Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Natalia Cubillos Salcedo*
Perdagangan dari dan ke Indonesia sedang tumbuh pesat. Meski ini merupakan kabar baik bagi perekonomian, pelabuhan utama Indonesia tampaknya kewalahan menangani derasnya arus barang. Menurut studi terbaru, waktu yang dibutuhkan bagi peti kemas yang masuk untuk menyelesaikan proses pengurusan di Jakarta International Container Terminal (JICT) pada Juli dan Agustus 2011 adalah 6 hari. Besaran tersebut dikenal sebagai waktu pengendapan rata-rata peti kemas impor, atau sering disebut dwell time—diukur berdasarkan waktu yang dibutuhkan sejak sebuah peti kemas dibongkar dari kapal hingga peti kemas keluar dari gerbang JICT di Tanjung Priok.
Waktu 6 hari ini meningkat dari yang diukur pada Oktober 2010, yang mencapai 4,9 hari. Jika menggunakan pengukuran internasional yang mengikutsertakan waktu yang dihabiskan di pelabuhan (tapi di luar terminal JICT), angka itu naik lagi satu hari menjadi 7 hari. Ini cukup mengkhawatirkan mengingat Tanjung Priok menangani dua pertiga dari keseluruhan perdagangan internasional Indonesia. Apalagi lalu lintas peti kemas total diperkirakan tumbuh hingga lebih dari 160 persen sampai 2015.
Lamanya waktu tunggu itu akan berdampak buruk bagi ekonomi karena dua sebab. Pertama, industri berorientasi ekspor menghadapi ketidakpastian akibat keterlambatan, sehingga mengurangi daya saing produk Indonesia di luar negeri. Industri manufaktur yang menerapkan sistem produksi just-in-time, dengan jadwal impor bahan baku dan reekspor bahan jadi yang ketat, ikut terkena imbas. Ini menghambat transisi Indonesia menuju bagian integral dari rantai pasokan dunia yang efisien.
Kedua, waktu adalah uang: bottleneck dan kemacetan di pelabuhan akan menambah biaya bagi bisnis dalam negeri dan, pada akhirnya, menaikkan biaya yang harus dibayar konsumen.
Demi mengurangi penumpukan peti kemas di Tanjung Priok, pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengambil beberapa langkah penting. Misalnya operasi pengurusan kepabeanan kini berlangsung selama 24 jam tanpa henti, sementara sistem dokumentasi dan informasi elektronik sedang dikembangkan guna mewujudkan pertukaran tanpa kertas antara operator swasta dan lembaga publik. Rencana ekspansi terminal yang ada dan pembangunan terminal baru yang lebih besar juga tengah digodok.
Dari ikhtiar ini, waktu tunggu bisa dipangkas menjadi 5 hari—ditambah waktu yang dihabiskan di luar terminal menjadi 6 hari. Namun nilai ini masih lebih buruk dibanding Singapura (1,1 hari), Malaysia (4 hari), dan Thailand (5 hari).
Dwell time dapat dipilah menjadi tiga komponen: pra-pengurusan kepabeanan (mulai kedatangan kapal hingga penyerahan pernyataan impor kepada pabean), pengurusan kepabeanan, dan pasca-pengurusan kepabeanan (mulai pengurusan kepabeanan hingga keluar dari gerbang JICT). Berbeda dengan persepsi umum akan buruknya kinerja pabean, studi Bank Dunia baru-baru ini memperlihatkan bahwa penyebab utama keterlambatan adalah tahap pra-pengurusan, yang menyumbang 58 persen dari waktu tunggu.
Keterlambatan ini disebabkan terutama oleh hambatan peraturan, termasuk metode pembayaran di muka yang digunakan di Tanjung Priok. Kebanyakan importir dan pabrikan di Indonesia harus menunggu hingga kedatangan kapal lebih dulu, serta harus membayar pajak dan cukai di muka sebelum menyerahkan dokumen. Karena sebagian besar pembayaran memerlukan waktu paling cepat satu hari, keterlambatan akan semakin parah jika kapal tiba pada Kamis—pengurusan dan pembayaran pajak impor barang paling cepat baru bisa diselesaikan pada Senin.
Mengajak semua pemangku kepentingan untuk ikut serta menyediakan layanan 24 jam dan mendorong penyerahan pernyataan impor sebelum kedatangan kapal merupakan dua langkah penting menuju sistem yang lebih efisien. Perubahan tersebut tak memerlukan investasi keuangan yang besar, cuma diperlukan kemauan politik yang kuat untuk mengubah peraturan yang menghambat.
Walaupun ekspansi Tanjung Priok dan pembangunan pelabuhan peti kemas baru telah dibicarakan, kedua rencana tersebut membutuhkan setidaknya masing-masing 5 dan 10 tahun sampai betul-betul rampung. Sayangnya, keadaan sudah sangat kritis mengingat pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dan fakta bahwa lalu lintas peti kemas menunjang sebagian besar pertumbuhan tersebut. Jika ingin meraih manfaat maksimum dari pesatnya pertumbuhan ekonomi, Indonesia sangat penting segera memperbaiki efisiensi pelabuhan internasional utamanya.
*) Ekonom perdagangan di kantor Bank Dunia Jakarta, artikel: Project Syndicate
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo