Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULANG melawat ke Amerika Serikat pada pekan ketiga September lalu, Nadiem Makarim rajin menggelar forum diskusi dengan pegawai negeri di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Kepada bawahannya, ia kerap mengklarifikasi pidatonya yang menyebutkan tim bayangan atau shadow organization di kementerian yang dipimpinnya.
“Saya ingin menjelaskan masalah itu kepada pegawai yang jarang berinteraksi dengan saya,” kata Nadiem kepada Tempo di kantor Kementerian Pendidikan di Jalan Sudirman, Senayan, Jakarta, pada Jumat, 14 Oktober lalu.
Bertajuk AMA atau “ask me anything”, pertemuan itu sedikitnya sudah empat kali diadakan dalam sebulan terakhir. Tuan rumahnya bergiliran di antara direktorat jenderal Kementerian. Pernah diadakan sebelumnya, kegiatan itu makin sering dihelat setelah Nadiem berpidato di acara Konferensi Tingkat Tinggi Transformasi Pendidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendikbudristek Nadiem Makarim menghadiri Transforming Education Summit, di New York, Amerika Serikat, 17 September 2022. Dok. Kemendikbudristek
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pidatonya, Nadiem mengungkapkan memiliki tim beranggota 400 orang yang terdiri atas insinyur teknologi dan ilmuwan data. Co-founder aplikasi ojek online Gojek itu bahkan menyebutkan posisi tim tersebut setara dengan direktur jenderal. Dari Tanah Air, berbagai suara sumbang pun bermunculan mengkritik Nadiem.
Pidato itu juga memicu kerisauan di kalangan pegawai Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Para peserta diskusi forum AMA mempertanyakan eksistensi tim di luar birokrasi pemerintah dan arah pendidikan berbasis teknologi yang dikembangkan oleh peraih gelar Master of Business Administration dari Harvard Business School, Amerika, itu.
Nadiem belakangan mengoreksi pernyataannya. Ia mengungkapkan bahwa tim yang dimaksud adalah mitra yang membantu setiap direktorat jenderal untuk membuat produk teknologi. Di antaranya pelantar Merdeka Mengajar, Rapor Pendidikan, dan TanyaBOS. “Saya selip lidah,” tuturnya. Namun kontroversi terus menggelinding hingga ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam rapat dengan Komisi Pendidikan DPR, Senin, 26 September lalu, Nadiem dicecar ihwal keberadaan tim bayangan. Wakil Ketua Komisi Pendidikan Abdul Fikri Faqih mempersoalkan sistem kerja, peran, dan anggaran tim bayangan Nadiem. Adapun anggota Komisi dari Fraksi Gerindra, Djohar Arifin Husin, mempertanyakan dasar hukum dan kajian pembentukan tim.
Nadiem menyatakan organisasi bayangan merupakan vendor yang dikenal sebagai GovTech Edu yang bernaung di bawah PT Metranet, anak perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. Namun, saat rapat itu disiarkan langsung melalui YouTube, sejumlah akun menyebutkan Nadiem juga memiliki tim lain, seperti Wartek, Kantara, Tim SKM, Tim Akselerasi, dan Tim PMO.
Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan Muhamad Hasan Chabibie menuturkan, GovTech terdiri atas anak-anak muda yang berpengalaman di perusahaan rintisan teknologi. Mereka direkrut oleh Telkom lalu dikirimkan ke Kementerian Pendidikan. “Telkom yang menggaji mereka dan kami tak ikut campur soal nominal,” ujarnya.
Metranet berkantor di kawasan bisnis Mulia, Pancoran, Jakarta Selatan. Perusahaan yang berdiri sejak 2009 ini menempati gedung berlapis kaca setinggi tiga lantai. Dua petugas berjaga di meja resepsionis pada Jumat, 14 Oktober lalu. Mereka menolak memberi keterangan tentang Metranet dan meminta semua pertanyaan ditujukan kepada Direktur Utama Didik Budi Santoso.
Muhamad Hasan menjelaskan, tim GovTech tak memiliki ruangan kerja khusus di Kementerian. Mereka bekerja di sejumlah direktorat jenderal untuk menciptakan berbagai aplikasi. Karena itu, tim GovTech beberapa kali hadir dan mengikuti rapat dengan pejabat di berbagai unit kerja di Kementerian Pendidikan.
Jumlah personel GovTech di setiap direktorat jenderal berbeda. Seorang pejabat di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengungkapkan ada sepuluh orang yang bekerja di unitnya. Mereka membuat aplikasi Kampus Merdeka.
Baca: Di Balik Kisruh Program Organisasi Penggerak dan Lobi Nadiem Makarim ke Wakil Presiden
Di Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) terdapat belasan pegawai yang merancang aplikasi Merdeka Mengajar dan Rapor Pendidikan. “Mereka mengkurasi konten yang diunggah di aplikasi kami,” kata Kepala BSKAP Anindito Aditomo.
Tak hanya tim bayangan, penunjukan Telkom untuk menggarap berbagai aplikasi di Kementerian pun menuai polemik. Perusahaan telekomunikasi negara itu dipilih melalui lelang dan penunjukan langsung. Data layanan pengadaan elektronik Kementerian Pendidikan menunjukkan nilai proyek aplikasi yang digarap Telkom pada 2020-2021 bernilai Rp 151 miliar.
Transparansi kongsi antara Kementerian Pendidikan dan Telkom kemudian dipertanyakan. Anggota Komisi Pendidikan dari Fraksi Demokrat, Dede Yusuf, mengatakan kedua pihak harus membuka kepada publik mengenai detail kerja sama. “Apa alasan dan payung hukum yang dipakai untuk menunjuk Telkom?” ucapnya.
Sebelumnya, Telkom melalui entitas bisnis, Telkomsel, pernah membenamkan investasi ke GoTo—perusahaan hasil merger Gojek dan Tokopedia—senilai Rp 6,4 triliun. Nadiem adalah pendiri sekaligus mantan Chief Executive Officer Gojek.
Direktur Bisnis Digital Telkom Fajrin Rasyid mengatakan perusahaannya memperoleh paket pengadaan barang dan jasa dari Kementerian Pendidikan sesuai dengan aturan. Telkom berupaya menyediakan solusi digital untuk menyelesaikan tantangan di sektor pendidikan. Bekas bos Bukalapak ini mengklaim aplikasi bikinan GovTech Edu berdampak pada masyarakat.
Nadiem menyebutkan sudah mengundurkan diri dan melepas kepemilikan saham di Gojek ketika ditunjuk menjadi menteri oleh Presiden Joko Widodo. Ia mengklaim institusinya selalu mematuhi aturan pengadaan yang ditetapkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. “Saya tak bisa mengatur apa-apa,” tuturnya.
Menurut Nadiem, Telkom terpilih karena dinilai punya kemampuan membangun infrastruktur teknologi di seluruh Indonesia. Walau begitu, ia membuka kesempatan terhadap semua perusahaan telekomunikasi swasta untuk ikut membuat aplikasi Kementerian asalkan mampu memenuhi kriteria yang ditetapkan pemerintah.
Baca: Upaya Nadiem Menggolkan Aturan Anti-kekerasan Seksual di Kampus
Selain GovTech Edu, ada tim nonbirokrat yang memiliki berbagai julukan di setiap direktorat jenderal. Salah satunya Tim Akselerasi yang melekat di Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi. Tiga narasumber yang mengetahui kiprah Tim Akselerasi mengatakan kelompok itu mengkaji berbagai kebijakan dan memberi advis kepada para pejabat di Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi.
Narasumber yang sama bercerita, Tim Akselerasi dibentuk karena Presiden Jokowi menaruh perhatian serius pada sekolah kejuruan pada awal masa kerja periode kedua. “Pendidikan vokasi menempati posisi penting dalam strategi pengembangan sumber daya manusia kita,” ujar Jokowi saat meresmikan Gedung Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro, Semarang, pada Agustus 2020.
Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi merupakan salah satu dari tiga unit kerja yang mengelola anggaran terbesar di Kementerian Pendidikan pada 2022, yakni senilai Rp 5,48 triliun. Karena itu, tim ini bertugas mempercepat program-program pendidikan kejuruan sebagaimana nama yang diberikan.
Ada juga Tim Project Management Office (PMO). Tim ini, antara lain, bekerja di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi. Pada Maret 2022, pelaksana tugas Direktur Jenderal Dikti, Nizam membentuk Tim PMO Kampus Merdeka yang dipimpin Universitas Gadjah Mada.
Tim ini terdiri atas akademikus UGM, pegawai di luar kampus UGM, dan karyawan kontrak. Nizam merupakan guru besar Fakultas Teknik UGM. “Tim PMO ini padanannya seperti event organizer,” ucap Nizam melalui pesan WhatsApp.
Baca: Lemah Sanksi Kementerian Pendidikan untuk Pelaku Kekerasan Seksual di Kampus
Masalahnya, tim bayangan ini disebut-sebut memicu gejolak internal di Kementerian Pendidikan. Tiga narasumber di Kementerian Pendidikan menyebutkan anggota tim bayangan dinilai kerap melampaui kewenangan, termasuk menentukan hasil rapat. Di kalangan anggota staf Kementerian Pendidikan, tim ini dijuluki bos-bos kecil.
Dalam wawancara khusus dengan Tempo, Nadiem Anwar Makarim mengakui ada gesekan antara aparatur sipil negara di lembaganya dan tim baru yang diisi anak-anak muda. Nadiem menganggap protes dari birokrat wajar karena ada perubahan sistem dan budaya kerja di Kementerian Pendidikan.
“Benturan budaya itu sangat normal karena ada perbedaan pandangan soal hierarki di pemerintahan dan swasta,” ujar Nadiem.
Menurut Nadiem, tim itu memang diberi kesempatan berkonsultasi langsung dengan para pejabat di Kementerian Pendidikan. Ini mengubah pakem sebelumnya, yaitu tim eksternal cuma bisa berinteraksi dengan anggota staf atau pejabat pembuat komitmen. Namun Nadiem memastikan pengambil keputusan tetap para direktur jenderal, bukan tim di luar struktur birokrasi.
Kantor Metranet di kawasan bisnis Mulia, Pancoran, Jakarta Selatan, 15 Oktober 2022.
Keriuhan tim bayangan turut menyinggung keberadaan sejumlah konsultan yang bekerja di Kementerian Pendidikan. Sebagaimana tim teknologi, konsultan ini juga menyebar di sejumlah direktorat jenderal. Sejumlah pejabat dari tiga lembaga konsultan mengatakan institusinya kerap memberi masukan tentang evaluasi kebijakan kepada petinggi Kementerian.
Lembaga-lembaga ini mengevaluasi penyaluran dana bantuan operasional sekolah, mengkaji kurikulum sekolah kejuruan, hingga perumusan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Keberadaan konsultan ini dibenarkan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo.
Anindito mencontohkan, ada konsultan yang terlibat dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Mereka bertugas meneliti dan mencari data yang dibutuhkan tim perumus. “Penentu kebijakan dalam RUU Sisdiknas tetap pejabat struktural di Kementerian Pendidikan dan tak disetir oleh konsultan mana pun,” demikian klaim Anindito.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Satriwan Salim, mengatakan jumlah anggota tim bayangan yang mencapai 400 orang berpotensi menggeser peran pegawai negeri di Kementerian Pendidikan. Menurut dia, Nadiem semestinya membuat formula kerja sama agar terjadi transfer pengetahuan dan teknologi.
Menurut Satriwan, Nadiem juga tak transparan dalam menjelaskan struktur dan peran tim bayangan tersebut. “Ada persoalan dalam prinsip good and clean governance serta tata kelola pemerintahan,” katanya.
Menanggapi berbagai tuduhan soal tim bayangan, Nadiem Makarim menyebutkan ratusan pegawai Telkom yang menempel di direktorat jenderal mengerjakan proyek yang sangat spesifik di bidang teknologi. Dia menerangkan, pegawai di birokrasi tak akan mampu mengejar kemampuan dan keterampilan para insinyur teknologi meski diberi pelatihan. “Karier mereka tergolong super-spesialis sehingga harus direkrut dari luar,” ujarnya.
DEVY ERNIS, EGI ADYATAMA, YOGA YUDHISTIRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo