Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Indonesia 'Pecah', Itu Bukan Kiamat

2 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MARI kita bayangkan sebuah Indonesia baru, yang tanpa Aceh dan tanpa Irianjaya. Kita tidak bisa menyanyi lagi Dari Sabang sampai Merauke, tapi tidak berarti dunia akan kiamat. Kita tidak bisa lagi menikmati hasil LNG di Arun dan tambang tembaga di Timika, tapi tidak berarti Indonesia yang akan datang bakal runtuh. Bahkan mungkin bertambah efisien dan maju. Semuanya, tentu saja, bergantung pada bagaimana kita menyiapkan rencana menghadapi kemungkinan yang terburuk itu. Sayangnya, baik di kalangan pemerintah maupun di masyarakat, belum tampak sedikit pun usaha merancang langkah menghadapi kemungkinan "disintegrasi nasional" itu. Indonesia seakan-akan terpukau oleh sebuah mimpi buruk, dan tak berani bergerak. Presiden Abdurrahman Wahid menutup kemungkinan membuka pilihan "merdeka" dalam referendum di Aceh nanti. PDI Perjuangan bahkan menutup gagasan untuk memilih alternatif federalisme, dan tentu saja juga bagi Aceh. Begitu pula halnya dengan TNI. Setiap sikap doktriner dalam perkara yang musykil ini hanya akan membuat macet usaha mencari jalan keluar. Sikap serba menutup gagasan lain dan memasang pelbagai tabu (awas, jangan omong federalisme!) hanya akan cenderung mempersulit proses tawar-menawar. Langkah yang kemudian terbuka tinggal satu: kekerasan. Tapi semua tahu, kekerasan, atau aksi militer, seperti yang dijalankan oleh TNI selama sekian tahun terakhir ini, ternyata gagal. Bahkan memperburuk keadaan. Pihak militer bukannya menjaga kesatuan Indonesia. Dengan cara-caranya yang tak semena-mena dan brutal terhadap rakyat Aceh dan Irian, mereka itulah yang memperkuat semangat "disintegrasi" ini. Dan karena perilaku militer itu pula, beserta trauma yang terjadi, pemerintah pusat tak akan bisa—baik secara moral maupun politis—melakukan apa yang pernah ditempuh pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Lincoln di abad ke-19: memaksa kembali, dengan menempuh "perang saudara", negara-negara bagian yang ingin memisahkan diri dari federasi AS karena tak setuju dengan dihapuskannya perbudakan. Jalan yang bukan aksi militer tentu saja negosiasi atau tawar-menawar. Inilah yang dipilih oleh pemerintahan Gus Dur. Pilihan itu patut dihargai. Tapi pilihan itu hanya akan punya arti kalau negosiasi itu memenuhi beberapa prasyarat. Pertama, harus ada pengertian bahwa hasilnya akan berupa sebuah kompromi, dan tak akan ada kemenangan mutlak. Kedua, harus ada konsep yang merumuskan sejauh mana batas kompromi itu. Ketiga, harus ada strategi tawar-menawar. Tapi, tampaknya, konsep tawar-menawar itu belum ada di tangan pemerintah. Bahkan, sejauh ini belum jelas siapa yang akan merumuskan konsep itu, dan siapa yang akan melaksanakan negosiasi. Seakan-akan semuanya hanya ada di kepala Gus Dur. Tak terdengar apa pikiran Menteri Dalam Negeri, bahkan tak kita ketahui apa pekerjaan Menteri Negara Urusan Otonomi Daerah dalam perkara ini. Maka, tak terdengar pula apakah pemerintah telah melakukan apa yang dalam manajemen disebut "analisis persoalan potensial" dan, setelah analisis itu, merumuskan pilihan tindakan guna menghadapi persoalan yang mungkin terjadi—termasuk yang terburuk. Pekan ini majalah ini mencoba mendiskusikan beberapa skenario tentang Indonesia di masa datang. Hal yang akan kami kemukakan lagi ialah bahwa Indonesia adalah sebuah proyek bersama, begitu ia lahir sebagai bagian dari akhir kolonialisme Belanda. Indonesia, dengan batas-batasnya selama ini, lahir dari sebuah "kebetulan" sejarah. Kata "kebetulan" ini berarti ia tidak lahir sebagai sesuatu yang alami ataupun datang dari langit sejak zaman purbakala. Meskipun demikian, walaupun "kebetulan", proyek bersama ini semenjak 28 Oktober 1928 diselenggarakan dengan semangat yang tulus. Ia didukung secara luas, dari lapisan atas sampai bawah. Di sana-sini memang ada persuasi dan represi untuk menjaga proyek bersama itu, tapi pada umumnya ada keikutsertaan yang tanpa dipaksa. Karena itu, sudah seharusnya ada kebebasan bagi siapa saja buat menentukan, akan terus ikut dalam proyek bersama itu atau tidak. Jika sebagian besar rakyat Aceh bilang "tidak", juga sebagian rakyat Irianjaya, mereka tidak bisa dikerasi untuk bilang "ya". Memang akan menyedihkan apabila Aceh dan Irianjaya meninggalkan Indonesia. Tapi sebuah rencana yang baik akan bisa mengurangi, bahkan meniadakan, akibat buruk dari perceraian itu. Bukan mustahil Indonesia yang akan datang—justru karena hilangnya dua wilayah dengan sumber alam—akan lebih terpaksa menyiapkan sumber daya lainnya, terutama kualitas manusianya. Bahan itu sudah ada, dan jika dikelola baik-baik, dengan infrastruktur yang lebih siap, modal itu akan menyebabkan Indonesia maju seperti Taiwan yang pesat dan besar. Bersamaan dengan itu, Indonesia akan menonjol karena satu hal lain: inilah negeri yang tidak terdiri atas satu suku saja, inilah bangsa yang terus-menerus belajar hidup dengan perbedaan, apalagi bila ia lebih pandai mengelola perbedaan setelah kegagalan Orde Baru. Sebaliknya, sebuah Aceh atau Papua yang merdeka belum tentu merupakan sebuah tempat yang benar-benar merdeka—terutama bila dirundung dendam kesumat etnis, atau menampik hak mereka yang minoritas dan berbeda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus