Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Cara memukul paku

Film-film nasional memprihatinkan, cerita dan dialognya tidak bermutu. kaum intelek gandrung kpd film ke-barat-baratan dan tidak menghargai film sendiri. hasilnya film indonesia melebihi orang-orang barat sendiri.

8 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM bahasa asing ada pesan agar paku itu dipukul pada kepalanyalah. Tegak lurus. Jangan miring. Dan tentu jangan memukul ke langit, sebab yang kena cuma angin. Seni pukul ini tambah susah kalau masuk pakunya sudah miring. Dipukul dari segala arah, masih belum tegak juga. Bisa-bisa malah tambah bengkok. Kabarnya ada orang yang mau memasang paku, tapi yang dipukul malah mata pakunya. Di sini ada dua kepala yang keras kepala. Yang menang, tentu kepala paku. Kita diberi tahu bahwa rakyat cinta film Indonesia. Semua bintangnya jadi kesayangan. Jadi sudah populer. Jadi sudah laku. Jadi sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Maka tentulah sangat mengherankan mengapa masih saja ada perasaan "belum jadi tuan rumah! Jadi ini tuan rumah sebetulnya kepingin apa lagi.? Katanya dia juga sudah laku keras di Singapura, Malaysia, Muangthai, Suriname dan Aljazair. Bukankah itu hebat sekali? Kemudian kita tahu bahwa tuan rumah sebetulnya kepingin sekali muncul di bioskop kelas wahid. Kalau perlu, dengan paksa. Itu bagus saja kalau karcis juga bisa dipaksa turun jadi limapuluh rupiah. Bisanya jadi tuan rumah kan juga karena karcis murah? Mana bisa karena cinta kasih melulu? Maka jelas ada beda antara "tuan rumah" dan "tuan besar". Tahun yang lalu kita saksikan di TVRI bahwa orang film minta cinta kaum intelek. Bukan Benyamin yang minta, tapi Dicky Zulkarnain dan Pak Said dan lainnya. Saya pikir, ini sebetulnya buat apa? Kaun intelek kan cuma sedikit? Jadi mana bisa ada untung? Lagi pula, kaum intelek itu suka minta yang bukan-bukan. Kabarnya mereka minta "film seni". Tapi buktinya film seni itu tidak laku. Nah, kan rugi saja melayani kaum intelek? Selera kaum intelek itu memang memusingkan. Dikasih film Indonesia di TVRI, marah-marah. Dikasih Bing Slamet Setan Jalanan, malah dibilang konyol. Intelek itu mau apa'? Ternyata mereka lebih suka Bomber B-29 dan Srimulat. Kalau mereka ditanya, aktor dan aktris yang terbaik itu siapa? Jawabnya, Dr. Herman Soesilo Plus. Kalau ditanya apa sebabnya, maka keluar perkataan aneh: "wajar". Ada lagi: "masuk akal". Masih ada lagi: "seperti betul-betulan". Dan siapa sutradara terbaik? Herman Soesilo. Sungguh memusingkan memang. Maka tak syak lagi siapa pengarang dialog yang paling tidak konyol. Mudah dimengerti mengapa kaum film tidak percaya semua ini. Kaum film lebih suka percaya bahwa kaum intelek itu gandrung kepada yang barat-baratan. Ini diperkuat oleh pendapat pak Said yang berkata bahwa mereka itu "kebarat-baratan" dan "tidak menghargai bikinan bangsa sendiri". Untunglah tidak sukar untuk membuat film Indonesia itu sebarat mungkin. Hasilnya, yang Indonesia itu sering tunggal orangnya dan bahasanya saja. Inipun sekarang sudah makin banyak digerogoti. Di sana-sini dipasang orang Barat jadi figuran, kalau tidak bungkuk-bungkuk kepada orang kita di depan bank Amerika, ya hadir dalam pesta kita atau nonton lukisan sobat Christine. Bahasa Indonesia sudah penuh dengan "daaag!", Ernie sudah ber-"siat ap!" dengan bersemangat, Broery minta "zoen dong come on now" sementara Netty bertanya waarom ben je toch zo hopeloos mas?" Pada kedua ujung film juga terpampang tulisan seperti Don't Let Them Hungry dan Tanty The Best ACTREES..... Sudah pula diusahakan supaya tidak ada bintang film yang kelihatan makan kedondong dan salak. Lebih baik apel dan anggur. Terutama buah anggur ini baik untuk gadis yang maunya rakyat kecil. Belum lagi soal minuman. Sopir miskin saja bisa kedapatan mati merangkul botol wiski kelas Hilton internasional. Jelasnya, lebih Barat dari orang Barat sendiri. Seperti guru SMA itu yang pergi ke sekolah naik Mercedez super-deluxe milik pribadi. Profesor Harvard saja tidak punya mobil seperti itu. Dan bagaimana pula itu penari kampung melayu yang maunya kesurupan Leslie Caron dan Gene Kelly? Semua ini tentu disukai kaum elita. Drakula Tentu saja, yang paling jitu ialah bila bintang kita langsung saja main sebagai intelek. Itu ternyata sama mudahnya seperti main sebagai pres-dir atau koboi atau tarsan atau drakula. Yang diperlukan hanya panggilan "dokter" atau "arsitek" atau "mahasiswa" atau "asisten dosen" saja. Mereka bisa sebentar lalu-lalang di serambi universitas, dan dua jam yang masih sisa pada film beristirahat di pantai, di pulau, di kebun teh, dan sudah barang tentu di rumah yang maha mewah. Kalau menghadapi buku di universitas, itu artinya sedang menunggu pacar. Sementara itu mereka cukup menggunakan dialog lagu pop saja. Segala omongan ilmiah hanya baik buat Herman Soesilo dan orang-orang sinting dalam The Wild Wild West. Sebagaimana kata mas Ratno, kita memang belum mampu membuat film bermutu. Soalnya biaya kita cuma sekian, padahal Hollywood menggunakan sekian kali sekian. Nantilah, kalau kita sudah semakmur Amerika kita akan mempunyai biaya untuk mengarang cerita dan dialog bermutu. Maka sekarang maklumlah bahwa segala yang tampak pada film dan di belakang film kita cukup bergaya prihatin. Tak ada sisa uang lagi untuk dipakai kuliah di luar negeri seperti Usmar atau Syuman dulu. Jangankan di luar negeri, kata sementara orang. Dan jangankan bersekolah. Biasanya, kalau paku itu sudah terlalu bengkak-bengkok, dia kita buang saja. Pertama, karena rasa jengkel. Kedua, karena percuma dipukuli terus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus