Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andi A. Mallarangeng
Pengamat politik, dosen Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta
Mengagetkan, walaupun mestinya kita tak perlu kaget bahwa akhirnya rapat pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar memutuskan untuk menunda Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar sampai sesudah pemilu 2004. Tentu saja, konsekuensinya, rapat pleno DPP Partai Golkar itu juga memutuskan untuk mencalonkan Akbar Tandjung, Ketua Umum Partai Golkar, sebagai calon presiden Republik Indonesia. Mengagetkan bagi kita yang berharap bahwa Partai Golkar, sebagai salah satu partai politik yang menjadi aset bangsa, mampu mereformasi dirinya sesuai dengan era baru sistem politik demokratis di Indonesia.
Mengagetkan pula karena keputusan itu muncul ketika kita tengah melakukan kritik yang sangat keras terhadap perlakuan oknum-oknum anggota dan simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) terhadap calon alternatif ketua umum PDI-P, yaitu Eros Djarot dan Dimyati Hartono. Kritik keras kita atas perlakuan terhadap Eros Djarot dan Dimyati Hartono itu karena perlakuan itu dilakukan dengan tujuan untuk mencegah, bahkan menjegal, kedua anggota PDI-P tersebut untuk berkompetisi dalam pemilihan ketua umum PDI-P yang merupakan bagian dari agenda kongres PDI-P, akhir Maret lalu. Penjegalan tersebut tentu saja bertentangan dengan asas-asas demokrasi yang juga merupakan simbol PDI-P itu sendiri.
Keputusan ini terasa ironis karena muncul di tengah keterpurukan kita mengikuti pemilihan umum pendahuluan Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat untuk memilih calon presiden dari tiap-tiap partai tersebut. Kita terpukau melihat bagaimana tuntutan sistem politik yang demokratis yang menghendaki adanya kompetisi yang terbuka juga terwujud di dalam setiap partai yang bersaing dalam penentuan kepemimpinan nasional di Amerika Serikat. Dari jauh, kita juga ikut menikmati permainan cantik demokrasi yang dilakukan di dalam tiap-tiap partai yang bersaing, antara Bush dan McCain di Partai Republik dan antara Gore dan Bradley di Partai Demokrat.
Di tengah kritik yang keras terhadap PDI-P dan keterpukauan kita terhadap persaingan demokratis di Negeri Paman Sam itu, muncullah keputusan rapat pleno DPP Partai Golkar tersebut yang pada intinya menutup pintu kompetisi di dalam Partai Golkar. Dengan keputusan ini, berarti tidak akan ada munas dan musyawarah daerah (musda), tidak akan ada persaingan untuk kepemimpinan di dalam Golkar, dan tidak ada uji legitimasi terhadap kepemimpinan di dalam Golkar, baik di pusat maupun di daerah. Walaupun kita mengkritik keras usaha penjegalan di PDI-P, paling tidak, ada uji legitimasi di dalam PDI-P, ada proses menuju demokratisasi dengan mengadakan konferensi daerah, konferensi cabang, dan kongres yang memberi kesempatan munculnya persaingan yang demokratis dan uji legitimasi dalam kepemimpinan di dalam PDI-P.
Jika dibandingkan dengan kompetisi politik yang terjadi di Amerika Serikat, keputusan rapat pimpinan DPP Partai Golkar ini serasa membawa kita kembali jauh ke masa silam, ke masa kegelapan sebelum reformasi, ke masa otoritarianisme yang bahkan lebih buruk lagi daripada zaman Orde Baru. Paling tidak, pada zaman Orde Baru, Munas Golkar selalu diadakan secara periodik, kompetisi kepemimpinan secara teoretis dibuka, walaupun dalam prakteknya penuh dengan rekayasa.
Keputusan rapat pimpinan DPP Partai Golkar ini menyadarkan kita bahwa proses transisi menuju sistem politik yang demokratis adalah sebuah jalan yang masih panjang. Konsolidasi dari sebuah sistem demokrasi baru bisa terwujud jika komponen-komponen dari sistem politik tersebut telah berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Salah satu komponen penting dari sebuah sistem politik demokratis adalah partai-partai politik yang berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi itu.
Salah satu fungsi utama partai politik dalam sistem politik demokratis adalah fungsi rekrutmen politik, yaitu fungsi partai politik untuk mengisi jabatan-jabatan kenegaraan termasuk jabatan kepala pemerintahan atau presiden. Fungsi rekrutmen itu juga harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis tersebut, yaitu kompetisi yang terbuka secara periodik dan sistem pengambilan keputusan yang "partisipatif". Tidak mungkin kita mencapai sistem politik yang demokratis dengan partai-partai politik yang tidak demokratis.
Dalam hal Partai Golkar, jelas terlalu berlebihan jika kita mengharapkan perubahan yang besar dan reformatif. Mengharapkan tampilnya orang-orang lama dengan pikiran baru tampaknya terlalu berlebihan. Sebaliknya, mengharapkan munculnya orang-orang baru dengan pikiran baru di dalam Partai Golkar menjadi mustahil dengan keputusan rapat pleno DPP Partai Golkar ini. Dalam sejarah sistem-sistem kepartaian di dunia, memang ada partai yang tadinya besar dan mendapat dukungan luas kemudian mengecil dan akhirnya menghilang. Dan jika itu sedang terjadi, tak ada sesuatu pun yang dapat menghalanginya. Paling-paling kita hanya bisa menambahnya dalam daftar panjang catatan kaki sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |