Sembilan belas perwira asli Ambon itu sudah menginjak bumi kelahirannya. Mereka sengaja dikirim Panglima ABRI Jenderal Wiranto sejak Ahad dua pekan lalu, untuk sebuah misi luhur sekaligus berat: menelisik gerangan apa yang sesungguhnya jadi biang pencabik kawasan emas hijau itu. Syukur-syukur ketemu solusinya, termasuk mendamaikan semua kelompok yang tengah bertikai, sehingga situasi kembali normal. Urgensi pengamanan Ambon kian terasa ketika Republik tiga bulan mendatang akan bikin kenduri besar pemilu.
Tentu saja ini bukan pekerjaan gampang. Sebab, kawasan seribu pulau itu sudah menyembulkan kemarahan umat akibat pelbagai konflik yang menyentuh pada perkara sensitif: suku dan agama. Di luar soal gawat itu, masih tersisa perseteruan setempat akibat rebutan kursi di birokrasi, problem laten ''perang antargeng dan kampung" sejak tahun 1970-an, dan perlakuan pemerintah pusat yang dianggap menganaktirikan Provinsi Maluku. Ini masih dilecut dengan lilitan ekonomi yang cepat membakar emosi massa. Sementara itu, korban jiwa dan harta benda akibat rusuh yang meletus sejak Desember tahun lalu itu kian tak tertebus. Ribuan orang mengungsi dan eksodus bergelantungan menaiki kapal. Kota berpenduduk 250 ribu jiwa itu sempat lumpuh.
Menganaktirikan Maluku? Coba dengar sejumlah ''wakil rakyat" setempat yang berdatangan ke Jakarta pekan lalu. Mereka menyampaikan unek-uneknya kepada para pejabat pusat, sampai Presiden B.J. Habibie. Sejumlah usul diajukan: peningkatan Korem Pattimura menjadi Kodam, Polda yang kini berstatus Tipe-C (kurang begitu prestisius, sehingga kepalanya cukup berpangkat kolonel), naik ke Tipe-B; pemekaran wilayah (yang terus-terusan ditolak pusat), sampai kekecewaan akibat ''penjarahan" cengkeh dan pala sejak zaman Portugis, VOC Belanda, hingga Orde Baru dengan pembentukan BPPC, yang dinilai menyengsarakan rakyat. ''Dengan peningkatan status itu, diharapkan rentang kontrol makin mudah dilakukan," kata Abdul Fatah, Ketua DPRD Maluku, kepada pers di Jakarta.
Seabrek persoalan itu tentu menjadi pekerjaan rumah bagi ''pusat". Mungkin juga bisa dijadikan catatan penting bagi 19 perwira tinggi?berpangkat kolonel sampai mayor jenderal?yang operasinya langsung menuju titik-titik sentral kerawanan. Mereka berdialog dengan sejumlah pemuka masyarakat, tokoh agama, dan petinggi setempat. Acaranya berlangsung tertutup. Kadang para jenderal terbaik berdarah Ambon itu juga menyebar untuk melacak setiap muntahan isu di setiap kubu yang bertikai. Maka, Desa Batumerah, titik awal tragedi Idul Fitri yang memanaskan konflik tempo hari, Galunggung, Kudamati, Benteng, dan Waihaong, jadi sasaran ''kunjungan".
Tentu saja gerakan tim khusus ini tak bakal melupakan kawasan Ahuru dan Rinjani, yang meletupkan pertempuran ''antara umat muslim dan kristiani", setelah terjadi penembakan polisi atas empat orang jemaah Masjid Al-Huda, di Kota Ambon, 1 Maret dua pekan silam?yang ditiup-tiupkan dengan sebutan subuh berdarah. Kejadian berondongan timah panas dari senapan otomatis aparat di sekitar Tugu Trikora, dekat Gereja Silo, Ambon, Sabtu dua pekan lalu, yang menewaskan seorang peronda warga gereja dan 23 orang lainnya luka-luka, juga tak dilewatkan. Dua posko ''pengendalian umat" di Kota Ambon jadi langganan kontak: Masjid Al-Fatah dan Gereja Maranatha.
Mencari tahu hasil kerja mereka dalam sepekan juga bisa dibilang mustahil. Terlalu dini, memang. ''Nanti kalau sudah satu atau dua minggu, barulah saya bicara, tim itu berhasil atau tidak," kata Jenderal Wiranto, yang juga Menteri Pertahanan dan Keamanan itu, kepada pers belum lama ini. Panglima ABRI juga bikin keputusan penting: setelah mengganti Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Maluku (dari Kolonel Karyono ke Kolonel Bugis M.Saman, yang putra asli Ambon), komando pengendalian digeser dari Polda ke Komando Resort Militer (Korem) 174 Pattimura. Tanda keamanan semakin rawan? ''Bukan. Ini hanya untuk menyatukan komando pengendalian dan mencegah keadaan yang lebih buruk,'' kata sang jenderal.
Dengan begitu, polisi akan berkonsetransi pada pelbagai masalah pengungkapan masalah kriminalitas yang tak kalah pelik. ''Agar mereka tak bingung," kata Wiranto. Keputusan ini agaknya menyusul dikerahkannya satu brigade pasukan dari Jawa. Mereka terdiri dari batalyon marinir Surabaya, Batalyon 413 dari Purworejo, Batalyon 503 dari Situbondo, dan batalyon zeni tempur untuk rehabilitasi fisik?kadang mereka terpaksa menjadi kuli pelabuhan mengangkut logistik. Penghadiran pasukan sejumlah 1.500 personel dari Jawa ini (rencananya total mencapai 4.000 pasukan) untuk menggantikan pasukan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dari Ujungpandang, yang bertugas di sana sebelumnya, membeking pasukan lokal. ''Untuk sementara, mereka tidak dilibatkan di lapangan dan diberi tugas-tugas administrasi."
Sejumlah aparat yang terlibat dalam kerusuhan pun ''dijewer". Detasemen Polisi Militer (Den POM) VIII-3 Ambon kini telah menahan 11 aparat. Salah satu dari mereka, Sersan Mayor Wiem Tetehuka dari kesatuan Angkatan Darat, dituduh sebagai provokator, begitu istilah polisi. Polisi militer telah menemukan bukti-bukti kuat untuk menyeret Tetehuka sebagai tersangka. Mayor (CPM) Djuhendi S., Komandan Denpom VIII-Ambon, menduga bahwa motif keterlibatan tersangka dalam aksi provokasi itu karena dendam. ''Mungkin anggota sukunya dibantai, sehingga dia menghasut warganya,'' kata Djuhendi. Sedangkan sembilan ''oknum" tentara yang diduga terlibat dalam penembakan di kawasan Tugu Trikora, Sabtu dini hari dua pekan lalu, juga diperiksa. Satu lainnya adalah Serma Rubben Tutualima alias Benny, polisi dari Satpol Air Ambon, yang dituding sebagai penembak di Masjid Al-Huda.
Provokator? Masih jadi bahan gun-jingan seru, meski sebutannya diubah: penggerak massa. Tercatat 198 orang sebagai tersangka sejak peristiwa 19 Januari lalu. Dua puluh orang di antara mereka, dalam istilah polisi, diketahui sebagai penggerak massa di lapangan. Mereka tertangkap aparat di berbagai lokasi rusuh, dari Ambon, Saparua, sampai Pulau Aru. ''Saya tak menyebutkan mereka sebagai provokator, tapi penggerak massa di lapangan untuk membuat kerusuhan," kata Kepala Direktorat Reserse Polda Maluku, Letkol Achmad Slamet, kepada koresponden TEMPO di Ambon, Friets Kerlely. Di tengah mereka, muncul nama bekas Wali Kota Ambon, Kolonel CPM pensiunan Decky Wattimena. ''Tapi dia hanya dipanggil sebagai saksi," kata Letkol Slamet. ''Mereka itu hanya kelas teri. Yang kita harapkan, mereka bisa mengungkap kelas kakapnya," ujar Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) VII Trikora, Mayjen Amir Sembiring.
Hanya, Pangdam Amir Sembiring sejauh ini tak menyebut apa gerangan motif para penggerak massa itu. Tapi, dari Ketua Tim-19, sebutan bagi tim khusus Mabes ABRI, Mayjen Suaedi Marasabessy, muncul pernyataan menarik. Ia menduga ada perancang kerusuhan akibat ''perbenturan kepentingan elite atas" yang sengaja membungkus kejadian ini dengan konflik suku dan agama. ''Kepentingan itu dikemas dan didesain sehingga seolah-olah agama menjadi pusat perseteruan antar warga Ambon dan bukan Ambon," kata Mayjen Marasabessy kepada TEMPO. Siapa mereka? Ia menggeleng. ''Tak etis kalau saya menyebutkan namanya. Yang jelas, agamalah yang dibonceng untuk kepentingan itu." Sebuah analisis sederhana. Sayangnya, jika dikejar lebih jauh, jawabannya selalu membentur tembok raksasa. Buntu.
Wahyu Muryadi, Kelik M. Nugroho, Setiyardi, Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini