SEORANG ahli hukum perbankan tiba-tiba mempersoalkan kasus Bank Bali dengan sengit sekali. Kalau disimak benar-benar, pembaca akan dapat menghayati suasana menggelegak yang sedang berproses dalam dirinya. Tapi, di luar gelegak itu, diakuinya ia tidak punya kepentingan apa-apa. Ia, pokoknya, harus bicara. Apalagi pelaku-pelaku utama dalam "drama" Bank Bali ini punya kaliber tersendiri: wakil bendahara sebuah partai besar, oknum pejabat di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dan pemilik sebuah hotel mewah di Jakarta. Mereka semua tokoh penting yang beraksi untuk tokoh yang lebih penting dan demi tujuan yang dianggap mahapenting.
Sejauh ini, Bank Bali (BB) dinyatakan terjebak, tapi kenyataannya tidak persis begitu. Syahdan, BB memiliki tagihan sekitar Rp 3 triliun di tiga bank beku operasi yang berada dalam "perawatan" BPPN. Namun, karena sebab-sebab tertentu, BB tak mampu menembus ke BPPN. Jasa-jasa baik lalu ditawarkan oleh bos hotel dan bendahara partai, sehingga cairlah uang dari BPPN Rp 900 miliar. Di sinilah pejabat BPPN itu berperan. Sayang, permainannya tidak tuntas. Soalnya, dari Rp 3 triliun, yang sempat cair hanya Rp 900 miliar, dan sebesar Rp 500 miliar dari jumlah itu langsung disisihkan sebagai komisi buat bendahara partai dan bos hotel. Bank Bali dirugikan, terlebih karena rekayasa yang tidak lazim itu terlacak oleh pihak-pihak yang melakukan due diligence. Celakanya lagi, negosiasi untuk joint venture gagal, disusul adanya rush. Sebuah bayaran yang mahal.
Masalahnya kini, kalau benar BB digerayangi money politics—seperti yang diisukan—mengapa anggota DPR belum memanggil ketua BPPN? Bank Bali bobol pada 2 Juni 1999—hanya lima hari sebelum pemilu—tapi di mana petugas pengawas pemilu, sehingga mereka tidak mengendus bau yang tak sedap itu? Lalu, apakah partai pembobol tidak terpanggil untuk melakukan bersih diri?
Sejauh ini, sikap pasif pihak-pihak berwenang memang menimbulkan tanda tanya. Mungkin karena itu, Prajoto—demikianlah nama ahli hukum perbankan itu—menggugatnya sedemikian keras. Pembobolan itu, kalau benar terjadi, seakan menyeret bangsa ini ke tengah pusaran banyak soal yang tidak dengan mudah bisa dipahami—karena ada sisi gelapnya—tapi harus cepat diatasi. Dan karena untuk biaya rekapitalisasi rakyat ikut terbebani, pembobolan Rp 900 miliar itu—termasuk Rp 500 miliar untuk sejumlah oknum—harus diusut dan dicari kejelasannya. Kegagalan seorang Rudy Ramli mengajarkan lagi bahwa dunia keuangan hanya bisa selamat kalau prinsip kehati-hatian diterapkan dan etika bisnis ditegakkan. Akan halnya politik uang, barangkali itulah semacam benalu yang melekat di sistem demokrasi, dan benalu yang terkenal ganas ini harus terus-menerus diperangi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini