Sebuah ironi, dan sesuatu yang akan diingat dalam sejarah: seorang jenderal perang ternyata membela kemerdekaan pers, sementara orang sipil di parlemen justru menyerang kebebasan itu. Si jenderal, Muhammad Yunus, yang kini Menteri Penerangan, mengutip Thomas Jefferson (lebih suka "pers yang tanpa pemerintahan" ketimbang "pemerintahan yang tanpa pers"). Para anggota DPR itu, meskipun tak menyadarinya, dan meskipun tak mengucapkannya, mengikuti pikiran Lenin (kemerdekaan pers itu suatu "langkah mundur").
Yang terjadi dalam rapat kerja Menteri Penerangan dengan Komisi I DPR Senin pekan lalu itu menunjukkan apa yang selama ini memang sudah mencurigakan: bahwa sebenarnya sebagian orang yang duduk-duduk di Senayan itu hanyalah penyambung lidah Orde Baru. Menteri Yunus dengan lebih halus, tapi tepat, menuduh mereka demikian. Argumennya punya dasar yang kuat, baik secara teoretis maupun secara empiris.
Dengan mengutip Jefferson, Yunus hendak menunjukkan apa yang telah terbukti selama 32 tahun, bahkan sejak "Demokrasi Terpimpin" Bung Karno: bahwa pemerintahan yang tidak diimbangi oleh pers yang bebas akhirnya sesat dan terlambat memperbaiki diri. Belum lagi dihitung kesewenang-wenangan sebuah rezim, yang bisa terjadi ketika sorotan pers tak ada. Bachtiar Aly, anggota FKP yang juga ahli komunikasi UI itu, dengan lantang menyebutkan lemahnya kontrol pemerintah terhadap penerbitan pers saat ini. Kepada dia perlu diingatkan bahwa cita-cita 1945?yang baru bebas dari represi kolonial Belanda dan fasisme Jepang?adalah agar di dalam Indonesia yang merdeka ada pers yang bebas. Bachtiar Aly pasti tahu bahwa pada Oktober 1945 pemerintahan Indonesia yang penuh dengan idealisme itu memaklumkan perlunya kemerdekaan pers. Kini cita-cita 1945 itulah yang dikembalikan oleh Menteri Yunus dan timnya di Departemen Penerangan, setelah lebih dari 40 tahun tenggelam.
Secara empiris toh tidak dapat dibuktikan bahwa kemerdekaan pers yang ada sekarang sudah "kebablasan". Memang ada satu dua majalah yang isinya mengandung hasutan permusuhan terhadap umat beragama lain, di tengah suasana seperti sekarang. Tapi pernahkah diukur, sejauh mana pengaruhnya? Berapa oplahnya dan jumlah pembacanya dibandingkan dengan pers yang lain? Apa yang patut dibanggakan oleh jurnalisme Indonesia sekarang ialah bahwa 90 persen jurnalis tidak terseret ke dalam kebencian antaragama, antarsuku, dan antar-ras. Televisi di Indonesia, swasta maupun pemerintah, bukan tempat menghasut, justru dalam kebebasannya. Yang dilakukan oleh orang media di Yugoslavia secara tak bertanggung jawab (ikut menyulut api kebencian), oleh orang media cetak dan elektronik di Indonesia tidak dilakukan.
Terbongkarnya beberapa skandal pemerintahan kini tidak usah menakutkan. Korupsi adalah kanker dalam sebuah negara, yang melumpuhkan efektivitas negara itu sendiri. Pemberantasan korupsi susah sekali bergerak, terutama di sebuah negara yang persnya takut bicara. Justru karena itu pembongkaran korupsi lewat media adalah sesuatu yang perlu disyukuri. Hanya mereka yang cemas kalau wajah sendiri yang tampak buruk yang ingin bertindak seperti dicemooh oleh sajak Penyair Taufiq Ismail yang lucu dan cerdas ini: "Buruk muka, pers dibelah".
Kini kesempatan untuk menjaga agar pers tidak dibelah sudah ada. Sebuah rancangan undang-undang media yang cukup punya semangat kemerdekaan sudah disiapkan. Bahkan sebuah seminar yang disponsori UNESCO akan diadakan di Jakarta bulan ini untuk menyambut semangat kemerdekaan itu. Kalau ternyata DPR masih berpikir seperti Lenin (atau masih dalam semangat "Harmokoisme"), dan hanya mau membuat sebuah undang-undang yang antikemerdekaan, orang media di Indonesia perlu siap. Sebuah perjuangan baru yang sengit di ambang pintu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini