GEDUNG DPRD Sumatera Utara, belakangan ini, mendapat fungsi tambahan. Kantor dengan halaman parkir yang luas di Jalan Imam Bonjol, Medan, itu menjadi hotel prodeo, tempat menginap para petani yang kecewa. Inilah yang dialami sekitar 100 kepala keluarga petani Desa Silau Jawa, Kabupaten Asahan, sejak awal bulan lalu. "Sampai habis uang kami mengurus PIR di sini," kata Adil Manurung, salah seorang demonstran asal Silau Jawa, mewakili teman-temannya. Bersama anak dan istri, mereka tidur di emperan gedung wakil rakyat itu. Itu gratis, tapi mereka harus mengeluarkan uang untuk transpor dan makan sehari-hari. Padahal, selama tiga tahun ini, sudah empat kali mereka mengadakan aksi serupa ke DPRD Sumatera Utara, yang jaraknya hampir 200 km dari kampung mereka. Untuk apa aksi ini? "Demi harga diri, dan mempertahankan warisan nenek moyang kami," kata Adil. Karena itu, sekalipun harus pulang kampung setelah bekal di kantong habis, mereka akan datang lagi ke DPRD tersebut -- kalau kantong sudah berisi, misalnya setelah panen. Mereka mewakili sekitar 300 keluarga petani Silau Jawa. Para petani miskin ini ditimpa nahas setelah Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) V membuka areal perkebunan inti rakyat (PIR) di desa mereka, di Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, Kabupaten Asahan, sepuluh tahun silam. Termakan janji muluk -- nasib rakyat miskin akan ditingkatkan melalui PIR -- Aldi, mewakili teman-temannya, menyerahkan 600 hektare lebih tanah warisan mereka untuk areal PIR. Kepada sekitar 300 keluarga ahli waris tanah dijanjikan masing-masing dua hektare kebun kelapa sawit. Apa lacur? Ternyata, ketika pohon sawit mulai berbuah, tahun 1991, keluar surat penunjukan peserta PIR dari Pemda Kabupaten Asahan dan pemimpin proyek PTP V. Dari sekitar 300 keluarga itu, yang diberi dua hektare kebun sawit per keluarga hanya 40 keluarga. Sisanya harus gigit jari, atau menjadi buruh kasar di kebun -- bekas lahan mereka. Sebagian besar kebun kelapa sawit itu dikuasai oleh petani berdasi alias para pejabat di Asahan. Itu atas kebijaksanaan yang diambil oleh Bupati Asahan Kolonel H. Rihold Sihotang. Sang bupati cukup lihai. Dalam keputusannya disebutkan bahwa seluas 450 ha kebun kelapa sawit itu dipergunakan untuk membiayai administrasi para kepala desa di kabupaten itu, atau disebutnya kas desa. "Padahal tanah itu dikuasai petani berdasi," kata sumber TEMPO. Beberapa kepala desa mengaku hanya menerima uang hasil kebun sawit itu satu kali, beberapa tahun lalu. Setelah itu, tak ada kabar beritanya. Merasa terkecoh, para petani itu membuat aksi. Upaya itu tak sia-sia. Departemen Pertanian mengendus cerita tak beres ini. Direktur Jenderal Perkebunan M. Badrun, Desember 1992, melayangkan surat ke Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, minta agar areal PIR itu tak dialihkan menjadi tanah kas desa. Sertifikat tanah agar segera diselesaikan, dan diberikan kepada petani. Gubernur pun tanggap. Dalam surat balasan kepada Dirjen, Raja Inal mengatakan bahwa masalah PIR Silau Jawa sudah dibereskan oleh Bupati Asahan. Tampaknya, Gubernur Raja Inal sudah mendapat laporan ABS (asal bapak senang) dari sang bupati. Aksi para petani ke DPRD Sumatera Utara membuktikan hal itu. Menurut M. Ta'dung, staf Tim Khusus PIR Direktorat Jenderal Perkebunan, pengalihan lahan PIR yang dilakukan Bupati Rihold Sihotang menyalahi ketentuan. Jadi, kata pejabat itu, tampaknya, Bupati Asahan telah bertindak sewenang-wenang. Mengapa? "Program PIR itu untuk meningkatkan taraf hidup petani, bukan untuk hal lain," kata Menteri Pertanian Sjarifudin Baharsjah kepada TEMPO. Pemda Asahan tampaknya tak peduli atas sikap Menteri Pertanian itu. Humas Pemda Asahan, Amirudin Lubis, mengatakan bahwa mereka tak pernah tahu adanya surat Dirjen Perkebunan tadi. Dan Bupati Kolonel Rihold Sihotang rupanya selalu siap menghadapi aksi petani. Awal Februari lalu, ketika sekitar 70 petani mengadakan demonstrasi ke kantornya, semua pintu masuk ke halaman kantor ditutup buldoser. Lalu, aparat keamanan menggiring demonstran ke kodim setempat, di sebelah kantor bupati. Di sana, mereka diintimidasi, diwajibkan membersihkan sampah, bahkan ada yang kena bogem mentah, lalu disuruh pulang. "Kamu tak berhak atas tanah itu. Kalau tak senang, adukan saya ke pengadilan," kata Kolonel Rihold Sihotang kepada delegasi petani yang malang itu.Agus Basri, Nunik Iswardhani, Irwan E. Siregar, dan Munawar Chalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini