SAYA pernah bertemu dengan seorang yang pada suatu hari kemaluannya disetrum listrik. "Aku menjerit, tentu saja," dia berkisah, "dan rasa sakit hanya menghilang setelah suara teriakku kian lama kian mengecil, dan aku pingsan". Ia tak mengalaminya cuma sekali. Ia seorang bekas tahanan politik, yang harus mengaku untuk beberapa pertanyaan. Dan di ruang interogasi itu, dikelilingi sejumlah orang yang oleh Negara diberi tugas untuk mengusut, tiap kali setrum dinyalakan di antara selangkangannya, ia berharap bahwa cepat-cepat ia tak siuman. Ia tentu bukan satu-satunya pelengkap mencari kebenaran dalam bagian dari proses yang anehnya disebut "pemeriksaan" itu. Saya juga pasti bukan satu-satunya orang yang pernah mendengar. Bahkan mungkin di antara pembaca ada yang pernah mengalami, atau menyaksikan sendiri, tindakan sejenis yang dilakukan oleh sejumlah orang yang disebut "petugas pemeriksaan" itu. Ada terdakwa yang disuruh mengepel lantai dengan lidahnya, dan biasanya menyerah ketika lidah itu mulai luka. Ada terdakwa yang kukunya dicabut dengan tang dari ujung jarinya. Ada yang punggung tangannya diinjak satu kaki kursi yang diduduki seorang pemeriksa yang gendut dan berat, hingga tangan itu luka dengan bekas berlekuk. Kebanyakan dari kita terlindung dari pelbagai horor di dunia yang menyenangkan ini. Kebanyakan kita tak tahu akan kengerian di ruang-ruang interogasi. Kebanyakan dari kita bangun tidur, bekerja, atau cari kerja, atau ke kampus, dan jajan, berlelucon, nonton bioskop, dan kemudian pulang untuk tidur lagi tanpa tahu bahwa nun di balik hidup rutin kita yang tak terganggu itu, ada orang-orang yang disiksa atas nama keamanan -- dan itu berarti keamanan untuk hidup dari jam tenang yang satu ke jam tenang yang berikutnya. Kebanyakan dari kita bisa berjam-jam berkubang -- dengan rasa nyaman dan rasa malas yang bergaya -- di dalam 1001 malam yang dibangun iklan dan khotbah dan wejangan, di mana yang cantik dan yang baik akan tiba dan yang buruk dan yang keji hanya unsur marginal dalam hidup. Di ruang tempat tahanan-tahanan disiksa, di kamar di mana orang-orang yang tak berdaya disakiti, di bilik-bilik rahasia (atau setengah rahasia) di mana tubuh orang yang tak bersalah dirusakkan, hingga darah serta pekik kesakitan tak bisa disumbat, apa yang buruk dan keji justru menjadi sesuatu yang sentral. Semuanya untuk membuktikan suatu versi tentang kebenaran, karena orang (terutama para hakim) percaya bahwa dengan kebenaran itu apa yang adil bisa dilakukan. Orang Yunani Kuno punya sebuah kata, basanos. Kata itu konon berarti "batu penguji". Dalam uraian Page DuBois dalam Torture and Truth, di Yunani Kuno, di negeri Atena yang memberikan hak berbicara dan berargumentasi kepada warga negaranya, ada orang-orang yang tidak punya hak itu. Mereka adalah para budak. Bila para budak harus memberi kesaksian di pengadilan, mereka dianggap tak punya kemampuan memiliki logos, dan sebab itu kebenaran yang didapat dari mereka melalui penyiksaan. Kata basanos, yang kemudian menjadi kata kiasan yang berarti "tes", akhirnya benar-benar menjadi sesuatu yang fisik: ujian badan dalam bentuk siksaan. Dalam arti tertentu kita juga hidup seperti orang Atena kuno: di masyarakat yang terbagi antara orang-orang yang karena satu dan lain hal tidak pernah mengalami siksaan -- sebagai tertuduh, sebagai orang yang kena gerebek, atau saksi di pengadilan -- karena mereka tidak pernah dianggap bersalah, tidak pernah berurusan dengan tim interogasi, punya deking, punya uang, dan punya nasib yang lebih baik. Di sebelah sana, dalam remang- remang yang ditutupi oleh formalitas, ada orang-orang yang tidak bisa menyuap, atau yang terdesak secara sosial dan politik -- orang-orang yang tidak punya pelindung ketika mereka diseret di depan sejumlah petugas pemeriksa, dan menjalani suatu proses sadisme sejati yang disebut sebagai "pemeriksaan". Apa yang kita dengar dari Sidoarjo, dalam proses pengadilan kasus kematian Marsinah, mengingatkan kita akan kenyataan itu. Barangkali karena kita bukan saja telah kehilangan proses hukum yang layak disebut "peradilan", tetapi juga karena kita telah terbiasa hidup dengan etika yang terbatas jangkauannya, etika yang hidup di dunia yang tak tahu adanya ruang-ruang penyiksaan, dan sebab itu tak terbiasa bertanya tentang orang lain, "Dapatkah ia menderita, dapatkah ia kesakitan?"Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini