Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Struktur Teritorial TNI-AD

2 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A. Rahman Tolleng
Pengamat politik di Jakarta Anggota Forum Demokrasi

Wacana tentang keterlibatan TNI dalam politik kian mengalami pendalaman. Perburuan terhadap "peran politik TNI" tidak lagi terbatas pada bingkai resmi apa yang disebut "dwifungsi TNI". Sebagai doktrin, sesungguhnya "dwifungsi" merupakan self-defining function, dan karena itu tidak bisa tidak akan bersifat sewenang-wenang. Kekaryaan, misalnya, pada suatu waktu tercakup dalam konsep dwifungsi, sementara pada waktu lain dianggap sebagai aktivitas yang berdiri sendiri. Yang ingin dikatakan di sini ialah bahwa terlepas dari persoalan definisi, peran politik itu juga merasuk dan tersembunyi di tempat- tempat lain.

Militer memang mempunyai potensi untuk merembes ke dunia politik. Di dalam negara demokrasi yang sudah mapan pun, hal ini tetap merupakan masalah. Empat dasawarsa yang lalu, Eisenhower memperingatkan munculnya "military industrial complex" sebagai ancaman terhadap supremasi sipil. Dewasa ini juga banyak dipersoalkan, misalnya, tentang "kerahasiaan" dalam dunia militer, jaringan dan aktivitas intelijen, terpusatnya kekuasaan pengambilan keputusan militer, bahkan juga tentang pengertian kedaulatan nasional yang konvensional, sebagai tantangan terhadap demokrasi.

Di negeri kita, Mayjen Agus Wirahadikusumah, Pangdam VII Wirabuana, dalam dengar pendapat di depan DPR baru-baru ini mempermasalahkan rencana pemekaran Kodam. Ia bahkan mempersoalkan keberadaan Kodam dan aparat teritorial pada umumnya yang di masa lalu, dalam prakteknya, banyak disalahgunakan sebagai alat kekuasaan. Sorotan terhadap struktur teritorial TNI-AD ini sebenarnya telah banyak terungkap dalam berbagai perbincangan. Tetapi, tentu saja, sorotan Wirahadikusumah menjadi menarik karena dicanangkan oleh seorang militer aktif. Lalu, apakah yang salah dalam struktur teritorial itu?

Pada awal pembentukannya, sebenarnya TNI tidak mengenal struktur teritorial. Tetapi perang gerilya kemudian menuntut adanya penguasaan dan pembinaan wilayah. Agresi Militer I Belanda membuat pembinaan wilayah ini dirasakan semakin mendesak. Ketika itu, pimpinan TNI dihadapkan pada kenyataan bahwa daerah-daerah de facto RI menjadi terpisah-pisah satu sama lain. Maka, diperlukan suatu desentralisasi pertahanan. Lahirlah dokrin perang wilayah dengan dukungan apa yang disebut A.H. Nasution sebagai "territoriale beheersing" atau "pengendalian wilayah".

Setelah pengakuan kedaulatan, fungsi pembinaan wilayah diteruskan untuk menghadapi berbagai gangguan keamanan. Kini, perang wilayah, yang pada dasarnya hanyalah suatu sistem pertahanan, diperluas jangkauannya sehingga mencakup juga aspek keamanan dalam negeri. Komando-komando teritorial, yang tadinya bersifat lokal dan merupakan konsekuensi logis dari suatu situasi perang, memperoleh landasan di masa damai. Divisi-divisi yang merupakan kesatuan tempur bermetamorfosis menjadi "teritorium", dan terakhir diubah menjadi "daerah militer". Struktur ini berjenjang ke bawah sejajar dengan jenjang administrasi pemerintahan.

Tidak perlu diterangkan lagi bahwa istilah keamanan diberi makna yang sangat kabur. Pengertian keamanan yang sangat lentur itu akhirnya mendorong peningkatan keterlibatan TNI dalam politik. Banyak kegiatan politik, terutama jika menyentuh kebijakan pemerintah, lalu digolongkan sebagai ancaman terhadap keamanan dalam negeri dan dihadapi dengan menggunakan kekerasan ketimbang dengan cara-cara politik.

Demikianlah, fungsi pembinaan wilayah menjadi cikal bakal dwifungsi TNI—paling tidak menurut versi Nasution. Dalam reorganisasi TNI pada akhir 1970-an, bersamaan dengan perubahan jabatan Panglima Angkatan menjadi Kepala Staf Angkatan, Kodam dijadikan sebagai kesatuan administratif dan peran sosial-politik TNI di daerah lebih dititikberatkan pada forum Muspida dan pengaryaan. Nasution melihat perkembangan itu sebagai penyimpangan. Ia menulis, "Jika semula 'pembinaan wilayah' sebagai pohon dan dari pohon ini lahir cabang-cabang seperti 'kekaryaan' dan civic mission, sekarang cabang kekaryaan telah menjadi pohon."

Namun, menyimpang atau tidak, kehadiran struktur teritorial TNI-AD yang berjenjang sampai ke tingkat desa masih tetap dipertahankan. Maka, TNI memperoleh pangkalan yang kokoh untuk setiap saat jump in dalam kehidupan politik. Keberadaannya tetap dikaitkan dengan sejarah perang wilayah yang kemudian diangkat sebagai doktrin Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta. Dalam masa revolusi kemerdekaan, dan mungkin juga dalam fase survival segera setelah pengakuan kedaulatan, kehadiran aparat teritorial tersebut terasa banyak manfaatnya. Tetapi, dalam masa damai, penerapannya ternyata lebih banyak mudaratnya.

Sudah tiba saatnya, terutama dalam upaya kita mengonsolidasikan demokrasi dan dalam rangka reformasi TNI, untuk secara prinsip dan bertahap meninggalkan struktur teritorial tersebut. Sesuai dengan perkembangan zaman, doktrin sistem pertahanan (tanpa embel-embel keamanan) lambat laun harus menuju apa yang disebut citizen army, yaitu kemampuan memobilisasi rakyat melalui wajib militer untuk menopang kesatuan-kesatuan tempur yang profesional dan modern dalam menghadapi musuh dari luar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum