Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sanaa, Yaman, 15 Oktober 2011. Negara di selatan Semenanjung Arab itu sedang memanas. Presiden Ali Abdullah Saleh enggan mundur. Rakyat turun ke jalan dan tentara menembaki mereka. Korban berjatuhan. Rumah sakit tak mampu menampung sehingga masjid disulap menjadi ruang gawat darurat.
Di sudut masjid, di tengah kekalutan itu, mata Samuel Aranda terpaku pada satu titik. Juru foto Spanyol yang bergabung dengan agen foto Corbis itu memandang pria tanpa baju yang terluka. Si pria meringis menahan sakit dan bersandar di bahu seorang wanita bercadar yang mendekapnya. Aranda pun mengabadikan momen emosional itu untuk The New York Times.
Sebenarnya ada ratusan foto yang diambil Aranda hari itu, termasuk kericuhan di luar masjid saat tentara menembaki para demonstran. Gambar-gambar itu pasti lebih dinamis. Tapi justru foto momen dalam masjid—ketika dua manusia yang dia potret hampir tak menampakkan wajahnya—itu yang memenangi Foto Terbaik pilihan World Press Photo 2012. Foto tersebut menyisihkan 101.254 gambar yang dikirim oleh 5.247 fotografer dari 124 negara.
Apa hebatnya foto itu? Sepintas foto tersebut mungkin mengingatkan kita pada patung Pieta karya Michelangelo yang dibuat pada 1498-1499. Pada patung yang terbuat dari marmer itu, tubuh lemah Yesus dipeluk dengan penuh kasih oleh Bunda Maria. Soal kemiripan ini banyak didiskusikan. Beberapa pihak mengatakan ini adalah pengulangan ikon, tapi Aranda berkeras bahwa tak ada setting. "Itu bukan disengaja. Sebagai fotografer, tugas saya hanyalah merekam dan membidiknya, tak terpikir yang lainnya," kata Aranda kepada British Journal of Photography.
Nina Berman, salah seorang juri pergelaran bergengsi ini, tak peduli dengan adanya kesamaan itu. "Saya adalah orang yang pertama kali mendukung foto ini. Kesamaan kedua citra itu adalah keduanya mengajarkan kasih sayang kepada sesama," kata Berman. Bedanya, dalam foto ini, kedua orang yang dipotret Aranda tak terlihat wajahnya. Mata, yang menjadi jendela emosi, sama sekali tak tampak. Tapi duka dan ketakutan bisa kita rasakan.
Foto Aranda mungkin memang layak menang. Tapi kemenangannya—juga para juara World Press tahun ini—semakin mengukuhkan pemeo: jika ingin mendapatkan foto yang bagus, pergilah ke medan perang atau tempat bencana alam. Maka, selama bertahun-tahun, foto yang menang di World Press hampir serupa: bencana dan perang.
Lihatlah foto Yuri Kozyrev dari Rusia (Noor Images), yang menjuarai Spotnews di World Press Photo tahun ini. Foto yang diterbitkan di majalah Time itu masih tentang Arab Spring, tepatnya di Kota Ras Lanuf, Libya. Dalam sebuah pertempuran jarak jauh, kala tentara pemerintah melakukan pengeboman, Kozyrev merekam para pemberontak amatir yang berhamburan.
Foto terbaik kategori foto peristiwa bercerita dimenangi Koichiro Tezuka dari Jepang. Ya, benar, ini foto tentang tsunami di Provinsi Miyagi. Fotografer koran Mainichi Shimbun itu merekam apa yang terjadi di daratan. Pesawat ringan yang terempas terbawa gelombang dan kapal-kapal besar yang menghantam rumah.
Foto terbaik pada isu kontemporer juga tak jauh-jauh dari duka orang Timur, yang eksotik bagi mata orang Barat. Stephanie Sinclair, fotografer VII Photo Agency, memotret pernikahan kanak-kanak di Yaman. Ketidakmuraman—yang belum tentu berarti kegembiraan—hanya bisa dilihat pada penyanyi Rusia yang dipotret Rob Hornstra (Arts and Entertainment Stories). Tapi dalam foto hiburan ini pun kita merasakan kesendirian.
Dalam World Press Photo 2012—seperti pada tahun-tahun sebelumnya—dunia tak punya kegembiraan.
Bismo Agung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo