MEREKA dapat disebut pionir. Soalnya, mereka adalah kelompok wartawan Indonesia pertama yang memperoleh undangan resmi dari pemerintah Israel. Mereka adalah Derek Manangka (Media Indonesia), Nasir Tamara (Republika), Wahyu Indrasto (Eksekutif), dan Taufik Darusman (Indonesian Business Weekly). Pada awal Februari lalu, mereka diundang ke Israel -- dengan biaya dan fasilitas pemerintah Israel -- melalui kedutaan negeri Yahudi itu, di Singapura. Lalu, selama sepekan keempat wartawan itu berkeliling Israel, mengunjungi Kibbutz lembaga riset Israel -- dan pelabuhan Elat di Kota Aqaba. Mereka juga sempat mewawancarai Perdana Menteri Yitzhak Rabin dan Menteri Luar Negeri Shimon Perez. Hasil kunjungan dan wawancara itu lalu dimuat di media mereka masing- masing, termasuk Republika, yang disebut-sebut sebagai koran umat Islam itu. Dilihat dari reportase maupun wawancara-wawancara selama kunjungan itu, secara jurnalistik tak ada yang istimewa. Yang ramai justru reaksi keras atas kepergian empat wartawan itu. Kecaman pertama muncul dari Menteri Luar Negeri Ali Alatas. "Deplu tak tahu-menahu mengenai kepergian empat wartawan Indonesia. Dan andai kata diminta konsultasi, kami akan mengatakan 'jangan pergi'," kata Alatas dalam dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI, dua pekan lalu. Menurut Alatas, ia sudah mengecek ke PWI dan Departemen Penerangan, ternyata kedua instansi itu tak pernah memberi izin kunjungan itu. "Ini apa- apaan. Empat wartawan kok bisa masuk ke Israel, padahal pada dasarnya seseorang tak bisa ke sana menurut ketentuan imigrasi kita," kata Alatas. Mengapa Alatas dongkol? Dari kacamata politik, pengamat dari UI Prof. Dr. Yuwono Sudarsono melihat kunjungan wartawan Indonesia itu sebagai kemenangan lobi politik Israel. Lukman Harun, tokoh Muhammadiyah, malah menuduh keempat wartawan itu telah menjadi corong pemerintah Israel. "Sebab dengan menerima undangan itu berarti mereka mengakui negara Israel," kata Lukman. Tokoh pendukung perjuangan Palestina ini lebih keberatan karena keempat wartawan itu pergi ke Israel dengan biaya dan fasilitas pemerintah Israel, bukan biaya mereka sendiri. Derek Manangka mengakui bahwa keputusan untuk memenuhi undangan itu diambil Media Indonesia dalam rapat redaksi, tanpa konsultasi atau meminta izin ke instansi pemerintah. Menurut Derek, hanya Nasir Tamara yang mengaku sempat minta izin ke Menteri Negara Ristek, B.J. Habibie. "Ini kan pekerjaan wartawan. Kalau kita lapor ke Ali Alatas, nanti malah tak boleh," kata Derek, yang produktif membuat tulisan bersambung di korannya, tentang kunjungan ke Israel itu. Selain karena pekerjaan wartawan, Derek punya alasan lain: belum lama ini Presiden Soeharo sendiri menerima kunjungan PM Yitzak Rabin. "Kalau dua raja sudah bertemu, masa rakyatnya nggak boleh bertemu," kata Derek. Temannya pun bersikap serupa. "Karena tak ada larangan resmi untuk pergi ke sana, kita pun memutuskan menerima undangan itu," kata Taufik Darusman. Apa pun alasan mereka, reaksi keras tetap muncul. Bahkan dalam demonstrasi soal Bosnia di Kedutaan Besar AS di Jakarta, pekan lalu, salah satu koran para wartawan itu sempat diacung-acungkan para demonstran. "Koran Zionis!!", teriak mereka, yang lalu merobek-robek koran itu.Bambang Sujatmoko, Ardian T. Gesuri, dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini