di antara kejanggalan itu, media massa dibatasi untuk menyiarkan langsung persidangan yang menjadi perhatian masyarakat tersebut. Kejanggalan lain, polisi aktif menjadi penasihat hukum para terdakwa. Saksi pun didominasi dari kepolisian. Sementara itu, dari pihak korban, hanya satu keluarga yang dihadirkan di sidang, dari puluhan orang yang pernah diperiksa.
Tuntutan ringan jaksa atas para terdakwa—hanya tiga tahun penjara—menunjukkan bahwa persidangan tragedi Kanjuruhan memang tidak diniatkan untuk memenuhi rasa keadilan korban. Sikap hakim yang cenderung pasif ketika menggali keterangan saksi dalam proses pembuktian juga tak lazim. Seharusnya hakim lebih gigih menguji dan menggali kebenaran semua fakta di persidangan.
Infografik:
Jaksa dan hakim pun tak memasukkan ganti rugi bagi korban dan keluarganya dalam tuntutan serta putusan. Padahal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban telah meminta jaksa serta hakim memasukkan hak restitusi bagi para korban.
Yang tak kalah ganjil, selaku mantan Ketua TGIPF, Menteri Mahfud tak berkomentar sepatah kata pun atas vonis ringan dan bebas para terdakwa tragedi Kanjuruhan. Padahal Mahfud biasanya getol berkomentar, termasuk untuk urusan di luar tugas dan wewenangnya.
Sikap pemerintah serta segala kejanggalan dalam persidangan tragedi Kanjuruhan menunjukkan bahwa prinsip “tak ada sepak bola yang seharga nyawa” tidak berlaku di negeri ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo