Mengukur pendapat umum itu antara mudah dan tidak. Yang jadi masalah ialah bagaimana memper oleh gambaran yang setepat mungkin dan bermanfaat untuk suatu keperluan. Cara apa yang dipakai, bagaimana hasil disajikan, dan penafsiran dilakukan, akan besar pengaruhnya pada kesimpulan yang ditarik. Dan ini juga bergantung pada keperluan masing-masing, yang sering masih dipakai sebagai kacamata untuk membaca hasilnya.
Pada suatu ketika awal tahun 1998, para mahasiswa di Universitas Gadjah Mada melakukan jajak pendapat di kalangan warga kampusnya sendiri. Kesimpulannya, Presiden Soeharto tidak lagi dikehendaki untuk terpilih kembali. Cara yang digunakan mungkin kurang sahih, dan responden yang dijajaki terlalu sedikit dan tak representatif. Pada saat yang hampir sama, Harmoko sebagai ketua Golkar berkeliling ke daerah-daerah, dan mengaku melakukan muhibah "sambung rasa" dengan rakyat banyak. Entah cara apa yang dipakainya, tapi kesimpulan yang dibawanya ialah rakyat masih belum merelakan Soeharto lengser keprabon. Soeharto, katanya, mempercayai hasil jajak pendapat cara Harmoko, bukan kesimpulan yang dibuat segelintir aktivis mahasiswa itu. Setelah tak lama kemudian Soeharto terdesak mundur, Harmoko disalahkan karena dianggap menyajikan gambaran yang sesat dan menjerumuskan.
Dalam politik demokrasi, wujud pengumpulan pendapat publik berpuncak dalam pemilihan umum wakil-wakil rakyat (dan pemilihan kepala pemerintahan) secara berkala. Orde Baru telah menyelenggarakan enam kali pemilu untuk DPR, yang selalu diikuti oleh rata-rata 90 persen rakyat pemilih. Derajat partisipasi yang selalu tinggi ini sering dijadikan bukti bahwa sistem kepartaian dan pemilihan umum sudah benar. Angka statistik ini juga dipakai untuk mencemooh mereka yang memboikot atau mengecam sistem pemilu itu. Sebab, jumlah yang menilai pemilu itu tidak demokratis sangat sedikit, sehingga tak mewakili pendapat umum yang mana pun juga. Jadi, tak punya arti untuk dihiraukan, dan kafilah sistem pemilu gaya Orde Baru pun berlalu terus sepanjang tiga dasawarsa.
Sekarang, berkat gerakan reformasi, akan diselenggarakan pemilihan umum kembali sebelum waktunya, dengan cara yang juga berbeda. Ini bisa diartikan sebagai pembatalan pemilihan umum 1997 sekaligus merupakan koreksi atas sistem pemilihan dan sistem kepartaian yang lama, yang dianggap keliru. Ini artinya juga menafikan kesejatian klaim bahwa setiap pemilu yang lalu didukung mayoritas. Yang dulu banyak, belum tentu benar. Mungkin jumlahnya yang palsu, atau mungkin suaranya yang tidak asli. Sukar menentukan yang mana, tetapi di bawah paksaan otoriterisme bisa saja kedua-duanya yang terjadi. Karena itu, pemilihan umum akan datang ini perlu diperbaiki, selain sistem pelaksanaannya, pengawasannya, juga dengan meningkatkan mutu rakyat pemilihnya. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa inilah pertama kalinya masyarakat Indonesia akan melakukan lagi pemilihan dalam suasana yang diandaikan benar bebas.
Tahukah rakyat apa yang akan dihadapinya nanti? Itulah yang harus diperkenalkan: rakyat sebagai pemilih yang bebas. Tapi terlebih dulu, tahukah kita apa yang sementara ini dipikirkan dan dirasakan orang Indonesia tentang apa yang sedang dihadapinya? Ternyata tidak semua yang kita sangka dan perkirakan, atau yang tanpa memeriksa kita terima sebagai seharusnya, selalu sesuai dengan apa hasil jajak pendapat yang dilakukan dalam survei nasional tentang politik dan pemilihan umum bulan Januari lalu (lihat halaman 18-21).
Bukan kejutan kalau dikatakan bahwa 96 persen calon pemilih akan memilih dalam pemilu mendatang. Di antaranya, 51 persen menyatakan akan ikut memilih karena alasan berkewajiban sebagai warga negara. Rasa memikul kewajiban warga negara ini rupanya besar peranannya karena 88 persen mengaku ikut memilih dalam pemilihan yang lalu, walaupun sifatnya kurang bebas itu. Juga ada 25 persen yang belum mendengar akan diadakan pemilu sebentar lagi, dan 58 persen saja yang merasa pemilu nanti akan bebas, jujur, dan adil. Tak urung, walaupun hampir seratus persen menyatakan akan memilih, cuma 40 persen merasa optimistis pemilu akan membawa perubahan, sementara itu 27 persen tidak yakin akan ada perbedaan yang dihasilkan pemilu. Tiga persen dari para responden yang mengerti hubungan antara pemilu yang bebas dan demokrasi. Apa sebenarnya makna negara demokrasi? Cukup banyak, 61 persen, yang tak dapat menjawab.
Hubungan demokrasi dengan nasib seorang warga memang masih merupakan persoalan yang sulit ditangkap. Sebanyak 63 persen merasa tidak mengerti bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupannya. Yang mudah dirasakan ialah soal ekonomi. Tujuh puluh persen mengatakan masalah terbesar yang dihadapi Indonesia ialah krisis ekonomi. Namun, harus dicatat, secara nasional 50 persen rakyat Indonesia merasa bahwa secara umum negara ini sedang menuju arah yang benar. Kalau pendapat ini dipecah dalam daerah-daerah, 36 persen penduduk Irianjaya dan 44 persen penduduk Jawa yang setuju Indonesia sedang bergerak ke arah yang benar, sedangkan di Sumatra 66 persen berpendapat demikian. Berbagai penafsiran dapat ditarik dari perbedaan-perbedaan ini. Tapi sikap positif di tengah kesulitan juga diperlihatkan dengan 63 persen responden yang tidak percaya bahwa pemerintah tidak mempedulikan kekhawatiran mereka.
Toleransi yang lumayan besar ini memang boleh dijadikan aset bagi pemerintahan transisi Habibie. Apakah ini juga berarti bahwa tuntutan tokoh-tokoh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) baru-baru ini agar kabinet Habibie dinyatakan "demisioner" karena selalu gagal menjadi tidak berdasar? Sebanyak 51 persen rakyat Indonesia yang pendapatnya dijajaki bulan Januari lalu itu mengatakan, tidak ada perbaikan yang dirasakan dalam kurun waktu setahun terakhir ini.
Hasil jajak pendapat memang tidak dimaksud untuk ditelan secara mutlak begitu saja, atau untuk dipakai meramal dengan jitu. Tapi temuan-temuan itu berguna sebagai basis untuk menyusun sebuah program. Siapa saja bisa memanfaatkan informasi ini, bukan hanya program kampanye pendidikan pemilih. Seraya mengingat, yang banyak belum tentu selalu benar, dan bisa berkembang jadi sebaliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini