Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wiko Saputra
Peneliti Auriga Nusantara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sulit dipahami bahwa Indonesia, yang merupakan produsen sekaligus konsumen terbesar minyak sawit dunia, tak kuasa menentukan harga pasar. Padahal, menurut teori ekonomi, pembentukan harga dipengaruhi penawaran (produksi) dan permintaan (konsumsi). Prasyarat sebagai pihak pembentuk harga sudah dipenuhi Indonesia. Sehingga, menjadi pertanyaan bagi publik, mengapa harga justru lebih ditentukan Malaysia, padahal faktor produksi dan konsumsinya jauh di bawah Indonesia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mari kita telisik data produksi dan data konsumsinya. Berdasarkan laporan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) pada Oktober 2018, total produksi minyak sawit Indonesia 40,5 juta ton dan konsumsinya 10,3 juta ton. Adapun Malaysia produksinya hanya 20,5 juta ton dan konsumsi 3,4 juta ton. Kalau ukuran itu menjadi acuannya, sepatutnyalah Indonesia lebih dominan dalam pembentukan harga dibandingkan dengan Malaysia.
Faktor utama kegagalan Indonesia adalah tak menguasai rantai pasok minyak sawit di pasar global. Meski kita unggul dalam jumlah produksi dan konsumsi, tata niaganya dikuasai Malaysia.
Faktanya demikian. Lihat struktur penguasaan industri sawit di Indonesia, yang sebagian besar dikuasai investor dari negeri jiran itu. Mereka mampu mengintegrasikan lini bisnisnya di Indonesia, yang menjadi basis lahan dan bahan baku, dengan industri hilirnya di Malaysia, yang menjadi basis ekspor. Integrasi itu diperkuat kemampuan mereka membentuk pasar komoditas minyak sawit, baik di dalam maupun luar negeri.
Orientasi mereka adalah nilai tambah dan pasar, sedangkan kita hanya penyedia bahan baku. Ketika dua model itu bertemu di pasar global, Malaysia punya keunggulan karena berada pada rantai pasok yang memiliki kekuatan dalam menentukan harga.
Selain itu, Malaysia unggul dalam penguasaan data dan teknologi sehingga kebijakan rantai pasoknya lebih kredibel. Sedangkan kita abai dengan data dan teknologi.
Hingga saat ini saja, kita belum punya basis data yang kredibel. Tak ada satu pun institusi pemerintahan yang memiliki data luas perkebunan sawit dan produksi riil. Padahal itu data dasar yang seharusnya tersedia sebagai basis pengambilan kebijakan. Celakanya, justru pihak luar yang memiliki data itu.
Akibat data tak kredibel, kebijakan yang dikeluarkan kerap salah sasaran dan berkontradiksi dengan kondisi di lapangan. Pada 2015, misalnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan pungutan ekspor komoditas sawit untuk mendongkrak harga yang sedang jatuh. Namun, berselang tiga tahun, kebijakan itu dikoreksi dengan alasan harga sedang jatuh. Dua kebijakan yang kontradiktif itu dilakukan untuk tujuan yang sama, yakni mengintervensi harga.
Tak meleknya pemerintah terhadap data juga berimplikasi buruk pada keseimbangan harga di pasar. Produksi lima tahun terakhir digenjot, tapi berapa besar kenaikan produksi dan keseimbangan pasar tak pernah diketahui. Walhasil, pada 2018, kita memiliki kelebihan produksi 5,3 juta ton yang tak diserap pasar. Dunia usaha pun kelimpungan karena harga jatuh.
Dilema harga pun berimplikasi buruk pada petani sawit. Mereka paling riskan terhadap gejolak harga. Jika harga minyak sawit dunia naik, mereka tak mendapatkan imbas dari kenaikan itu karena harga di tingkat petani selalu dikontrol perusahaan. Adapun ketika harga turun, mereka langsung menjadi pihak pertama yang paling merasakan dampaknya.
Kita selalu bangga bahwa komoditas sawit menjadi penguasa di pasar global. Kita pun sering mengatakan komoditas sawit menjadi penyumbang devisa hasil ekspor terbesar. Namun sebenarnya kita hanyalah menjadi pemain yang selalu diatur wasit. Wasit itulah yang sebenarnya penguasa pasar. Siapa dia? Salah satunya Malaysia.
Kebanggaan kita sebagai produsen dan konsumen terbesar minyak sawit dunia harus diejawantahkan lebih riil di pasar. Sehingga perlu perubahan orientasi kebijakan. Tak bisa lagi hanya sebagai penyedia bahan baku, kita harus memperkuat hilir dan pasar domestik. Tak boleh lagi kebijakan keluar tanpa data. Karena itu, infrastruktur data dan teknologi sebagai pendukung kebijakan harus disiapkan. Tanpa itu, jangan harap kita bisa menentukan harga pasar.