KINI pasar akan menentukan, bisakah tim ekonomi pemerintah Indonesia bisa dipercaya. Akhirnya memang pemerintah memutuskan mencabut izin 38 bank, mengambil alih 7 bank, dan menetapkan 9 bank yang harus mengikuti program rekapitalisasi. Wisma Negara dipilih sebagai tempat pengumuman yang terkesan penting dan bersejarah itu. Hadir di sana, selain Presiden Habibie dan Menteri Ginandjar Kartasasmita, juga wakil Bank Dunia Dennis de Tray dan Direktur IMF Hubert Neiss.
Kehadiran Neiss bisa ditafsirkan sebagai pengukuhan untuk keputusan yang lama dinanti-nanti dan sempat menimbulkan kontroversi itu. Pemerintah Habibie butuh stempel "kali-ini-bisa-dipercaya" dari IMF. Sebelumnya, ditundanya keputusan likuidasi menimbulkan dugaan bahwa ada tawar-menawar di antara para pejabat dan kroni mereka, para pemilik bank.
Kini memang ada rasa "plong". Dalam keputusannya, otoritas moneter memang tidak mengesankan operasi "sapu jagat". Namun niat untuk membersihkan sektor keuangan, dari sejumlah bank yang sakit dan bobrok, setidaknya telah dibuktikan. Ada 17 bank kategori C (rasio kecukupan modal atau CAR di bawah minus 25 persen) dan 21 kategori B (CAR di bawah 4 persen?minus 25 persen) yang terkena likuidasi. Dalam kelompok bank yang dianggap buruk itu ada terselip nama pemilik yang punya deking politik, tebal ataupun tipis.
Ini tanda baik. Tanpa tanda ini sama sekali, program restrukturisasi itu pasti akan mengikis kepercayaan investor (asing) pada Indonesia. Itu risiko terburuk pertama yang harus dihadapi. Risiko terburuk kedua: seluruh program restrukturisasi perbankan yang rumit dan menghabiskan banyak uang itu akan sia-sia.
Jadi, ada optimisme, dengan catatan. Ada 7 bank yang diambil alih oleh pemerintah, di antaranya Bank Nusa Nasional milik Aburizal Bakrie. Para analis pasar sejak penundaan likuidasi yang lalu sudah menentukan bahwa tindakan Habibie dan Ginandjar terhadap Bank Nusa Nasional merupakan batu ujian untuk melihat sejauh mana pemerintah serius mau menyehatkan ekonomi Indonesia?meskipun kalau perlu harus mengorbankan kroni sendiri.
Bank milik Bakrie itu akhirnya memang tidak dianggap bagus, tetapi ia tidak termasuk yang dilikuidasi. Bank itu diambil alih pemerintah seperti halnya Bank Danamon dulu. Tapi kenapa? Apa kriteria sebuah bank harus diambil alih, terutama melihat bahwa bank yang diambil alih ini tidak begitu luas jangkauan operasinya seperti Bank Danamon? Kenapa pemerintah harus menambah pemilikannya dalam perbankan? Dan kepada siapa kelak bank-bank ini, khususnya Bank Nusa Nasional, akan dipindahkan ke swasta?
Tidak begitu jelas pula, apakah para pemilik bank yang kinerjanya buruk itu dan kini diambil alih pemerintah nanti akan masuk "daftar hitam" dunia perbankan. Bagaimanapun, mereka ini ikut bersalah telah mendorong terjadinya krisis ekonomi yang paling gawat bagi Indonesia dalam sejarah?sebuah krisis yang menyeret negeri ini ke pelbagai guncangan dan kekerasan. Mereka telah memberi kredit berlebihan kepada perusahaan-perusahaan sendiri, yang akhirnya tidak bisa dan tak hendak ditagih, hingga ekonomi nasional pun menjadi macet. Orang sudah berbicara tentang "penjarahan" di situ: penjarahan dalam dunia kredit yang dilakukan oleh orang-orang yang kaya?yang malah tidak dikutuk dan celaka seperti para penjarah yang melarat di jalan-jalan.
Soalnya bukan saja soal keadilan. Soalnya adalah konsistensi pemerintah dalam mengambil keputusan. Juga kepastian hukum, yang sekarang ini hanya jadi bahan olok-olok, apalagi hukum yang menyangkut bidang usaha. Kepastian itu jelas penting bagi dunia swasta untuk merencanakan investasi. Maka pelbagai pertanyaan di atas memerlukan jawab yang meyakinkan.
Pertanyaan lain masih ada. Tidak ada jaminan bahwa program restrukturisasi itu kelak tidak akan terguncang lagi. Dari 9 bank yang akan mengikuti program rekapitalisasi, hanya Bank Lippo yang mampu menyuntikkan dana 20 persen, seperti yang disyaratkan Bank Indonesia. Nama besar lainnya seperti Bank Niaga, Bank Bali, Bank Universal sampai saat ini nasibnya masih merupakan tanda tanya besar. Bersama empat bank lainnya mereka diberi kesempatan meningkatkan CAR sampai 4 persen sehingga masuk kategori A. Ini berarti, masih ada batu ujian yang harus diatasi.
Ada optimisme, meskipun lamat-lamat. Di luar perkiraan banyak orang, ada 73 bank kategori A, yang dari segi permodalan sudah memenuhi syarat dan dapat beroperasi tanpa bantuan pemerintah. Artinya, hampir 50 persen bank terhitung sehat. Tapi, kalau diamati, hanya 3 dari 73 bank kategori A tersebut yang memiliki jaringan luas, kinerjanya sudah teruji selama bertahun-tahun, dan sejauh ini memang benar-benar tepercaya. Sedangkan 70 bank yang lain tergolong kecil lingkup jangkauannya. Perannya belum bisa diperhitungkan dalam lima tahun ke depan.
Dengan komposisi seperti itu, tak berlebihan kalau ada yang memperingatkan bahwa proses restrukturisasi perbankan masih harus menempuh jalan panjang. Rencana pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap 73 bank kategori A dan rekapitalisasi 9 bank kategori B memang bagus. Apalagi dengan batas waktu yang jelas, paling lambat 21 April 1999. Tapi, dengan jadwal itu, berarti pemerintah hanya memerlukan lima minggu untuk menyelesaikan kerja besar membereskan kategori A dan kategori B. Ini bukan main-main. Jika ada kesan bahwa keputusan pemerintah (dan juga hukum) bisa ditawar dengan semangat "koncoisme", nasib ekonomi Indonesia terancam. Juga nasib Republik. Ini juga tantangan bagi pemerintah baru sehabis pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini