Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Syahrazad

Memang kematian dan kebuasan tak lenyap karena 1001 Malam, tapi hidup bisa sedikit lebih baik dengan cerita dan orang-orang yang membawakannya.

8 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA mungkin tak akan lupa Ali Baba dan 40 penyamun, tapi kita lupa Syahrazad dan teror yang mengancam lehernya. Syahrazad, anak gadis yang pandai bercerita itu, adalah jangkar bagi aneka ragam dongeng yang berkembang biak dan kemudian disebut “1001 Malam”. Ia sekaligus sebuah pesan tersembunyi, bahwa jam-jam bercerita sebenarnya jam-jam genting ketika kematian tertunda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kata sahibulhikayat, Syahrazad, membangun cerita sebagai cara menyelamatkan diri dari hukuman pancung Sultan Syahriar, yang saban fajar memotong leher tiap perempuan yang disetubuhinya di malam sebelumnya. Disebutkan, pembantaian reguler itu adalah program balas dendam. Pada suatu hari Sultan pulang berburu dan menemukan permaisurinya di tempat tidur berzina dengan pengawal. Ia pun memutuskan agar tiap perempuan yang diperistrikannya dibinasakan sebelum sempat berselingkuh. Hanya Syahrazad yang bisa tak segera dibunuh. Ia membawakan kisah yang selalu memikat—dan selalu tak selesai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mungkin baru dalam 1001 Malam kekuatan naratif tampak sebagai bagian apa yang di abad ke-20 disebut “politik seksual”—pergulatan dalam hubungan kekuasaan antara perempuan dan lelaki—yang tak pernah reda.

Syahrazad pandai bercerita; ia membangun sebuah dunia alternatif: dunia imajinasi. Einstein mengatakan, logika membawa kita dari A ke Z; imajinasi membawa kita ke mana-mana, dan dengan itu, sang Sultan tak cuma diajak bolak-balik di kamar peraduan, dengan sabdanya yang pasti akan jadi. Di dunia yang dikuasai Syahriar, segala hal adalah itu-itu-lagi, lurus, selalu tertebak.

Tapi Syahrazad dan imajinasi masuk ke sana, dan pelbagai wajah lain—Aladin dengan lampunya, Maaruf Tukang Sepatu, Zumurrud—datang bercengkerama.

Bahwa Sultan menerimanya, bahkan asyik ikut di dalam lingkaran imajinasi itu, tentu karena Syahrazad juga asyik dengan cerita yang dibangunnya sendiri. Gadis itu percaya, dalam sebuah cerita yang tulus, ada cinta purba yang mempertalikan manusia.

Pada saat yang sama, Syahrazad tak hendak menyelesaikan ceritanya. Ini sebuah siasat, tentu, tapi juga “isyarat” bahwa dalam hidup selalu ada yang tak diketahui ujungnya. Lahirlah “suspense”. Perasaan yang tegang karena jawaban tertunda—suspense itu—adalah unsur esensial narasi. Cerita Agatha Christie akan kehilangan energinya jika kita sudah tahu siapa pembunuh di atas Kereta Api “Orient Express”. Serba mengetahui bisa merugi.

Tapi mengetahui segala hal—yang juga berarti “menguasai”—adalah agenda dan klaim yang lazim seorang penguasa mutlak seperti Syahriar. Klaim ini mendukung keinginan untuk membersihkan apa saja yang dianggap menolak untuk diketahui. Syahriar menyembelih perempuan-perempuan karena yakin ia bisa memprediksi mereka akan berkhianat.

Demikianlah kita bayangkan malam demi malam Syahrazad duduk di permadani di dekat ranjang peraduan Sultan, membimbing laki-laki itu untuk menerima kenyataan bahwa ia tak selalu harus merasa cela karena tak “mengetahui”.

Sekaligus Syahrazad mengajak baginda bertualang di dalam dunia yang tak bisa dikuasai raja mana pun: dunia imajinasi yang kemudian melesat tanpa batas, menjangkau tujuh lautan Sinbad.

Memang kematian dan kebuasan tak lenyap karena 1001 Malam, tapi hidup bisa sedikit lebih baik dengan cerita dan orang-orang yang membawakannya. Terutama karena dalam fiksi yang dikisahkan Syahrazad tersimpul solidaritas. Yang lazim disebut “yang empunya cerita” pada akhirnya tak cuma satu: tiap pembaca, tiap pendengar—juga Syahriar—ikut membentuk narasi. Bahkan dalam dongeng abad ke-9 itu, disebut Dinazade, adik Syahrazad, yang hadir bersama kakaknya di kamar Sultan.

Bisakah Syahrazad dihentikan? Kini di kalangan sastra Timur Tengah ada yang menyerukan “berakhirnya Syahrazad”. Dalam Memory, Voice, and Identity: Muslim Women’s Writing from across the Middle East (Routledge, 2021), Brigitte Stepanov mengutip Fawzia Zouari, penulis Tunisia yang di tahun 1996 menulis Pour en finir avec Shahrazade:

Berabad-abad kau telah bercerita di tempatku, Syahrazad! Suaramu menutupi suaraku. Kau bangkitkan rasa kagum dan terkesima. Kau tetapkan buat selama-lamanya sosok perempuan, cerdik dan lemah, korban dan penuntut, yang harus aku ikuti. Dan aku, aku tak lagi merasa sekaum denganmu, Syahrazad....

Di sini tampak Syahrazad diingat tapi juga dilupakan, Benar, ia perempuan yang berhasil menyintas kekejaman laki-laki dan penguasa, tapi bukan sebab itu ia hidup dalam khazanah kita. Bukan juga sebagai sosok yang “cerdik dan lemah”. Sebab, dengan kekuatan naratifnya, Syahrazad telah berubah. Ia jadi sauh dan sekaligus bahtera cerita-cerita yang berlayar di lautan imajinasi. Tanpa mengambil tempat siapa pun, dan suaranya tak menutupi suara siapa pun. Protes Zouari dalam Pour en finir avec Shahrazade tak perlu ada. 1001 Malam, sebagai karya sastra, jalin-menjalin dengan ribuan karya sastra lain, saling memperkaya.

Sebuah cerita Assia Djebar, pengarang perempuan terkemuka Aljazair, “La femme en morceaux” (Perempuan yang Tercincang), misalnya, mempertemukan kita dengan Atyka. Ia pengajar sastra Prancis yang membaca dan membahas 1001 Malam bersama mahasiswanya di tengah suasana teror kaum islamis di Aljazair tahun 1990-an. Atyka tengah membawakan suara Syahrazad ketika tiba-tiba lima laki-laki bersenjata masuk ke dalam kelasnya. Salah seorang dari mereka menuduh Atyka, “yang menganggap diri profesor”, mengajarkan “kisah-kisah cabul”. Atyka pun ditembak di jantungnya, lehernya dipotong, kepalanya dicopot.

Tapi suaranya seakan-akan masih terdengar di antara gumpalan darah yang bergelimang. Seorang mahasiswanya mengatakan, itu suara Atyka sendiri, bukan suara Syahrazad.

Tapi apa bedanya? Profesor perempuan itu, seperti anak gadis di istana Syahriar itu, membangun cerita tak jauh dari urat nadinya. Dalam novel Vaste est la prison (Luas benar penjara ini) ada satu kalimat: “Darah dalam tulisanku? Belum, tapi suara itu....”

Betapa berharga: tulisan, kata-kata, suara, yang tumbuh dari tubuh yang ingin hidup.

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus