Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gajah mada, 1976

Teater gajah mada berparade drama di gelanggang mahasiswa bulak sumur selama 2 hari, mementaskan 10 naskah yang dibawakan grup teater dari berbagai fakultas. (ter)

8 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEHIDUPAN seni dalam kampus, memang layak dipertimbangkan. Juga bila kampus diharap tidak menjadi tempat yang tegang--atau sunyi, berhubung tak ada apa-apa. Sebab itu dicari cara yang kena di hati anak-anak muda. Sebutan "pop" misalnya, dipasang sebagai predikat peringatan Maulud Nabi di Gajah Mada akhir Maret yang lalu. Tentu saja menarik, apa lagi didatangkan para penyair dan pelukis dari Jakarta, Bandung dan Yogya. Maka 'Maulid Pop 76', akalnya mahasiswa Teknik Arsitektur UGM, yang pada akhirnya juga berarti pekan apresiasi seni dengan pameran lukisan, pembacaan puisi dan sarasehan, berjalan meriah plus gayang--dengan pengunjung mahasiswa yang padat. Dan setelah itu muncul pula Paskah 76 di tempat yang sama, meskipun kecil-kecilan. Maka gedung Gelanggang Mahasiswa Bulaksumur yang baru beberapa lama berdiri itu bertambah pamor. Dan gairah ini dimanfaatkan pula oleh Teater Gajah Mada untuk berparade. Ini juga acara yang menyedot lumayan banyak peminat. Setelah berlalunya zaman tokoh-tokoh teater mahasiswa di Gajah Mada seperti Rendra, Umar Kayam atau Pong Walujo dulu, dari tahun ke tahun pertunjukan drama umumnya hanya menjadi acara selingan di antara pidato-pidato. Dan kesenian memang kelihatan seperti baru dilahirkan kembali, ketika selama dua malam, pada pertengahan April itu, para mahasiswa dipersilakan duduk seenaknya di lantai dan menyaksikan grup-grup mereka sendiri berlagak. Arisan Teater Kebetulan pula kegiatan itu tidak berdiri sendiri: Yogya memang lagi musimnya berteater. Di sebelah selatah kota, di seputar bekas gedung bioskop Seni Sono yang kini menjadi markas Dewan Kesenian Yogyakarta (yang pintunya selalu terkunci), semangat teater anak-anak muda ditubuhkan dalam kegiatan 'arisan'. Caranya: seorang anggota grup menyediakan tempat atau rumahnya kepada sekian teater buat berlaga, dan menyusul lain waktu anggota atau tokoh grup lain (maklumlah, di kota ini sudah didirikan "dewan kesenian", dan karena itu anak-anak itu aktif sendiri). Tanggal 8 April di wisma Riau, Bintaran, 15 grup berlaga--tanpa hadiah. Tanggal 25 (kalau jadi) mereka dikontrak untuk ikut meramaikan pengambilan film Cintaku Di Kampus Biru, yang ceritanya dikarang oleh Ashadi Siregar, dosen Fakultas Sastra itu. Dalam kesibukan bersama itu Teater Cama rupanya melihat kenyataan, bahwa dalam dirinya sebenarnya cukup banyak potensi - atau: orang--yang bisa lebih diintensifkan kalau mereka muncul tidak hanya sebagai satu grup. Maka anggota-anggota yang dianggap mampu dipersilakan bikin kelompok sendiri-sendiri di bawah satu bendera. Dan itulah yang kemudian diperagakan tanggal 10 dan 11 April tadi. Hari pertama parade itu jatuh malam Ahad. Lantai gedung Gelanggang Mahasiswa--gedung yang dari luar memberi kesan warna merah tua --berukuran persegi empat dan dibangun model pendapa, dijadikan tempat pertunjukan frontal oleh sebuah sisinya yang diberi setting permanen. Di sini dimainkan monolo Arifin C. Noer, Kasir Kita (oleh Slamet Riadi yang mengirim bahan laporan ini), Kisah Cinta Hari Rabu, saduran Sapardi Djoko Damono dari Chekov, disusul naskah yang diberi judul Kuda dari Jayanto Supra dan Dialog Dua Gembel dari anak Gajah Mada, Kirnanto. Dan yang lain adalah petikan Orang-Orang Malam Putu Wijaya (oleh Haryoso, pengurus Teater Gama) dan sebuah saduran dari novel Kering Iwan Simatupang, pendek saja. Semuanya enam kelompok. Lumayan. Malam kedua, diperuntukan buat grup-grup yang "model absurd", demikian penjelasan singkat protokol yang manis itu. Ada tiga kelompok tampil, dari empat yang tercatat dalam daftar.Salah-satu dari yang tiga itu maju ke depan dengan improvisasi tari yang diberi judul Betina. Grup-rup itu sebagian pemainnya campuran, tapi kebanyakan dari satu fakultas. Misalnya Kering dari Teknik Sipil, Orang-orang Malam dari Kehutanan, Kasir Kita dari Kedokteran Hewan, Betina dari Hukum sedang lainnya dari Fakultas Sastra. Hanya Omong Kosong Sayangnya setting yang permanen itu sama sekali tidak fleksibel untuk memancarkan suasana masing-masing nomor yang tentu saja berbeda-beda. Dramatisasi puisi Rendra Khotbah misalnya, malam kedua, memang kadang terasa kena dengan set, hanya timbul tenggelam di bawah keriuhan pemainnya sendiri. Umumnya malam kedua yang "model absurd" itu - dinilai kalah mutu dari malam pertama, meskipun malam pertama tentunya juga belum menggembirakan benar dari segi kwalitas. Ada juga anggapan bahwa demam "absurd" itu, entah apa artinya, yang muncul dalam pertunjukan yang tanpa dimensi, hanya memenggal kemampuan sendiri plus kesempatan untuk latihan dan studi yang wajar, tanpa tiru-tiru. Demikianlah pada penutup malam kedua itu diadakan diskusi. Ramai juga, tetapi yang penting ialah: mereka kelihatan sportif. Dalam kegiatan itu kelihatan juga uluran tangan Dewan Pembina Olah Raga dan Seni Budaya (kedua bidang itu memang lazim disatukan saja, dengan catatan 'seni' memang tak pernah disebut pertama), yakni lembaga otonom UGM. Tentu biaya yang dilimpahkan kepada seni bukan apa-apanya dibandingkan olah raga, misalnya Gajah Mada Interarsity Games (GIG) menghabiskan ongkos Rp 5,8 juta. Anak-anak Teater Gama, menjelang parade, kadang mendapat nasi bingkisan dari panitia pesta olahraga tersebut, yaitu karena ada keletihan, misalnya. Namun adanya fasilitas gedung (yang sebenarnya bukan hanya untuk anak-anak Gama melainkan seluruh mahasiswa Yogya) akan ditambah lagi dengan fasilitas keuangan yang telah dijanjikan dari Dewan Pembina, asal mereka mau menyusun kalender dan biaya kegiatan secara teratur. Dan penyusunan program ini kelihatannya merupakan kelemahan yang jelas dari Teater Gama. Contohnya, selama tahun 1975 (kegiatan teater ini sebenarnya kelihatan mulai 1973) tak bosan-bosannya dibolak-balik dari panggung satu ke panggung yang lain naskah Dap-Dapnya Putu Wijaya. Maka program dan target memang merupakan tantangan, kalau kehidupan teater dan seni di kampus memang benar-benar dibolehkan tumbuh. Ini untuk mengiringi ucapan Taufiq Ismail pada waktu Maulid Pop itu: bahwa apresiasi kesenian di kampus, tanpa biaya, hanya omong kosong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus