Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH Presiden Joko Widodo seperti sedang mengulang sejarah kelam negeri ini. Dulu penjajah Belanda mengeruk kekayaan alam kita, menangkap dan membunuh penduduk Indonesia. Kini nasib serupa justru dialami penduduk Papua. Mereka tertindas dan terpinggirkan di tanah mereka sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dulu meneer Belanda dengan jemawa menjuluki kita “ekstremis” dan “inlander”—dengan nada merendahkan. Tak jarang warga Hindia Belanda dimaki dan disebut “monyet”. Kita diperlakukan tak adil, menjadi korban diskriminasi rasial, sebelum kemudian bangkit dan melawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejarah seperti berulang. Mahasiswa Papua di Surabaya diejek “monyet” menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia dua tahun lalu. Sebutan rasis yang sungguh tak pada tempatnya. Jangan heran ketika ribuan warga Papua merespons insiden itu dengan demonstrasi besar dan perlawanan di mana-mana.
Seolah-olah belum cukup, pemerintah Indonesia sekarang resmi memberikan label “teroris” kepada gerakan pro-kemerdekaan Papua. Diumumkan langsung oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. pada Kamis, 29 April lalu, kebijakan keliru ini bisa-bisa malah menambah jumlah korban dari dua pihak yang berseteru. Lagi-lagi masyarakat sipil terancam menjadi tumbal.
Harus diakui, pendekatan pemerintah dalam menyelesaikan masalah menahun di Papua sudah salah kaprah sedari awal. Entah disadari entah tidak, strategi Jakarta mirip sekali dengan cara-cara pemerintah kolonial Belanda berpuluh tahun lampau. Label “teroris” yang diberikan Mahfud kepada gerakan perlawanan di Papua tak jauh beda dengan label “ekstremis” yang pernah dilekatkan pemerintah kolonial Belanda terhadap aktivis gerakan kemerdekaan Indonesia.
Selain memberikan cap teroris serta menambah jumlah pasukan polisi dan militer di Papua, pemerintah Indonesia menawari gula-gula jika perlawanan tak berlanjut. Dalam rancangan undang-undang perpanjangan otonomi khusus di Papua, pemerintah mengiming-imingi kenaikan anggaran untuk provinsi paling timur itu. Sementara sebelumnya pemerintah Papua hanya mendapat 2 persen dari total dana alokasi umum, kini persentasenya akan dinaikkan menjadi 2,25 persen. Padahal, kita tahu, dana otonomi khusus itu lebih banyak dinikmati oleh para elite Papua. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada November 2020, Papua dan Papua Barat masih menempati urutan terbawah provinsi termiskin di Indonesia.
Kebijakan lain yang sedang dirancang pemerintah adalah membagi Papua menjadi beberapa provinsi yang lebih kecil. Pemerintah berdalih cara ini akan memperbaiki tata kelola pemerintahan di Papua. Namun ada juga harapan tersembunyi agar pemekaran provinsi ini membuat elite Papua tak lagi sibuk membangkang kepada Jakarta. Taktik bagi-bagi duit dan devide et impera ini sepertinya disalin mentah-mentah dari buku pegangan para penguasa kolonial di masa lalu.
Kita tahu strategi Belanda gagal dan Indonesia merdeka pada 1945. Artinya, kita bisa-bisa bernasib seperti Belanda jika pendekatan keliru di Papua ini terus dilanjutkan. Belum terlambat untuk pemerintah berubah arah. Presiden Jokowi bisa memulainya dengan mengakui ada pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang harus diselesaikan secara tuntas.
Akar masalah di Papua bukan hanya soal kesejahteraan, seperti yang diklaim pemerintah pusat. Membangun jalan, bandar udara, dan jembatan tak bisa menyembuhkan sakit hati dan perasaan tertindas orang Papua. Cara penyelesaian masalah Papua yang dipilih Jokowi malah membuat Indonesia bertingkah seperti penjajah, sesuatu yang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas harus dihapuskan dari atas dunia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo