Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Nila Pigura

Bahasa memang hasil kesepakatan. Namun bersepakat membenarkan kesalahan lembaga resmi kebahasaan dalam mengelola bahasa bisa merusak bahasa.

9 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHASA tidaklah stagnan, tapi terus bergerak. Geraknya ada yang lancar, bahkan cepat. Ada yang tersendat-sendat. Ada yang meluas dan mendalam. Ada yang mengerut dan mendangkal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun semua itu bergantung pada kata. Kalau bahasa berkata banyak dan banyak dari banyak katanya bermakna lebih dari satu, geraknya cepat, meluas, dan mendalam. Penuturnya pun, bahkan meski tinggal bukan dari daerah bahasa itu berasal, bisa banyak yang mengakuinya sebagai bahasa ibunya. Sebaliknya, jika bahasa berkata sedikit dan sedikit dari sedikit katanya bermakna lebih dari satu, geraknya lambat, mengerut dan mendangkal, dan terus tak mustahil menghilang.

Tampaknya dimaksudkan untuk mencapai yang pertama itulah, antara lain, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diproduksi. Maksud itu agung dan patut didukung. Jika tercapai, bahasa Indonesia bisa terus bertumbuh di 17 ribu pulau di negeri kepulauan ini. Dan tumbuhnya tak menghambat pertumbuhan ribuan bahasa daerah di negara yang pada lambang negaranya tertulis “Bhinneka Tunggal Ika” ini. Maka tidaklah berlebihan jika KBBI dikatakan berperan signifikan dalam memungkinkan tulisan di lambang negara menjadi nyata.

Namun itu hanya jika produksi KBBI terbuka dalam berbagai tahap dan seginya. Produksinya berangkat dari dan terus dipandu keinsafan bahwa bahasa terus bergerak. Dan geraknya tak hanya di ruang seperti kantor pemerintah, lembaga pendidikan, buku, dan perpustakaan, tapi juga media massa, media sosial, jalanan, terminal, pelabuhan, pasar ikan, pegadaian, warung nasi, rumah bordil, rumah ibadah, dan sebagainya. Di semua itu, kerap bermunculan kata, istilah, atau frasa anyar.

Kemunculannya kerap karena kebutuhan, baik kebutuhan individual maupun komunal. Kemunculannya juga kerap dibantu oleh tersedianya ingatan kolektif atau referensi sosio-kultural setempat. Maka kata, istilah, atau frasa anyar itu kebanyakan komunikatif, sugestif, historis, dan khas.

Masuknya kata, istilah, atau frasa demikian ke KBBI menjadikan entri KBBI bertambah dan bahasa Indonesia kian akomodatif dan artikulatif. Penuturnya bisa kian banyak yang merasa bahwa bahasa Indonesia adalah (salah satu) identitas mereka. Mereka pun akan mengembangkan bahasa Indonesia sesuai dengan kemampuan, kecenderungan, dan cara mereka sendiri. Namun kata, istilah, atau frasa tak bisa masuk tanpa dimasukkan. Untuk memasukkan itu, tentu dengan disertai keterangan dan contoh penggunaannya, produsen KBBI perlu tim blusukan yang bekerja sepanjang tahun di setiap tahun.

Temuan tim blusukan tidak dimasukkan ke KBBI begitu saja. Lebih dulu hal tersebut ditapis dengan penapis yang merupakan manifestasi dari upaya mengembangkan bahasa Indonesia, bukan editor yang bekerja dengan orientasi promosi, misalnya.

Hal-hal seperti itu memang elementer. Namun mari simak lagi “pigura” dalam KBBI. Seperti saya tulis dalam “Dari Pigura” (Tempo, 8 Mei 2022), dari KBBI edisi pertama hingga KBBI edisi cetak dan edisi online teranyar, makna untuk pigura: “gambar atau lukisan yg berbingkai”.

Karena sejak saya duduk di kelas II sekolah dasar (tahun 1973) hingga hari ini makna “bingkai” untuk pigura yang selalu saya temui, dalam bahasa lisan dan bahasa tulis, dan karena entri pigura itu tanpa keterangan, saya menyebut pemaknaan KBBI akan kata tersebut menyesatkan.

Asep Rahmat Hidayat keberatan. Melalui “Tentang Pigura” (Tempo, 19 Juni 2022), dengan menyajikan banyak kutipan dari tulisan-tulisan lawas, pekamus dan penata istilah ini menyatakan bahwa dahulu kala makna untuk pigura adalah gambar atau lukisan yang berbingkai.

Ihwal makna pigura yang satu belaka, Asep menulis, “Tampaknya penyusun kamus bukannya abai, melainkan menunggu makna ‘bingkai’ untuk pigura diuji oleh waktu dan saya yakin waktu telah mengujinya, sehingga penambahan makna tersebut tinggal menunggu jadwal pemutakhiran kamus.”

Di alinea akhir, Asep lebih menampakkan keberatannya walau terselubung, “Semoga kita bisa bersepakat: makna yang sudah ada tidaklah sesat dan makna yang belum tercatat tidaklah haram.”

Bahasa memang hasil kesepakatan. Namun bersepakat membenarkan kesalahan lembaga resmi kebahasaan dalam mengelola bahasa bisa merusak bahasa. KBBI diproduksi pasti tak untuk merusak bahasa Indonesia. Namun KBBI sudah puluhan tahun memaknai pigura dengan makna yang sudah puluhan tahun tak digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat penutur bahasa Indonesia, dan sudah puluhan tahun KBBI tak memasukkan makna pigura yang sudah puluhan tahun amat lazim digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat penutur bahasa Indonesia.

Jika benar makna “bingkai” untuk pigura akan ditambahkan, maknanya dalam KBBI kini memang tak harus dihapus. Keduanya harus tetap dicatat. Namun itu mesti disertai keterangan karena berbagai golongan masyarakat penutur bahasa Indonesia sudah puluhan tahun memaknai pigura sebagai bingkai gambar atau lukisan, bukan gambar atau lukisan yang berbingkai. Jika penambahan maknanya tanpa disertai keterangan, bisa jadi karena nila pigura rusak seluruh KBBI.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hikmat Gumelar

Hikmat Gumelar

Koordinator Program Institut Nalar Jatinangor

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus