KETIKA Howard Hughes meninggal 5 April, tidak ada yang
mengingatkan kepada kita bahwa orang aneh ini sedang menguakkan
satu babak baru yang amat menentukan bagi loncatan jauh
teknologi Indonesia. Palapa I untuk Sistim Komunikasi Satelit
Domestik (SKSD), adalah produk salah satu perusahaannya. Proyek
raksasa yang kelak akan memberikan gaya baru kepada kehidupan
sosial, pendidikan, ekonomi dan bahkan kebudayaan serta
pertahanan.
Tetapi pengertian kita terhadap kegunaan satelit ini
barangkali sama kaburnya dengan pengenalan orang tentang
pengusaha inovatif nan misterius bernama Hughes. Mungkin belum
terbayangkan, apa artinya menjadi negara keempat di dunia
sesudah Uni Soviet. Kanada dan Amerika Serikat atau negara
berkembang pertama - yang memiliki satelit komunikasi domestik.
Padahal pengaruhnya akan melanda semua lapisan masyarakat. Bukan
hanya penghuni kota-kota besar yang akan paling menikmati
manfaat proyek ini melalui jaringan telepon, telegrap, teleks
dan komputer. Tapi juga penduduk desa lewat siaran
televisi--kalau terjangkau harganya.
"Sampai sekarang masyarakat belum banyak tahu mengenai SKSD ini
. . . proyek yang sama sekali baru, bahkan masih asing" begitu
diingatkan oleh tajuk rencana Kompas lebih dari setahun lalu.
Setengah tahun kemudian harian yang sama masih juga
bertanya-tanya. Apakah "segalanya masih terlampau pagi untuk
diumumkan, karena satelit domestik baru akan beroperasi tanggal
17 Agustus 1976? Atau barangkali selama ini pihak rekomunikasi
telah bekerja secara diam-diam tanpa diketahui publik?".
Keraguan itu perlu diulang kembali, karena data yang pasti dan
terperinci tentang rencana pemanfaatan satelit itu dan beban
keuangannya masih amat langka. Kekurangan informasi ini, mungkin
diakibatkan oleh keterbatasan kemampuan penyidikan pers kita.
Apalagi terhadap tingkat teknologi yang ultra-modern ini, tanpa
kita pernah dibekali oleh pengalaman sendiri mengenai
pertumbuhannya secara bertahap sejak awal. Maklumlah, komoditi
yang akan menjadi milik kita itu bukan buatan Indonesia.
Dari sumber informasi pun tidak disajikan data yang lengkap dan
jelas. Bisa jadi mereka terlampau sibuk karena harus mengejar
waktu yang terlalu singkat Palapa yang akan berumur 7 tahun
sudah harus diluncurkan ke antariksa oleh roket Delta milik NASA
dari Tanjung Kennedy 8 Juli mendatang, setahun menjelang
Pemilu. Persiapan penggunaannya dalam masyarakat agaknya baru
dilakukan sesudah kontrak pembangunan SKSD ditandatangani antara
Perum Telekomunikasi dengan Ifughes Aircraft 4 Juli 1974.
Penandatanganan, yang menurut TEMPO (23 Nopember 1974),
dilakukan tanpa tanggapan sedikitpun dari DPR.
Selama dua tahun belakangan tidak diperoleh angka pasti berapa
sebenarnya ongkos pembuatan dan pluncuran satelit itu berikut
segala rupa jaringannya di muka bumi.
Pertengahan 1974 dilaporkan angka $ 89,8 juta. Jumlah itu
mengembang menjadi $ 153,4 juta ketika diumumkan oleh Menteri
Perhubungan Emil Salim, Desember tahun itu. Atau $ 172,juga
menurut Direktur Jenderal Postel Suharjono kepada DPR
satu-setengah bulan kemudian, apabila ditambah dengan biaya
setempat. Menurut Antara, kenaikan itu akibat inflasi dan
ketidak-pastian moneter dunia. Tetapi akhir-akhir ini angka baru
menggembung menjadi $ 178,724 juta (Kompas, 4 April), tidak
termasuk biaya tambahan Rp 13,64 milyar. Kalau dijumlah
seluruhnya dalam dollar AS, kira-kira $ 211,591 juta.
Ini belum mencakup ongkos memperbaiki dan memperluas saluran
telepon yang kini sudah sangat sarat muatannya, telegrap atau
teleks, sambil meneruskan pembangunan sistem microwave, kalau
kemampuan SKSD hendak sepenuhnya digunakan. Pengembangan
jaringan ini pernah ditaksir bakal menelan 9 kali anggaran
pembangunan satelit.
Orang juga telah berbicara tentang persiapan siaran televisi
untuk pendidikan, pedesaan dan pertanian, di samping memperluas
siaran TV umum atau nasional sampai ke seluruh pelosok
kepulauan. Biayanya? Kata beberapa ahli asing, untuk siaran
pendidikan di negara berpenduduk sekitar 100 juta perlu
disediakan pesawat TV dan disiapkan acara yang ongkosnya 20 kali
harga satelit.
Kalau semua perhitungan itu dapat dipercaya, angka terakhir bisa
mencapai $ 5 milyar atau lebih. Dalam rupiah, 2 trilyun lebih!
Risiko kemajuan teknologi yang sangat mahal ini mungkin harus
diwariskan kepada beberapa generasi. Untuk siaran TV pendidikan
saja, negara-negara lain biasanya melakukan persiapan lebih dari
5 tahun seperti di Korea Selatan dan Amerika Latin. Dimulai
dengan penelitian yang cermat terhadap setiap bahan siaran yang
harus dapat dimengerti oleh masyarakat yang berbeda-beda - baik
daya persepsinya maupun tingkat kecerdasannya. Belum lagi
hambatan akibat perbedaan bahasa unduk. Padahal kita baru
setahun terakhir mendidik ratusan tenaga di dalam dan luar
negeri untuk mencetak sutradara, produser atau penulis acara
siaran serta ahli teknik.
Palapa segera akan mengintai di atas khatulistiwa, tapi waktu
yang tersedia amat sempit. Sebelum terlambat, partisipasi
masyarakat luas sudah harus disiapkan meskipun sekarang-dalam
ketergesa-gesaan--barangkali belum sempat terpikirkan.
Masyarakat yang menjadi tujuan terakhir, untuk siapa proyek ini
dimaksudkan, pasti tidak ingin dikejutkan oleh beban dan risiko
yang baru kelak mereka sadari.
Proyek maha besar ini bukan sekedar untuk dibanggakan, tetapi
lebih-lebih lagi mesti dimengerti. Kita tentunya tidak
sependapat dengan perintis roket Werhner von Braun: "sekali
meluncur ke atas - siapa yang perduli di mana roket itu jatuh?
Itu bukan urusan saya".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini