Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Korban dan pengorbanan acap menjadi bertaut ketika korban dianggap suci dan layak.
Dalam mitos Meksiko, Dewi Coyolxauhqui menjadi bulan setelah jadi korban keganasan adiknya.
Dalam sebuah tafsir, korban pun menjadi suluh penerang.
KORBAN adalah sebuah negosiasi. Di tengah alam yang tak bisa dikendalikannya, manusia—entah sejak kapan di ribuan tahun yang lampau—mencoba menawar untuk memperoleh kekuasaan atas nasib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menawar, sebab hidupnya adalah paranoia di semua musim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manusia ingin bebas dari waswas itu, biarpun sementara. Ia mencoba membujuk keberuntungan agar datang dan kemalangan enyah dari hidup. Manusia ingin—dalam keterbatasannya—sejenak bertukar kendali dengan “yang transendental”, yang “entah”, yang tak tersentuh. Dalam negosiasi imajiner itu ia bersedia memberikan korban, “ber-korban”. Ia percaya bahwa kekuatan yang secara misterius ada di atas kuasanya akan mau “dibayar” dan membalas budi.
Lihatlah tzompantli. Peninggalan bangsa Aztec yang ditemukan di wilayah Templo Mayor di Mexico City ini sebuah rak besar yang memajang ribuan tengkorak manusia, yang disunduk dan ditata berjejer seperti topeng-topeng tua yang suram. Mereka korban.
Tzompantli yang terbesar, Hueyi Tzompantli (mungkin sepanjang 35 meter, selebar 14 meter, dan setinggi 5 meter), sebuah rekaman menakutkan dan membikin mual. Dalam El Economista lima tahun yang lalu pernah disebut bangsa Aztec memasang puluhan ribu tengkorak di atas sebuah pentas besar yang terbuat dari batu dan kapur perekat. Di anak tangganya “beratus-ratus kepala mayat yang dipaut dalam karang, dengan gigi merongos”.
Mereka bukan hanya kisah pembantaian. Mereka manusia yang harus sakit dan mati agar alam semesta selamat.
Di masa Aztec, seorang tahanan—tentara musuh yang tertangkap—diperlukan. Ia akan disimpan sampai hari yang ditentukan. Hari itu ia akan dibawa naik tangga tinggi piramida yang menjulang di lapangan. Di lantai puncak, beberapa orang pendeta akan menunggu. Dengan pisau yang amat tajam, dan dengan tangan yang terlatih, salah seorang dari mereka akan menyobek dada si tahanan. Dada itu akan dirogoh dan dari sana jantung yang masih berdegup direnggutkan. Setelah itu sisa tubuhnya, jasadnya, akan dilontarkan ke bawah—untuk jadi santapan para dewa dan manusia.
Orang Aztec hidup dalam bayang-bayang mithos yang penuh kekerasan: Dewi Coyolxauhqui dipancung adik kandungnya, Huitzilopochtli.
Alkisah, dewi itu merasa tercemar, ketika ibu mereka secara ajaib hamil.
Ia pun mengerahkan 400 saudaranya untuk membunuh sang ibu. Tapi anak yang dikandung lahir sebelum rencana jahat itu terlaksana. Ia, Huitzilopochtli, anak ajaib yang sakti. Bocah yang kelak akan jadi Dewa Perang ini melindungi ibunya. Ia kalahkan para calon pembunuh yang 400 itu, dan akhirnya ia penggal kepala Coyolxauhqui, kakaknya. Ia cincang tubuh perempuan itu, dan ia lemparkan kepalanya jauh-jauh.
Mithos ini berlumuran darah. Tapi ujungnya sebuah cerita yang bahagia: kepala Coyolxauhqui jadi bulan yang menerangi bumi. Dalam mithos ini, yang berencana jahat dan kalah tak dijebloskan dalam neraka. Ia dicincang—seperti proses ritual Aztec yang mengorbankan manusia. Tapi akhirnya ia, sang korban, mengalami metamorfosis: ia menandai kecerahan.
Korban adalah sebuah negosiasi—juga inspirasi. Orang Aztec takut bila bencana alam terjadi, bila, katakanlah, Dewi Coyolxauhqui dibinasakan lebih lanjut oleh Huitzilopochtli. Untuk mencegah itu, perlu ada manusia yang menderita—seperti Coyolxauhqui: dicincang. Diharapkan Dewi Bulan tak dicederai dan gelap tak mengungkung alam semesta.
Di situ “korban” dan “pengorbanan diri” saling berkait.
Tak mengherankan ada seorang perupa Meksiko yang memuliakan Coyolxauhqui. Ia seorang Kiri yang melukiskan buruh sebagai korban yang diisap kapitalisme—tapi dengan itu Meksiko maju. Dengan teladan Coyolxauhqui, yang ditindas pun jadi suluh penerang. Korban jadi suci.
Seorang arkeolog juga melihat bahwa dalam ritual Aztec pun manusia yang dikorbankan diperlakukan sebagai pemberian yang layak bagi dewa-dewa—bahkan personifikasi para dewa sendiri. Mereka diperlakukan dengan takzim.
Seperti di zaman ini. Mithos Coyolxauhqui masih bagian “dunia modern”: konon korban manusia di Meksiko dimulai pada abad ke-14, abad Renaissance di Eropa dan Majapahit di Nusantara. Di abad ke-21, korban (khususnya korban kesewenang-wenangan) bukan hanya faktor pelengkap dalam negosiasi dengan nasib. Korban jadi ukuran keadilan—bahkan jadi hakim dan sekaligus pendakwa.
Posisi itu mungkin bisa menghibur orang yang dulu dianiaya. Tapi tak setiap Coyolxauhqui sadar akan bahaya yang termaktub dalam peran itu. Mereka yang pernah dizalimi tak dengan sendirinya bebas dari cela; mereka juga bisa tak adil terhadap orang lain.
Maka saya agak jeri melihat metamorfosis dari korban jadi hakim, dari hakim jadi algojo. Saya harap Coyolxauhqui, pemberi terang, selalu ingat akan dirinya semula: sebagai korban—rasa sakit ketika leher dipenggal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo