PERIHAL perlu atau tidaknya sebuah Undang-Undang Keselamatan dan Keamanan Negara (UUKKN) bukanlah soal yang perlu dipermasalahkan. Sebab, perangkat hukum untuk menjaga keutuhan negara adalah salah satu pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, yang jelas-jelas perlu dicermati dengan saksama dan wajib dijadikan debat publik adalah soal bagaimana bunyi pasal-pasal dan ayat-ayat di dalamnya. Maklum, ini menyangkut pemberian wewenang yang luar biasa kepada presiden dan aparat militer. Suatu hal yang—di republik ini—meninggalkan trauma dan luka-luka yang dalam dan menganga, yang masih jauh dari sembuh, bahkan masih melahirkan luka-luka baru.
Dalam konteks ini, wajar jika upaya melahirkan undang-undang seperti ini akan dihadapi dengan was-was oleh orang ramai. Bukan karena masyarakat tidak merasakan perlunya menjaga keutuhan bangsa, melainkan karena tak yakin produk hukum ini dibuat dengan niat yang sama. Jangan-jangan malah hanya akan dijadikan tameng hukum untuk mengekalkan kekuasaan dan melegitimasi kebijakan yang represif.
Kekhawatiran ini bukanlah mengada-ada. Kesan bahwa aparat pemerintah acap kali menyalahgunakan wewenang dan seolah-olah kebal hukum sudah terpatri di benak kebanyakan orang. Kasus Ghalib, yang dinyatakan polisi militer tidak terbukti hingga penyidikannya dihentikan, adalah contoh paling mutakhir. Begitu juga berkeliaran bebasnya oknum aparat yang dilaporkan masyarakat telah melakukan tindak pidana, terutama di Aceh. Padahal tindak pidana itu, antara lain pemerkosaaan, jelas-jelas melanggar doktrin utama TNI seperti Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Delapan Wajib ABRI.
Karena itu, jangan salahkan masyarakat jika reaksi mereka atas penyusunan RUU ini adalah: kami perlu bukti, bukan janji. Jadi, sepatutnya pemerintah dan TNI menunjukkan dulu kedisiplinan mereka dalam menjalankan hukum dan aturan yang berlaku sebelum meminta wewenang yang lebih banyak lagi seperti dalam rancangan UUKKN yang diajukan.
Salah satu yang dapat dikerjakan TNI adalah soal penyusunan petunjuk pelaksanaan dari perubahan bunyi Sumpah Prajurit, dari ''setia kepada pemerintah" menjadi ''setia kepada negara", seperti diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1988. Termasuk juga penyusunan prosedur tetap bagi para prajurit dan perwira di lapangan yang merasa harus menolak perintah atasannya karena menganggap instruksi tersebut bertentangan dengan doktrin TNI.
Artinya, baik aparat militer maupun sipil harus membenahi dulu perangkat internal yang mengatur penggunaan wewenangnya, dan menunjukkan kemampuan untuk melaksanakannya secara konsekuen tanpa mengenal bulu ataupun bintang. Bila semua ini telah mampu dibuktikan dan hasilnya diterima masyarakat, pemberian wewenang yang lebih besar tentu tak akan dipermasalahkan lagi.
Masalahnya, tanpa pembuktian yang dapat diterima itu, RUUKKN jelas tak dapat diloloskan. Sebab, bila dipaksakan juga, UUKKN akan terpeleset dari undang-undang yang mengatur keselamatan dan keamanan negara menjadi perangkat hukum yang melegitimasi perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kita semua tentu tak menginginkan hal ini terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini