SABTU, 24 Juli 1999, lewat tengah hari. Sekitar 20 anak laki-laki murid SMU Negeri 96 lari tunggang langgang ke arah Sungai Mookervaart, kawasan Cengkareng, Jakarta Barat. Anak-anak remaja itu dikejar-kejar oleh sekitar 50 orang pelajar, musuh bebuyutan mereka dari SMK PGRI Kampungjawa. Ketika mereka tiba di tepi sungai, ada sebuah perahu penyeberang. Tanpa pikir panjang, anak-anak itu berlompatan ke atas perahu sembari memaksa penghela perahu untuk menyeberang. Tapi, apa daya, perahu tua itu terbalik. Para penumpang terjungkal dan mencoba berenang ke tepi yang lain di tengah hujan batu dan acungan celurit dan golok. Dan itulah hari yang nahas bagi Syaiful Amin dan Lucky Ferdinansyah. Kedua murid SMU 96 itu akhirnya mati tenggelam karena tak bisa berenang.
Tak ada yang tahu persis sebab dan sejak kapan permusuhan antara anak SMU 96 dan SMK PGRI Kampungjawa yang terletak di kawasan Cengkareng itu dimulai. Pokoknya, setiap kali bertemu, kedua kelompok itu selalu bertempur. Seperti yang terjadi siang itu. Anak SMU 96 sedang berdiri di halte bus Jembatanbaru, Cengkareng, sedangkan anak-anak SMK Kampungjawa berlompatan turun dari bus umum di seberang halte. Terjadilah tragedi Sungai Mookervaart itu. Dengan tewasnya Syaiful dan Lucky, korban yang tewas akibat tawuran pelajar di kawasan Jakarta dan sekitarnya pada Juli 1999 sudah mencapai enam orang. Memang, menurut data yang dikumpulkan Direktorat Bimbingan Masyarakat, Polisi Republik Indonesia, jumlah dan kualitas tawuran pada 1999 meningkat. Pada semester pertama tahun 1999, ada 77 kasus tawuran dengan 42 murid sekolah menderita luka berat dan 12 orang tewas. Sedangkan semester tahun 1998 terisi dengan 58 peristiwa tawuran dengan 10 korban luka berat dan lima orang tewas.
Banyaknya korban yang mati dan luka berat adalah akibat senjata yang dipakai untuk tawuran, seperti celurit, samurai, dan pisau. Dan yang menjadi favorit "anggota geng tawuran" itu adalah ikat pinggang berkepala bola-bola logam dan botol berisi bensin yang bisa dipakai untuk membakar atau mengebom. Menurut seorang polisi yang biasa merazia tempat-tempat rawan tawuran, botol berisi bensin itu cara terbaru untuk mengakali razia. Alasan yang diutarakan anak-anak itu, botol berisi bensin itu akan dipergunakan untuk mengisi bahan bakar sepeda motor.
Penyebab tawuran? Biasanya hal-hal yang sepele seperti saling mengejek. Ada juga penyebab yang tak jelas dan lebih karena perkelahian itu sudah terjadi sejak dulu. "Kalau kita tanya, jawabannya tidak tahu. Barangkali berasal dari kakak-kakaknya, sudah seperti tradisi," kata Enoch Markum, Ketua Kelompok Kerja Penanggulangan Masalah Tawuran, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Lagi pula, pelaku tawuran tidak hanya dari kelompok tertentu. Menurut Enoch, mereka bisa datang dari mana saja, bukan harus dari keluarga yang berantakan dan agamanya lemah. "Semua itu tidak ada korelasinya," tutur Enoch. Lalu, dari mana datangnya kekerasan? Ternyata itu pertanyaan yang sulit dijawab.
Dari angket Yayasan Lembaga Pembinaan Penyuluhan Hukum dan Lingkungan (YLP2HL), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang khusus bergerak di bidang penyuluhan tawuran, sekitar 90 persen siswa tidak menghendaki terjadinya tawuran. "Jadi jelas, pemicunya hanya segelintir orang," ungkap Prasetyo H.S., Ketua YLP2HL. Sayangnya, mereka sering terjebak dalam keadaan untuk "harus ikut" tawuran. Apalagi bila dua buah sekolah letaknya berdekatan dan bermusuhan, akan sangat sulit mencari ujung dan pangkal tawuran. "Maka, terjadilah pola untuk menyelesaikan permusuhan dengan kekerasan," kata Enoch. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang bangga dengan tawuran. Ada sekolah yang memberi label pada dirinya sebagai "brutality school" (sekolah kebrutalan—Red).
Tawuran pelajar ini sudah sampai ke tahap parah hingga pelaku tawuran yang ditahan polisi tidak menunjukkan penyesalan. Pelajar sebuah SMU yang ditahan di Polsek Tanahabang karena tawuran, pada hari pertama masuk sekolah Senin dua pekan silam, misalnya, rata-rata tak acuh ketika ditanyakan penyesalannya. "Ya, bertobatlah," jawab salah satu anak, sembarangan.
Dengan sikap seperti ini, persoalan tawuran menjadi semakin kompleks karena tidak ada sebab tunggal tawuran. Penyebab tawuran itu bisa orang tua, guru, lingkungan, atau karakter sang murid. Tetapi kerumitan masalah ini tak menghalangi berbagai pihak melakukan upaya penanggulangan. Sebagian orang tua sudah mencoba untuk memasukkan anaknya ke pesantren, sementara yang dilakukan YLP2HL antara lain adalah menerjunkan tenaga-tenaga penyuluh ke sekolah-sekolah untuk menjelaskan konsekuensi hukum tawuran. "Selain itu, mereka disadarkan dengan memberi contoh orang-orang yang berhasil dalam hidup," kata Prasetyo.
Ada juga yang mencoba dengan cara menegakkan disiplin murid. Tiga tahun silam, Kodam Jaya membuat sekolah khusus untuk anak-anak bengal. Anak-anak bermasalah yang didapat dari razia tersebut diasramakan di Markas Kodim 0501 di Jalan Prapatan, Jakarta Pusat, paling lama sebulan. "Sekolah ini menekankan pendidikan mental dan disiplin," kata Mayjen A.M. Hendropriyono, Pangdam Jaya waktu itu. Sayangnya, usaha ala militer itu gagal. Lulusan Kodim 0515 malah menjadi jagoan baru, hingga sekolah tersebut ditutup pemerintah pada Juni 1997.
Lalu, upaya apa lagi yang bisa dilakukan? Psikolog Sarlito Wirawan adalah salah seorang yang sudah patah arang dengan tawuran. Dia mengaku bosan dengan berbagai pendekatan yang selama ini dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi tawuran. "Tawuran itu kriminal, titik" katanya. Tak ada jalan lain untuk menyelesaikan tawuran kecuali pelakunya ditangkap dan diadili. Konkretnya, aparat polisi harus nongkrong di titik-titik rawan kejadian. "Untuk beberapa bulan ditungguin, dirazia, dan ditangkap," kata Sarlito. Ini suara seorang psikolog terkemuka. Kalau dia saja sudah patah arang, bagaimana dengan masyarakat awam? Dan bagaimana pula dengan para orang tua? Apa penyelesaian legal bisa menyulap mereka menjadi anak baik-baik?
BULAN KEJADIAN | JUMLAH | KORBAN TAWURAN | ARENA TAWURANJanuari 1998 | 3 | 1 mati, 61 ditahan | Jalan Ahmad Yani, Cempakaputih | Jalan Kemandoran, Kebonlama, Jakarta Selatan Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan Jalan Iskandarsyah, Blok M, Jakarta Selatan Halte bus Bulungan, Jakarta Selatan Terminal Kampungmelayu, Jakarta Timur Jalan Letjen Sutoyo, Cawang, Jakarta Timur Jalan D.I. Panjaitan, Jakarta Timur Jalan Raya Matraman, Jakarta Timur Halte bus Susu Bendera, Pasarrebo, Jakarta Timur Jatinegara Barat, Jakarta Timur Jalan Otista, Jakarta Timur Jalan Raya Bogor, dekat Kramatjati, Jakarta Timur JENIS SENJATA - batu - ikat pinggang - golok - rantai besi - pisau - bensin di botol - celurit - batang kayu/besi Februari 1998 | 7 | 1 mati, 138 ditahan | Jalan Raya Bendunganhilir, Jakarta PusatMaret 1998 | 9 | 215 ditahan | Jalan Letjen Suprapto, Jakarta PusatApril 1998 | 31 | 540 ditahan | Jalan Gunungsahari, Jakarta PusatMei 1998 | 4 | 2 mati, 86 ditahan | Jalan Kramat Raya, Jakarta PusatJuni 1998 | 4 | 1 mati, 16 ditahan | Jalan Salemba Raya, Jakarta PusatJuli 1998 | 15 | 2 mati, 59 ditahan | Jalan Diponegoro, Jakarta PusatAgustus 1998 | 21 | 1 mati, 123 ditahan | Jalan Susilo I, Grogol, Jakarta BaratSeptember 1998 | 31 | 2 mati, 323 ditahan | Jalan Daan Mogot, Jakarta BaratOktober 1998 | 25 | 4 mati, 61 ditahan | Jalan Maruya Utara, Jakarta BaratNovember 1998 | 25 | 1 mati, 117 ditahan | Duri Kosambi, Jakarta BaratDesember 1998 | 18 | 2 mati, 54 ditahan | Jalan Gajah Mada, Jakarta BaratJanuari 1999 | 9 | 1 mati | Jalan Agung Utara, Jakarta UtaraFebruari 1999 | 43 | 6 mati, 322 ditahan | Jalan Cacing, Cilincing, Jakarta UtaraMaret 1999 | 9 | 3 mati, 228 ditahan | Jembatan Pasar Hipli, Semanan, Jakarta BaratApril 1999 | 10 | 2 mati, 63 ditahan | Jalan Perintis Kemerdekaan, Arion Plaza, Jakarta UtaraMei 1999 | 3 | 93 ditahan | SMUN 46, Jakarta SelatanJuni 1999 | 1 | 16 ditahan | Jalan Lentengagung, Jakarta Selatan | | | | | | | | | | | | | | | | | | |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini