Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dilema Calon Legislator dalam Belenggu Koalisi

Calon legislator menghadapi dilema antara upaya menang di daerah pemilihan dan memenangkan calon presiden pilihan partainya.

23 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Para calon legislator kini merasa partai politiknya menjadi beban mereka.

  • Ada dilema antara upaya menang di daerah pemilihan dan memenangkan calon presiden pilihan partainya.

  • Isu politik dinasti dalam pemilihan presiden 2024 telanjur melahirkan respons negatif di seluruh daerah.

Gde Siriana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) dan Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum era sekarang, evaluasi partai politik mengenai calon legislator maupun perolehan kursi dalam pemilihan umum legislatif umumnya berdasarkan kinerja sang politikus. Misalnya apakah calon itu bekerja serius di daerah pemilihannya, memahami garis perjuangan partai, punya narasi, dan berpendidikan tinggi. Bahkan, di era politik biaya tinggi di Indonesia, modal besar calon menjadi kewajiban. Dalam perspektif partai, politikus yang tak memenuhi syarat-syarat tersebut dinilai akan menjadi beban partai dalam hal kontribusi suaranya dalam pemilihan umum.

Sekarang, sebaliknya, para calon legislator yang malah merasa partai menjadi beban mereka dalam Pemilihan Umum 2024. Ini khususnya terjadi pada calon-calon dari partai pengusung Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Bagaimanapun juga, mereka akan berhadapan langsung dengan kemuakan dan kekecewaan para pemilih di daerah pemilihan akibat masalah dinasti Jokowi. Ini bukan lagi soal daerah pemilih atau bukan pemilih Jokowi dalam pemilihan presiden sebelumnya karena rasa muak dan kecewa itu kini sudah tersebar merata di semua daerah.

Ada dilema politik yang berat, tapi harus dijalani para calon legislator. Sesungguhnya dilema politik itu juga terjadi pada pemilihan umum sebelumnya. Misalnya saat Golkar mengusung Prabowo dalam pemilihan presiden 2014 tapi Jusuf Kalla sebagai elite Golkar justru menjadi calon wakil presiden untuk Jokowi. Dalam pemilihan presiden 2024 nanti, dukungan NasDem kepada pasangan Anies-Cak Imin akan menjadi dilema politik bagi calon-calon legislator NasDem di daerah-daerah pemilihan yang mayoritas pemilihnya fanatik kepada Jokowi dan non-muslim. Kini konteksnya berbeda. Isu politik dinasti dalam pemilihan presiden 2024 telanjur memunculkan respons yang kuat di seluruh pelosok negeri. Bahkan, sejak awal ia sudah menjadi narasi negatif yang memberi resistensi bagi calon-calon legislator partai tertentu untuk melakukan sosialisasi ke akar rumput.

Para calon legislator tersebut punya banyak cara untuk mengatasi dilema politik ini, misalnya dengan tidak menempatkan foto Gibran di baliho atau poster kampanye mereka. Mereka lebih berfokus untuk memenangi dirinya ketimbang memenangkan calon presiden dari partainya. Barangkali ucapan “Yang penting pilih saya sebagai wakil rakyat. Kalau presidennya, terserah mau pilih siapa” akan sering terdengar selama pemilihan umum nanti.

Hal ini logis terjadi, mengingat biaya kampanye, termasuk biaya pengadaan saksi, ditanggung sendiri oleh para calon legislator. Tentu saja para calon akan lebih memprioritaskan kepentingan mereka menang dalam pemilihan legislatif.

Dilema politik ini akan melahirkan dualisme pilihan. Pemilih dapat saja memilih calon legislator atau partai tertentu yang mereka kenal, tapi memilih pasangan calon presiden-wakil presiden yang tidak diusung oleh partai calon legislator yang mereka pilih. Dengan kata lain, coattail effect tidak terjadi di semua partai pengusung pasangan calon presiden-wakil presiden.

Sesungguhnya situasi sekarang, dengan fenomena politik dinasti maupun dilema politik calon legislator, merupakan akibat dari praktik kartel politik yang namanya ambang batas calon presiden (presidential threshold). Partai-partai telah dipaksa bergabung dalam suatu koalisi kepentingan, bukan koalisi ideologis atau platform, karena tidak banyak pilihan rasional yang tersedia. Sering kali partai harus memilih kepentingan untuk memenangi kekuasaan daripada basis ideologis dan kulturalnya. Hal itu tentu saja menyebabkan kebingungan dan kegelisahan di kalangan pengurus partai di daerah hingga ranting. Akibatnya, mesin partai di daerah tidak akan efektif mendukung pasangan calon presiden-wakil presiden yang tidak dikehendaki di akar rumput. Misalnya calon legislator dan pemilih Partai Demokrat di daerah akan memiliki penafsiran beragam ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak masuk dalam tim pemenangan Prabowo-Gibran. Hal ini dapat saja dianggap bahwa SBY tidak berkenan dengan politik dinasti Jokowi tapi Demokrat terpaksa ikut mendukung karena tak punya pilihan.

Presidential threshold juga telah mengerangkeng partai untuk melawan politik dinasti. Aturan 20 persen presidential threshold menyebabkan partai sulit menghindari kepentingan-kepentingan penguasa atau inkumben. Mereka pun tidak punya pilihan abstain meskipun tak berkenan dengan kandidat yang disodorkan partai besar atau yang didukung penguasa jika ingin tetap punya hak untuk mengikuti pemilihan presiden. Di sisi lain, tidak tersedia pilihan yang ideal bagi rakyat. Dengan presidential threshold, partisipasi rakyat dalam pemilihan presiden hanya apa yang sudah disediakan elite partai dan penguasa. Padahal itu hanya wujud demokrasi prosedural, bukan substansial. Rakyat sebagai pemilih tak punya mekanisme melawan skenario-skenario yang tidak mereka kehendaki karena sudah terkunci dengan presidential threshold. Dalam hal ini, rakyat hanya menjadi pemilih pasif, bukan pemilih partisipatif.

Dengan demikian, politik dinasti dalam pemilihan presiden 2024 juga sangat mungkin meningkatkan suara golput (golongan putih), terutama di kalangan pemilih Jokowi. Bagaimanapun, tidak semua pemilih Jokowi dapat menerima politik dinasti Jokowi, tapi mereka juga sulit mengalihkan suara mereka ke pasangan lain. Golput juga sangat mungkin terjadi pada pemilih kalangan muda atau pemilih pertama. Mereka yang saat ini masih berpredikat sebagai mahasiswa dengan dunia digitalnya memiliki referensi yang banyak untuk memahami keburukan dari politik dinasti. Mereka juga lebih aktif mencari tahu dari dua sisi berbeda dari setiap kandidat dalam pemilihan presiden. Sangat mungkin mereka menjadi apatis karena telah dipertontonkan politik yang menjijikkan.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gde Siriana

Gde Siriana

Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) dan kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus