KEHIDUPAN seni dalam kampus, memang layak dipertimbangkan. Juga
bila kampus diharap tidak menjadi tempat yang tegang--atau
sunyi, berhubung tak ada apa-apa. Sebab itu dicari cara yang
kena di hati anak-anak muda. Sebutan "pop" misalnya, dipasang
sebagai predikat peringatan Maulud Nabi di Gajah Mada akhir
Maret yang lalu. Tentu saja menarik, apa lagi didatangkan para
penyair dan pelukis dari Jakarta, Bandung dan Yogya. Maka
'Maulid Pop 76', akalnya mahasiswa Teknik Arsitektur UGM, yang
pada akhirnya juga berarti pekan apresiasi seni dengan pameran
lukisan, pembacaan puisi dan sarasehan, berjalan meriah plus
gayang--dengan pengunjung mahasiswa yang padat. Dan setelah itu
muncul pula Paskah 76 di tempat yang sama, meskipun
kecil-kecilan.
Maka gedung Gelanggang Mahasiswa Bulaksumur yang baru beberapa
lama berdiri itu bertambah pamor. Dan gairah ini dimanfaatkan
pula oleh Teater Gajah Mada untuk berparade. Ini juga acara yang
menyedot lumayan banyak peminat. Setelah berlalunya zaman
tokoh-tokoh teater mahasiswa di Gajah Mada seperti Rendra, Umar
Kayam atau Pong Walujo dulu, dari tahun ke tahun pertunjukan
drama umumnya hanya menjadi acara selingan di antara
pidato-pidato. Dan kesenian memang kelihatan seperti baru
dilahirkan kembali, ketika selama dua malam, pada pertengahan
April itu, para mahasiswa dipersilakan duduk seenaknya di lantai
dan menyaksikan grup-grup mereka sendiri berlagak.
Arisan Teater
Kebetulan pula kegiatan itu tidak berdiri sendiri: Yogya memang
lagi musimnya berteater. Di sebelah selatah kota, di seputar
bekas gedung bioskop Seni Sono yang kini menjadi markas Dewan
Kesenian Yogyakarta (yang pintunya selalu terkunci), semangat
teater anak-anak muda ditubuhkan dalam kegiatan 'arisan'.
Caranya: seorang anggota grup menyediakan tempat atau rumahnya
kepada sekian teater buat berlaga, dan menyusul lain waktu
anggota atau tokoh grup lain (maklumlah, di kota ini sudah
didirikan "dewan kesenian", dan karena itu anak-anak itu aktif
sendiri). Tanggal 8 April di wisma Riau, Bintaran, 15 grup
berlaga--tanpa hadiah. Tanggal 25 (kalau jadi) mereka dikontrak
untuk ikut meramaikan pengambilan film Cintaku Di Kampus Biru,
yang ceritanya dikarang oleh Ashadi Siregar, dosen Fakultas
Sastra itu. Dalam kesibukan bersama itu Teater Cama rupanya
melihat kenyataan, bahwa dalam dirinya sebenarnya cukup banyak
potensi - atau: orang--yang bisa lebih diintensifkan kalau
mereka muncul tidak hanya sebagai satu grup. Maka
anggota-anggota yang dianggap mampu dipersilakan bikin kelompok
sendiri-sendiri di bawah satu bendera. Dan itulah yang kemudian
diperagakan tanggal 10 dan 11 April tadi.
Hari pertama parade itu jatuh malam Ahad. Lantai gedung
Gelanggang Mahasiswa--gedung yang dari luar memberi kesan warna
merah tua --berukuran persegi empat dan dibangun model pendapa,
dijadikan tempat pertunjukan frontal oleh sebuah sisinya yang
diberi setting permanen. Di sini dimainkan monolo Arifin C.
Noer, Kasir Kita (oleh Slamet Riadi yang mengirim bahan laporan
ini), Kisah Cinta Hari Rabu, saduran Sapardi Djoko Damono dari
Chekov, disusul naskah yang diberi judul Kuda dari Jayanto
Supra dan Dialog Dua Gembel dari anak Gajah Mada, Kirnanto. Dan
yang lain adalah petikan Orang-Orang Malam Putu Wijaya (oleh
Haryoso, pengurus Teater Gama) dan sebuah saduran dari novel
Kering Iwan Simatupang, pendek saja. Semuanya enam kelompok.
Lumayan.
Malam kedua, diperuntukan buat grup-grup yang "model absurd",
demikian penjelasan singkat protokol yang manis itu. Ada tiga
kelompok tampil, dari empat yang tercatat dalam
daftar.Salah-satu dari yang tiga itu maju ke depan dengan
improvisasi tari yang diberi judul Betina. Grup-rup itu
sebagian pemainnya campuran, tapi kebanyakan dari satu fakultas.
Misalnya Kering dari Teknik Sipil, Orang-orang Malam dari
Kehutanan, Kasir Kita dari Kedokteran Hewan, Betina dari Hukum
sedang lainnya dari Fakultas Sastra.
Hanya Omong Kosong
Sayangnya setting yang permanen itu sama sekali tidak fleksibel
untuk memancarkan suasana masing-masing nomor yang tentu saja
berbeda-beda. Dramatisasi puisi Rendra Khotbah misalnya, malam
kedua, memang kadang terasa kena dengan set, hanya timbul
tenggelam di bawah keriuhan pemainnya sendiri. Umumnya malam
kedua yang "model absurd" itu - dinilai kalah mutu dari malam
pertama, meskipun malam pertama tentunya juga belum
menggembirakan benar dari segi kwalitas. Ada juga anggapan bahwa
demam "absurd" itu, entah apa artinya, yang muncul dalam
pertunjukan yang tanpa dimensi, hanya memenggal kemampuan
sendiri plus kesempatan untuk latihan dan studi yang wajar,
tanpa tiru-tiru. Demikianlah pada penutup malam kedua itu
diadakan diskusi. Ramai juga, tetapi yang penting ialah: mereka
kelihatan sportif.
Dalam kegiatan itu kelihatan juga uluran tangan Dewan Pembina
Olah Raga dan Seni Budaya (kedua bidang itu memang lazim
disatukan saja, dengan catatan 'seni' memang tak pernah disebut
pertama), yakni lembaga otonom UGM. Tentu biaya yang dilimpahkan
kepada seni bukan apa-apanya dibandingkan olah raga, misalnya
Gajah Mada Interarsity Games (GIG) menghabiskan ongkos Rp 5,8
juta. Anak-anak Teater Gama, menjelang parade, kadang mendapat
nasi bingkisan dari panitia pesta olahraga tersebut, yaitu
karena ada keletihan, misalnya. Namun adanya fasilitas gedung
(yang sebenarnya bukan hanya untuk anak-anak Gama melainkan
seluruh mahasiswa Yogya) akan ditambah lagi dengan fasilitas
keuangan yang telah dijanjikan dari Dewan Pembina, asal mereka
mau menyusun kalender dan biaya kegiatan secara teratur. Dan
penyusunan program ini kelihatannya merupakan kelemahan yang
jelas dari Teater Gama. Contohnya, selama tahun 1975 (kegiatan
teater ini sebenarnya kelihatan mulai 1973) tak bosan-bosannya
dibolak-balik dari panggung satu ke panggung yang lain naskah
Dap-Dapnya Putu Wijaya. Maka program dan target memang merupakan
tantangan, kalau kehidupan teater dan seni di kampus memang
benar-benar dibolehkan tumbuh. Ini untuk mengiringi ucapan
Taufiq Ismail pada waktu Maulid Pop itu: bahwa apresiasi
kesenian di kampus, tanpa biaya, hanya omong kosong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini