Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Agar Indonesia Terhindar dari Ancaman Bencana Pengangguran

Indonesia bisa belajar dari Filipina untuk mengatasi masalah pengangguran. Apa strateginya?

20 Februari 2025 | 06.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Indonesia menghadapi ancaman bencana pengangguran.

  • Indonesia belum mengoptimalkan peluang pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.

  • Filipina memiliki program pengiriman pekerja migran yang dapat ditiru Indonesia.

DI masa awal pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto berhadapan dengan sejumlah masalah yang merupakan warisan pemerintahan sebelumnya. Masalah itu, antara lain, kesenjangan sosial yang amat ekstrem; masih besarnya jumlah penduduk miskin dan rentan miskin, yang masing-masing mencapai 40,7 juta jiwa (14,36 persen) dan 69,2 juta jiwa (24,82 persen); hingga tingginya angka pengangguran terbuka yang mencapai 7,86 juta jiwa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Dalam masalah pengangguran, tantangannya cukup besar, dan Indonesia menghadapi ancaman bencana pengangguran. Lihat saja berbagai data statistik berikut ini. Pengangguran lulusan perguruan tinggi (diploma, S-1, S-2, dan S-3) mencapai 42 persen dari 1,1 juta lulusan. Lalu pengangguran lulusan sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, dan madrasah aliyah berkisar 47 persen dari 6,31 juta lulusan (Badan Pusat Statistik atau BPS, 2023).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Jika unit cost tahunan setiap siswa sekolah menengah atas menghabiskan anggaran Rp 5-10 juta dan setiap mahasiswa menghabiskan Rp 10-40 juta (BPS, 2023), ribuan triliun rupiah anggaran pendidikan habis sia-sia. Sebab, hampir separuh lulusannya tidak bekerja dan tak melanjutkan pendidikan.

Selain itu, data memperlihatkan, dari 142,18 juta penduduk yang bekerja, terdapat 17,77 persen lulusan sekolah menengah pertama dan 36,54 persen penduduk berpendidikan sekolah dasar ke bawah. Dengan demikian, jumlah pekerja berpendidikan amat rendah (54,31 persen). Merekalah yang menopang kegiatan ekonomi Indonesia selama ini (BPS, 2024).

Menghadapi kondisi tersebut, pemerintahan Prabowo menyiapkan delapan misi menuju Indonesia Emas 2045. Misi pertamanya: “Impian kami semua rakyat Indonesia mempunyai pekerjaan yang layak.” Adapun misi keduanya: “Anak-anak bangsa kita bisa sekolah dan menuntut ilmu terbaik dengan lancar.”

Pada poin ketiga Asta Cita pun, pemerintahan Prabowo menargetkan peningkatan lapangan kerja berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur. Untuk mewujudkan target-target itu, terdapat 29 agenda nyata yang akan dilakukan pada 2024-2029. Di antaranya, menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya dengan mengutamakan tenaga kerja lokal untuk mengurangi tingkat pengangguran.

Belajar dari Filipina

Untuk melaksanakan semua agenda itu, ada sejumlah strategi yang bisa dilakukan. Pemerintah bisa memetik pengalaman Filipina.

Secara statistik, Filipina berpenduduk 119 juta jiwa. Dari jumlah itu, 49,54 juta jiwa sudah bekerja. Mereka tersebar di sektor jasa (62,1 persen), pertanian (20 persen), dan industri (17,9 persen), baik di dalam maupun di luar negeri (UN World Population Prospect, 2024).

Data Philippine Statistics Authority pada 2019 menunjukkan 59 persen dari jumlah penduduk negara itu pernah menjadi pekerja migran. Tercatat, jumlah uang remitansi yang dikirim oleh sekitar 10,2 juta pekerja ke negara mereka mencapai sekitar US$ 40 miliar.

Kondisi ini berbeda dengan Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, yang jumlahnya mendekati 300 juta jiwa, peluang kerja di luar negeri belum dioptimalkan. Indonesia hanya memperoleh seperempat nilai remitansi yang diperoleh Filipina dalam setahun (Organisasi Internasional untuk Migrasi atau IOM 2023).

Keberhasilan pemerintah Filipina mengirim begitu banyak warganya bekerja ke luar negeri ditopang oleh program Overseas Filipino Workers atau OFWs. Program ini menyasar kaum muda dan lulusan perguruan tinggi. Pelaksananya adalah Department of Migrant Workers alias DMW, yang mengembangkan beragam strategi. 

Strategi itu antara lain, pertama, DMW memberikan pelatihan keterampilan kepada setiap calon pekerja migran. Pelatihan digelar oleh lembaga Technical Education and Skills Development Authority (TESDA) yang bertujuan memastikan calon pekerja memiliki keterampilan yang dibutuhkan di pasar internasional. Dengan begitu, daya saing tenaga kerja Filipina meningkat dan mereka bisa memperoleh gaji yang lebih baik.

Kedua, DMW terus meningkatkan upaya perlindungan hak-hak pekerja migrannya. Lembaga ini menyediakan bantuan hukum di negara-negara tujuan, memperluas kerja sama bilateral dengan pemerintah negara-negara tujuan, serta memberikan pembekalan kemampuan pengelolaan keuangan dan investasi untuk masa depan. Tak hanya itu, lembaga ini juga menyediakan layanan perbankan berupa pengiriman uang berbiaya rendah dari pekerja migran ke keluarganya di dalam negeri, misalnya melalui OFBank.

Ketiga, DMW mengembangkan sarana dan prasarana yang lebih baik di dalam negeri untuk mendukung para pekerja migran serta keluarganya. Bentuknya berupa pusat layanan pekerja migran yang tersebar serta layanan daring untuk memudahkan masyarakat memperoleh informasi yang dibutuhkan. Pemerintah Filipina selalu hadir mendampingi setiap pekerja migrannya meraih masa depan. Hal ini bahkan dimulai sejak calon pekerja hendak berangkat, penempatan, hingga masa kepulangannya. 

Keberhasilan Filipina memperoleh devisa sekitar US$ 40 miliar per tahun dari pekerja migran dapat menjadi pelajaran berharga bagi pemerintahan Prabowo. Jika mereka bisa, mengapa kita tidak.

Salah satu negara tujuan pekerja migran yang bisa dioptimalkan adalah Jepang. Negeri Matahari Terbit ini tengah menghadapi masalah serius dengan penduduknya yang kian menua. Kini populasi penduduk Jepang yang berusia 65 tahun ke atas meningkat ke angka tertinggi sepanjang sejarahnya, yaitu 36,25 juta jiwa (29,3 persen total penduduk). Angka ini akan terus meningkat dan diperkirakan Jepang kekurangan 11 juta pekerja pada 2040 (CNBC, 21 September 2024).

Jepang sangat potensial bagi Indonesia. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan pekerja migran dengan keterampilan tertentu yang disebut tokutei ginou, persyaratannya relatif sederhana. Antara lain, berusia di bawah 30 tahun, berpendidikan minimal sekolah menengah atas atau sederajat, dan mampu berbahasa Jepang.

Selain Jepang, ada setidaknya 35 negara lain yang penduduknya makin menua dan pasti membutuhkan pasokan pekerja migran dari negara lain. Meski begitu, tampaknya dibanding Filipina, Indonesia masih terhambat rendahnya penguasaan bahasa Inggris oleh calon pekerja.

Kondisi ini menunjukkan masih lemahnya daya saing pekerja Indonesia di mancanegara. Hal ini merupakan buah mutu pendidikan yang masih sangat rendah. Berbagai persoalan ini perlu segera diselesaikan lebih dulu jika pemerintahan Prabowo ingin membebaskan Indonesia dari ancaman bencana pengangguran.

Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hafid Abbas

Hafid Abbas

Professor tamu di Asia Center Harvard University, 2006

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus