Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Revisi Undang-Undang Minerba makin mengakomodasi pemberian izin tambang bagi organisasi keagamaan.
Pemerintah leluasa memberi IUP kepada siapa pun yang mereka kehendaki.
Kerusakan lingkungan akibat pengelolaan tambang lewat penunjukan langsung makin nyata.
PERUBAHAN keempat Undang-Undang Mineral dan Batubara merupakan siasat lembaga eksekutif serta Dewan Perwakilan Rakyat untuk melegalkan rencana penguasa mengelola tambang secara serampangan. Selain mengakomodasi pemberian izin usaha pertambangan kepada organisasi masyarakat keagamaan, undang-undang baru ini memberi keleluasaan bagi pemerintah untuk membagi-bagikan izin tambang tanpa lelang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keinginan pemerintah memberikan karpet merah kepada organisasi keagamaan sebenarnya sudah dirintis dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun peraturan ini tak bisa berjalan sepenuhnya karena melanggar Undang-Undang Minerba. Alih-alih merevisi peraturan pemerintah, Badan Legislasi (Baleg) DPR menggagas perubahan keempat undang-undang ini pada Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah Baleg menyetujui revisi Undang-Undang Minerba menjadi usul inisiatif DPR pada 23 Januari 2025, mereka bersama pemerintahan Prabowo Subianto membahasnya secara tergesa-gesa. Pembahasan revisi undang-undang ini hingga pengesahan hanya berlangsung selama 26 hari. Modus operandinya serupa dengan revisi Undang-Undang Minerba pada 2020 yang serba tertutup dan superkilat.
Di samping mengakomodasi pemberian izin pengelolaan tambang kepada organisasi keagamaan, revisi undang-undang kali ini juga memberikan karpet merah bagi usaha mikro, kecil, dan menengah; badan usaha yang bersedia membagikan keuntungan bagi perguruan tinggi; serta badan usaha yang ingin melakukan penghiliran. Semua kelompok usaha ini mendapat skala prioritas memperoleh izin usaha pertambangan (IUP) tanpa lelang.
Padahal sebelumnya badan usaha yang tertarik mengantongi izin pengelolaan tambang wajib mengikuti lelang. Prioritas hanya diberikan kepada badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.
Pemberian IUP yang mengabaikan tata kelola ini sangat berbahaya bagi kepentingan negara, masyarakat, dan lingkungan. Aturan baru ini membuat penguasa makin leluasa memberi IUP bagi siapa pun yang mereka kehendaki melalui penunjukan langsung. Kualifikasi dan kemampuan badan usaha mengelola bisnis pertambangan tidak lagi menjadi faktor yang diperhitungkan.
Sebelumnya mekanisme lelang menjadi saringan bagi calon penerima izin tambang. Melalui proses lelang, eksekutif dapat memilih pengusaha yang memenuhi kualifikasi sebagai pengelola tambang. Terutama untuk mengukur kemampuan mereka memulihkan lingkungan setelah kegiatan penambangan berakhir. Dengan mekanisme seperti itu saja pemerintah kerap mengakali proses lelang untuk memuluskan pengusaha tertentu sebagai penerima konsesi tambang.
Sulit membayangkan ancaman kerusakan lingkungan dari pengelolaan tambang lewat penunjukan langsung. Lewat proses lelang saja masih banyak perusahaan yang abai terhadap lingkungan. Jaringan Advokasi Tambang mencatat sekitar 80 ribu lubang bekas galian tambang di Indonesia masih menganga hingga kini. Pengusaha pergi begitu saja meninggalkan lahan yang sudah mereka gali. Sejak 2011, sekitar 170 anak meninggal akibat tenggelam di lubang tersebut.
Lubang-lubang tambang itu membuktikan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap kewajiban pengusaha memulihkan lingkungan. Minimnya keberadaan inspektur tambang turut memperburuk pengawasan kegiatan reklamasi lahan. Belum lagi soal pemangkasan anggaran.
Perluasan pemberian IUP ini berbanding terbalik dengan rencana pemerintah mencapai net zero emissions pada 2060 dengan jalan mengurangi penggunaan energi kotor setiap tahun. Obral izin tambang, seperti batu bara, jelas akan meningkatkan emisi karbon. Kebijakan ini bertolak belakang dengan komitmen pemerintah untuk beralih ke energi terbarukan.
Di sisi lain, obral izin ini membuat hasil produksi tambang dan mineral melimpah. Pasokan yang berlimpah justru menurunkan harga komoditas global. Pemerintah tidak akan meraup cuan karena banyak negara di dunia mulai beralih dari penggunaan energi kotor ke energi terbarukan dan ramah lingkungan. Cina, yang selama ini jadi tujuan ekspor batu bara Indonesia, juga mengurangi volume impornya, dari 20,04 juta ton pada 2023 menjadi 15,8 juta ton pada 2024.
Dari situ saja kita sudah bisa menilai bahwa revisi Undang-Undang Minerba ini lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya bagi masyarakat. Undang-undang ini hanya menjadi alat politik bagi segelintir elite dan oligark untuk mencapai tujuan kekuasaan. Sedangkan pemulihan lingkungan kian terabaikan. ●