AIR liur saya bercucuran membaca laporan utama sebuah majalah ekonomi Indonesia tentang gaji para eksekutif kita. Alangkah nikmatnya mengantungi semilyar rupiah setelah bekerja setahun. Mereka yang berpenghasilan Rp 2.100 sehari tentulah tak akan membayangkan apa yang dapat dilakukan dengan uang sebanyak itu. Dan mereka yang kerjanya hanya membuat fotokopi ijazah setiap hari, untuk dikirim ke setiap kantor yang diharap akan menyediakan peluang kerja, tentulah akan menelan berita itu dengan pilu. Nasiblah yang lebih menjadi penentu utama mengapa seorang eksekutif bisa mendapat gaji semilyar, sedang eksekutif yang lain sudah puas menerima gaji tahunan dengan tujuh nol di belakang digit pertama. Pemimpin redaksi sebuah media massa, contohnya, tentulah tidak lebih bodoh daripada para eksekutif yang menerima gaji ratusan juta setahun itu. Bahkan ia mungkin bekerja lebih keras. Namun, gajinya toh tak masuk daftar the high flyers. Jadi, adakah hubungan antara gaji besar seorang eksekutif dan sukses perusahaan yang dipimpinnya? Pertanyaan serupa sedang banyak dikaji di Amerika Serikat saat ini. Orang mulai mempersoalkan etis tidaknya memberi gaji jutaan dolar. Michael Milken dahulu memperoleh gaji jutaan dolar karena dianggap whiz kid yang telah melahirkan instrumen keuangan baru junk bond. Padahal, perusahaan yang dipimpinnya, Drexel Burnham Lambert, kemudian tumbang dan mengakibatkan kekacauan besar dalam lembaga keuangan Amerika Serikat. Jeffrey Steiner, seorang eksekutif puncak Banner Industries (industri penerbangan dan ruang angkasa), sekarang sedang disorot. Sudah lima tahun berturut-turut Banner tak dapat membagi dividen kepada para pemegang saham. Namun, tahun ini Jeffrey telah mengantungi gaji dan bonus sejumlah US$ 6 juta (hampir Rp 12 milyar). Padahal, keuntungan Banner tahun ini hanya mencapai US$ 1,5 juta -- return on equiy-nya hanya 1%. Ada yang tidak klop di sini. Gaji Jeffrey sendiri sebenarnya "hanya" US$ 1,4 juta setahun. Sisanya adalah bonus. Namun, bagaimana mungkin perusahaan yang hanya untung US$ 1,5 juta memberi bonus atas performance eksekutifnya hingga lebih dari US$ 4,5 juta? Usut punya usut, Jeffrey memakai dalih keberhasilannya memimpin Banner melakukan akuisisi terhadap Fairchild Industries (juga industri ruang angkasa). Sekarang Banner bahkan ganti nama menjadi Fairchild karena nama yang terakhir itu lebih dikenal. Steiner bahkan berhasil menjual salah satu anak perusahaan Fairchild yang bergerak di bidang hankam dengan harga yang "katanya" sangat baik. Untuk itulah dia memberi bonus kepada dirinya sendiri sebesar itu. Padahal, "sukses" Jeffrey dalam hubungannya dengan akuisisi Fairchild itu tak mengubah kenyataan bahwa return on equity Banner tak lebih dari 1%. Michael Halloran, seorang konsultan yang dikutip The Wall Street Journal, berkata, "Sangat sulit untuk memahami hubungan antara kompensasi dan prestasi seorang eksekutif. Banyak contoh tersaji di depan kita tentang perusahaan-perusahaan yang lebih berhasil di tangan para eksekutif yang gajinya lebih rendah." Graef Crystal, seroang konsultan lain yang juga dikutip The Wall Street Journal, mengatakan, "Sekarang ini makin banyak eksekutif yang mendapat bonus tanpa membuat prestasi apa-apa. Seperti loncat tinggi saja. Bukannya meninggikan palang untuk mematok prestasi baru, tetapi malah menurunkannya dengan berbagai alasan faktor eksternal. Malah ada yang diam-diam menghilangkan palang itu sehingga tanpa melakukan loncatan apa-apa seorang eksekutif bisa memperoleh bonusnya." Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini