Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Suriah: Menjadi Afganistan II

Pemberontakan di Suriah oleh kelompok HTS pimpinan Abu Mohammed al-Julani bisa menjadikan negara itu Afganistan kedua.

11 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejak 2011, Suriah jatuh dalam perang saudara. Gempuran terhadap pemerintahan Assad datang dari semua penjuru mata angin.

  • Kelompok yang berhasil merebut Damaskus dan membuat Assad kabur adalah Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang dipimpin oleh Abu Mohammed al-Julani.

  • Di masa depan konflik, ini akan makin panjang dan brutal. Suriah akan menjadi Afganistan II.

PADA Minggu yang dingin, ketika termometer menunjukkan angka 16 derajat Celsius, Presiden Suriah Bashar al-Assad meninggalkan ibu kota Suriah, Damaskus, dengan pesawat terbang ke tempat yang belum diketahui. Pesawat itu hilang secara misterius dari radar tak lama setelah lepas landas. Ada kemungkinan Al-Assad, yang telah menjadi presiden selama 24 tahun, menuju satu dari dua negara yang mendukung rezimnya, Iran atau Rusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski belum diketahui jelas keberadaannya, yang pasti kepergian Bashar ini menandai berakhirnya dinasti politik keluarga Al-Assad yang telah berkuasa di Suriah selama lebih dari 50 tahun. Ia melanjutkan kekuasaan ayahnya, Hafez Al-Assad, yang memerintah sejak 1971 hingga 2000.

Kekuasaan keluarga Assad berakhir setelah para pemberontak bersenjata yang berpusat di Idlib berhasil merangsek masuk ke Ibu Kota Damaskus. Kejatuhan Damaskus sebenarnya sudah lama diramalkan, tinggal menunggu waktu. Sejak 2011, Suriah jatuh dalam perang saudara. Gempuran terhadap pemerintahan Assad datang dari semua penjuru mata angin. Para pemberontak ini seperti gerombolan kurcaci yang menunggu lemahnya Gulliver, pemerintahan Assad yang tidak didukung oleh Amerika Serikat dan Eropa.

Berbagai kelompok milisi bersenjata di Suriah—kebanyakan beraliran Islam garis keras—muncul dan tumbuh subur di negeri itu. Ada yang beraliansi dengan kelompok di luar Suriah, seperti Al-Qaidah dan ISIS, yang kemudian berubah menjadi ISIL (Islamic State of Iraq and the Levant, Negara Islam Irak dan Syam). Ada juga Jabhat an-Nusra (Al-Nusra Front), Harakat Nour al-Din al-Zinki, Liwa al-Haq, Jaysh al-Sunna, dan Hurras al-Din (cabang Al-Qaidah terbaru di Suriah).

Adapun yang berhasil merebut Damaskus dan membuat Assad kabur adalah Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang dipimpin oleh Abu Mohammed al-Julani. Sebelumnya, Al-Julani memimpin pasukan yang ia bentuk sendiri, Jabhat Fateh al-Sham (Front Pembebasan Syam/Suriah). HTS selama ini bermarkas di Idlib, yang berjarak 350 kilometer dari Damaskus.

Kejatuhan Damaskus Tidak Mengakhiri Konflik

Dengan banyaknya kelompok bersenjata di Suriah, bisa dipastikan kejatuhan pemerintahan Assad tidak akan mengakhiri konflik di sana. Bahkan bisa dipastikan di masa depan konflik ini akan makin panjang dan brutal. Suriah akan menjadi Afganistan II.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagaimana diketahui, konflik di Afganistan awalnya muncul untuk menjatuhkan pemerintahan boneka Uni Soviet yang dipimpin oleh Presiden Mohammad Najibullah. Namun kejatuhan Najibullah pada 1996 tidak menghentikan konflik karena para milisi oposisi (mujahidin) kemudian saling berperang memperebutkan kekuasaan hingga saat ini.

Hal yang sama juga tampaknya akan terjadi di Suriah. Seperti juga di Afganistan, sebagian besar kelompok bersenjata di Suriah memiliki latar belakang Islam militan. Dalam sejarahnya, mereka tidak bisa bekerja sama (bahkan berdamai) dengan kelompok lain.

Yang membedakan adalah keberagaman aliran agama dan suku dalam konflik Afganistan. Di Suriah, sebagian besar kelompok bersenjata memiliki mazhab atau aliran religius yang sama, yaitu Sunni yang salafi. Keberagaman suku, meski di Suriah juga ada kelompok Kurdi, sebenarnya tidak sekuat di Afganistan, yang terpecah antara Pashtun, Tajik, dan suku lain.

Meski tidak memiliki keragaman seperti Afganistan, tidak mudah mempersatukan kelompok-kelompok bersenjata di Suriah. Tiap kelompok memiliki agenda dan loyalitas yang berbeda. Bahkan satu kelompok dengan lainnya—meski memiliki mazhab keagamaan yang sama—bisa saling mengkafirkan.

Tidak Adanya Kepemimpinan yang Kuat

Banyaknya kelompok bersenjata di Suriah ini makin diperparah oleh tidak adanya kepemimpinan yang kuat. Tiap kelompok—dan wilayah—memiliki pemimpin yang otonom, tidak bergantung kepada satu sama lain. Meski kejatuhan Assad dilakukan oleh kelompok HTS, bukan berarti Abu Mohammed al-Julani yang memimpin kelompok itu bisa mentahbiskan diri sebagai pemimpin baru Suriah.

Abu Mohammed (Ayah Mohammed) dilahirkan pada 1982 dengan nama Ahmed Hussein al-Sharaa. Ia lahir di Riyadh, ibu kota Arab Saudi, ketika ayahnya bekerja sebagai insinyur perminyakan di negeri kaya minyak itu. Keluarganya kembali ke Suriah ketika Abu Mohammed berumur 7 tahun.

Namanya mulai dikenal saat ia bergabung dengan Al-Qaidah di Irak pada 2003, ketika negeri itu bergolak untuk menjatuhkan Saddam Hussein. Abu Mohammed ditangkap pasukan Amerika Serikat pada 2006 dan dipenjara selama 6 tahun. Keluar dari penjara, Abu Mohammed pindah ke tanah airnya yang mulai bergolak dan membentuk Jabhah al-Nusra sebagai kepanjangan tangan Al-Qaidah.

Ketika Abu Bakar al-Baghdadi mendirikan ISIS pada 2013, Abu Mohammed berkoordinasi dengan kelompok baru ini. Al-Nusra yang ia pimpin mengecil ketika ISIS meluaskan pengaruhnya ke Suriah dan menjadi ISIL. Abu Mohammed kemudian membuat kelompok sendiri yang terpisah dari ISIL.

Ia berambisi menyatukan semua kelompok bersenjata di Suriah di bawah pengaruhnya. Dalam wawancara dengan Al-Jazeera pada 2014, ia mengatakan Suriah harus diperintah dengan hukum Islam yang sesuai dengan tafsir kelompoknya. Selain itu, kelompok minoritas, seperti Syiah dan Kristen, tidak akan diakomodasi dalam pemerintahannya.

Pernyataan Abu Mohammed itu—yang tampaknya tidak akan berubah—membuktikan bahwa konflik di Suriah tak akan segera selesai.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Qaris Tajudin

Qaris Tajudin

Wartawan Tempo. Sarjana hadis dari Universitas Al Azhar Kairo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus