Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Perilaku koruptif banyak polisi bukanlah karena rendahnya tingkat religiositas mereka.
Bukan mencari kandidat terbaik, Polri menerima calon polisi dari pintu samping.
Dalam sebuah sistem yang bobrok, orang suci sekalipun bisa berubah menjadi jahat.
ALASAN Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo merekrut polisi berlatar belakang santri karena akan tahan godaan korupsi mencerminkan kesalahan berpikir. Perilaku koruptif banyak polisi bukanlah karena rendahnya tingkat religiositas mereka, melainkan karena sistem dan budayanya yang rusak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika hal tersebut tak dibenahi, perekrutan santri akan sia-sia. Ucapan Listyo Sigit dalam acara Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama beberapa waktu lalu malah bisa menjerumuskan para santri ke dalam sistem dan budaya yang tak pernah musnah itu. Tidak ada jaminan bagi seorang lulusan pesantren tak tercemar perilaku negatif jika berada di kubangan yang kotor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dasar dari rekrutmen polisi sudah lama salah kaprah. Bukannya mencari kandidat terbaik, Polri menerima calon polisi dari pintu samping. Misalnya anak mantan petinggi kepolisian tetap diluluskan meskipun nilainya tak cukup. Contoh lain, dalam seleksi calon taruna Akademi Kepolisian di sebuah provinsi pada tahun lalu, delapan dari sebelas yang lolos adalah anak polisi. Dalam hal rekrutmen santri, logika yang sama berlaku: bukannya memprioritaskan kompetensi, melainkan latar belakangnya.
Perekrutan santri dan penghafal Al-Quran merupakan dalih untuk menutupi kerusakan moral di kalangan polisi. Alih-alih membongkar akar persoalannya, Polri malah tampak sedang memoles citra di kelompok mayoritas setelah babak belur didera berbagai perkara negatif personelnya secara bertubi-tubi.
Dalam tiga bulan terakhir, sejumlah perkara yang mencuat diyakini hanyalah pucuk gunung es—dari praktik beking pertambangan ilegal di Sumatera Barat, pemerasan penonton konser Djakarta Warehouse Project, hingga pemerasan terhadap tersangka pembunuhan oleh sejumlah polisi di Kepolisian Resor Jakarta Selatan. Di luar itu, korupsi kecil-kecilan seperti meminta atau menerima uang dari pelanggar lalu lintas juga masih terjadi. Pada masa mendatang, bukan tak mungkin kasus-kasus serupa akan terus ada.
Penyebabnya, pokok masalah tersebut tak pernah ditebang. Sejak reformasi Polri digaungkan lebih dari dua dekade lalu, persoalan struktural dan kultural di kepolisian tak pernah dibongkar dan malah menjadi-jadi. Setelah berpisah dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Polri memiliki kewenangan yang besar tapi minim pengawasan. Kultur kekerasan dan sikap permisif terhadap gratifikasi tak luntur. Hubungan patron-klien atasan dan bawahan yang menciptakan budaya setoran juga tak terkikis.
Karena inkompetensi dan ketidakprofesionalan, polisi akhirnya sibuk cari muka. Mereka cenderung menjadi pengabdi kekuasaan agar bisa naik pangkat atau untuk mempertahankan posisi. Pemilihan Umum 2024 dan pemilihan kepala daerah serentak tahun lalu menunjukkan bagaimana polisi telah menjadi alat kekuasaan.
Pernyataan Kapolri soal rekrutmen santri ini juga menunjukkan bahwa sistem pendidikan di kepolisian gagal membentuk karakter polisi yang baik. Padahal perekrutan dan pendidikan adalah hal pertama yang harus dibenahi untuk membentuk sistem yang mumpuni.
Mengabaikan sistem dengan menyederhanakan masalah bahwa korupsi adalah perilaku individu tak akan pernah membuat kepolisian menjadi lebih baik. Pada akhirnya, dalam sebuah sistem yang bobrok, orang suci sekalipun bisa berubah menjadi jahat. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo