DALAM bahasa asing ada pesan agar paku itu dipukul pada
kepalanyalah. Tegak lurus. Jangan miring. Dan tentu jangan
memukul ke langit, sebab yang kena cuma angin.
Seni pukul ini tambah susah kalau masuk pakunya sudah miring.
Dipukul dari segala arah, masih belum tegak juga. Bisa-bisa
malah tambah bengkok. Kabarnya ada orang yang mau memasang paku,
tapi yang dipukul malah mata pakunya. Di sini ada dua kepala
yang keras kepala. Yang menang, tentu kepala paku.
Kita diberi tahu bahwa rakyat cinta film Indonesia. Semua
bintangnya jadi kesayangan. Jadi sudah populer. Jadi sudah laku.
Jadi sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Maka tentulah
sangat mengherankan mengapa masih saja ada perasaan "belum jadi
tuan rumah! Jadi ini tuan rumah sebetulnya kepingin apa lagi.?
Katanya dia juga sudah laku keras di Singapura, Malaysia,
Muangthai, Suriname dan Aljazair. Bukankah itu hebat sekali?
Kemudian kita tahu bahwa tuan rumah sebetulnya kepingin sekali
muncul di bioskop kelas wahid. Kalau perlu, dengan paksa. Itu
bagus saja kalau karcis juga bisa dipaksa turun jadi limapuluh
rupiah. Bisanya jadi tuan rumah kan juga karena karcis murah?
Mana bisa karena cinta kasih melulu? Maka jelas ada beda antara
"tuan rumah" dan "tuan besar".
Tahun yang lalu kita saksikan di TVRI bahwa orang film minta
cinta kaum intelek. Bukan Benyamin yang minta, tapi Dicky
Zulkarnain dan Pak Said dan lainnya. Saya pikir, ini sebetulnya
buat apa? Kaun intelek kan cuma sedikit? Jadi mana bisa ada
untung? Lagi pula, kaum intelek itu suka minta yang
bukan-bukan. Kabarnya mereka minta "film seni". Tapi buktinya
film seni itu tidak laku. Nah, kan rugi saja melayani kaum
intelek?
Selera kaum intelek itu memang memusingkan. Dikasih film
Indonesia di TVRI, marah-marah. Dikasih Bing Slamet Setan
Jalanan, malah dibilang konyol. Intelek itu mau apa'? Ternyata
mereka lebih suka Bomber B-29 dan Srimulat. Kalau mereka
ditanya, aktor dan aktris yang terbaik itu siapa? Jawabnya, Dr.
Herman Soesilo Plus. Kalau ditanya apa sebabnya, maka keluar
perkataan aneh: "wajar". Ada lagi: "masuk akal". Masih ada lagi:
"seperti betul-betulan". Dan siapa sutradara terbaik? Herman
Soesilo. Sungguh memusingkan memang. Maka tak syak lagi siapa
pengarang dialog yang paling tidak konyol. Mudah dimengerti
mengapa kaum film tidak percaya semua ini.
Kaum film lebih suka percaya bahwa kaum intelek itu gandrung
kepada yang barat-baratan. Ini diperkuat oleh pendapat pak Said
yang berkata bahwa mereka itu "kebarat-baratan" dan "tidak
menghargai bikinan bangsa sendiri". Untunglah tidak sukar untuk
membuat film Indonesia itu sebarat mungkin. Hasilnya, yang
Indonesia itu sering tunggal orangnya dan bahasanya saja. Inipun
sekarang sudah makin banyak digerogoti. Di sana-sini dipasang
orang Barat jadi figuran, kalau tidak bungkuk-bungkuk kepada
orang kita di depan bank Amerika, ya hadir dalam pesta kita atau
nonton lukisan sobat Christine. Bahasa Indonesia sudah penuh
dengan "daaag!", Ernie sudah ber-"siat ap!" dengan bersemangat,
Broery minta "zoen dong come on now" sementara Netty bertanya
waarom ben je toch zo hopeloos mas?" Pada kedua ujung film
juga terpampang tulisan seperti Don't Let Them Hungry dan
Tanty The Best ACTREES.....
Sudah pula diusahakan supaya tidak ada bintang film yang
kelihatan makan kedondong dan salak. Lebih baik apel dan anggur.
Terutama buah anggur ini baik untuk gadis yang maunya rakyat
kecil. Belum lagi soal minuman. Sopir miskin saja bisa kedapatan
mati merangkul botol wiski kelas Hilton internasional. Jelasnya,
lebih Barat dari orang Barat sendiri. Seperti guru SMA itu yang
pergi ke sekolah naik Mercedez super-deluxe milik pribadi.
Profesor Harvard saja tidak punya mobil seperti itu. Dan
bagaimana pula itu penari kampung melayu yang maunya kesurupan
Leslie Caron dan Gene Kelly? Semua ini tentu disukai kaum elita.
Drakula
Tentu saja, yang paling jitu ialah bila bintang kita langsung
saja main sebagai intelek. Itu ternyata sama mudahnya seperti
main sebagai pres-dir atau koboi atau tarsan atau drakula. Yang
diperlukan hanya panggilan "dokter" atau "arsitek" atau
"mahasiswa" atau "asisten dosen" saja. Mereka bisa sebentar
lalu-lalang di serambi universitas, dan dua jam yang masih sisa
pada film beristirahat di pantai, di pulau, di kebun teh, dan
sudah barang tentu di rumah yang maha mewah. Kalau menghadapi
buku di universitas, itu artinya sedang menunggu pacar.
Sementara itu mereka cukup menggunakan dialog lagu pop saja.
Segala omongan ilmiah hanya baik buat Herman Soesilo dan
orang-orang sinting dalam The Wild Wild West.
Sebagaimana kata mas Ratno, kita memang belum mampu membuat film
bermutu. Soalnya biaya kita cuma sekian, padahal Hollywood
menggunakan sekian kali sekian. Nantilah, kalau kita sudah
semakmur Amerika kita akan mempunyai biaya untuk mengarang
cerita dan dialog bermutu. Maka sekarang maklumlah bahwa segala
yang tampak pada film dan di belakang film kita cukup bergaya
prihatin. Tak ada sisa uang lagi untuk dipakai kuliah di luar
negeri seperti Usmar atau Syuman dulu. Jangankan di luar negeri,
kata sementara orang. Dan jangankan bersekolah.
Biasanya, kalau paku itu sudah terlalu bengkak-bengkok, dia kita
buang saja. Pertama, karena rasa jengkel. Kedua, karena percuma
dipukuli terus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini