Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Chatib Basri
Kandidat doktor bidang ekonomi Universitas Nasional Australia, Canberra
INDONESIA agaknya sebuah negeri dengan keluh-kesah sejarah. Ia punya pelbagai kepedihan. Toh, kita masih bisa menghibur diri karena konon hanya mereka yang pernah nyungsep yang bisa mengerti: mana yang maya, mana yang nyata. Ketika republik ini lahir, kita berkhayal tentang sebuah negeri yang makmur berkeadilan. Namun, kesalahan demi kesalahan kita buat, termasuk kesalahan dalam KKN. Lalu, ketika sesuatu yang dipercayai sebagai "Indonesia baru" datang dengan Gus Dur dan Mega, kita berharap adanya satu pemerintahan yang bersihsebuah harapan yang sebenarnya bersahaja, tapi tak sederhana. Itu sebabnya kita begitu khawatir jika perselingkuhan antara bisnis dan kekuasaan berulang lagi. Bisik-bisik mulai terdengar tentang kemungkinan munculnya kroni baru di sekitar kekuasaan Gus Dur. Maka, ketika Gus Dur meminta PT Harawi Sekawan dibubarkan, orang berharap-harap cemas: inikah pertanda surutnya bisnis di seputar kekuasaan?
Begitu kroniskah soal bisnis di seputar kekuasaan? Sayangnya, kita harus mengiyakan. Studi kuantitatif yang saya lakukan tentang proteksi dalam industri manufaktur di Indonesia menunjukkan, pada era 1970-an proteksi diberikan lebih karena keperluan untuk melindungi industri bayi (infant industry), tapi sejak pertengahan 1980-an lebih untuk kepentingan kroni kapitalis. Menguatnya peran kroni kapitalisditandai dengan semakin meningkatnya peran keluarga Soeharto ke dalam bisnistelah membuat kebijakan ekonomi berpihak pada kepentingan para kroni. Perhitungan saya, dengan menggunakan model matematika Grossman and Helpman, memperkuat hipotesis tersebut: porsi timbangan kepentingan kroni dalam kebijakan ekonomi meningkat setelah pertengahan 1980-an relatif dibandingkan dengan era 1970-an; sebaliknya, porsi timbangan kepentingan untuk kesejahteraan masyarakat luas menurun dalam era 1980-an relatif terhadap 1970-an. Di sini, kausalitas modal dan kekuasaan berjalan dari arah tempat modal mempengaruhi kekuasaan. Tapi, di sisi lain, menguatnya posisi politik Soeharto juga telah memungkinkan sebuah kausalitas yang terbalik: kekuasaan yang dimiliki Soeharto melahirkan para kroni. Di sini, kekuasaan menjadi sumber dari akumulasi kapital. Ini memberikan beberapa pelajaran yang berharga buat kita hari ini. Pertama, ketika pemerintah hadir dalam setiap transaksi sosial ekonomi, regulasi bisa berubah menjadi sebuah komoditi yang begitu laris diperdagangkan. Karena itu, KKN bisa diselundupkan melalui regulasi yang dibuat pemerintah. Situasi menjadi semakin rumit karena tiba-tiba pemerintah menjadi omnipotent dan omnipresent akibat bangkrutnya swasta karena krisis. Di sini, risiko regulasi untuk menjadi komoditi menjadi semakin besar. Implikasinya, good governance menjadi penting. Kedua, KKN terjadi di atas satu peraturan yang secara yuridis formal sah, tapi yang diuntungkan adalah kelompok yang punya kepentingan tertentu. Capture theory yang dimotori Chicago School menunjukkan, institusi pengatur dengan regulasinya akhirnya menjadi kepanjangan tangan industri yang mereka atur. Di negeri ini, hal itu terjadi dalam tahapan yang amat primitif dan berbahaya. Sebab, aktor utama pelaku ekonomi adalah birokrasi, pengusaha, dan militer, tanpa ada peran dari unsur legislatif. Di banyak negara maju, tawar-menawar kelompok kepentingan terjadi di gedung parlemen, sehingga bisa diawasi. Tapi, jika tawar-menawar politik dan ekonomi terjadi di dataran bebas hambatan seperti Istana, Bina Graha, dan Markas Besar TNI, intervensi pemerintah dengan regulasi akhirnya bermuara pada perdagangan peraturan. Soal ini makin diperumit karena masalah koordinasi yang semrawut, oposisi yang lemah, dan peran institusi yang belum berjalan. Kelemahan-kelemahan inisuka atau tak sukamembuka ruang munculnya Gus Dur, secara personal, sebagai sebuah "institusi informal". Kita bisa melihat bagimana proses kebijakan akhirnya bertumpu pada Gus Dur. Bila ini terjadi, terbuka ruang bagi pengulangan kesalahan di masa lalu. Kekuasaan Gus Dur sebagai "institusi informal" bisa disalahgunakan sebagai sumber akumulasi kapital. Di sisi lain, kelompok bisnis pun seperti berharap bahwa cantolan kepada Gus Dur bisa memberikan privilese ekonomi. Kesalahan tak boleh terulang. Itu sebabnya sikap Gus Dur untuk membubarkan PT Harawi Sekawan patut dipuji. Harawi boleh saja keberatan karena mereka punya hak untuk menjalankan usaha, tapi setidaknya Gus Dur harus menarik garis tegas untuk tak terlibat dalam Harawi. Lebih jauh lagi, Harawidan semua bisnis lainharus bersih dari "kekuatan Istana". Jika ini dilakukan, Gus Dur telah mencegah terjadinya proses tawar-menawar di jalur bebas hambatan. Tindakan ini tentu saja tepat, mengingat spekulasi mulai bermunculan melihat agresivitas Harawi Sekawan dalam investasinya akhir-akhir ini. Tentu saja ada kemungkinan bahwa ekspektasi perbaikan ekonomilah yang mendorong mereka, tapi kita juga tak bisa menutup mata bahwa harapan cantolan kepada Gus Durlah yang mendorong mereka melakukan ekspansi. Karena itu, yang terbaik adalah membuat garis yang tegas antara kekuasaan dan akumulasi kapital dengan memaksa pengusaha bersaing dalam pasar tanpa fasilitas atau proteksi. Selain itu, garis tegas harus dibuat dengan betul-betul menyelesaikan kasus KKN Soeharto dan kroninya di pengadilanbukan sekadar membukanya di media masa. Tanpa itu, sinyal tentang good governance dari pemerintahan Gus Dur sulit ditangkap masyarakat. Indonesia mungkin sebuah negeri dengan keluh-kesah. Tapi kita tak bisa selamanya pahit. Sebab, negeri yang mau belajar dari kesalahan masih pantas untuk berharap, setidaknya berharap tak mengulang kesalahan dari koridor sejarah. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |