Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Hawking

Stephen Hawking bukan manusia yang lazim. Tapi adakah ia "luar biasa"?

18 Maret 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Stephen Hawking bukan manusia yang lazim. Tapi adakah ia "luar biasa"?

Ia pernah diperkirakan akan meninggal di umur 11 tahun karena penyakit yang dirundungnya, tapi tidak; ia wafat pada usia 73 tahun. Orang pernah menduga, anak yang terkena ALS ini, yang saraf tubuhnya rusak hingga fisiknya lumpuh, tak akan dapat bertahan-sebab demikianlah lumrahnya-tapi ia bertahan: bahkan selama beberapa puluh tahun menyumbangkan pikirannya yang mengagumkan ke dunia ilmu. Ia harus duduk dan bergerak dengan kursi roda, memakai mesin dan komputer agar isi kepalanya muncul sebagai suara, tapi ia tak terpasung. Seperti dikatakannya, "Aku merdeka, dalam pikiranku."

Riwayat Hawking menunjukkan, pola sebab-dan-akibat yang lazim berlaku dalam hidup tak terlihat pada dirinya; hidupnya unik. Ia bukti tak adanya hubungan kausalitas yang pasti yang menentukan apa yang terjadi.

Saya bukan orang yang mengerti theorinya, tapi bagi saya aneh ketika Hawking justru bersuara seperti seorang determinis ketika ia mengambil contoh dari biologi. "Dasar molekuler biologi menunjukkan," tulisnya dalam The Grand Design, yang digubahnya bersama Leonard Mlodinow dan diterbitkan sewindu yang lalu, "bahwa proses hayati diarahkan hukum fisika dan kimia, dan sebab itu ditentukan seperti obyek-obyek planet."

Kesimpulan Hawking: "Kita tak lebih dari mesin biologis"; apa yang disebut "kehendak bebas" cuma "ilusi".

Perabot dan komputer membantu hidup jenius yang mengagumkan ini. Sebab itukah ia memandang laku manusia sedemikian mekanistis-manusia adalah bagian dunia benda-benda, bukan makhluk yang "luar biasa"?

Mungkin tak sesederhana itu. Hawking bukan ilmuwan abad ke-19, bukan Laplace yang yakin bahwa keadaan semesta kini adalah efek masa lalunya dan akan jadi sebab bagi masa depannya. Laplace, matematikawan Prancis terkemuka di zamannya, memandang alam semesta dengan kalkulasi (ia menulis lima jilid Mecanique Céleste-"mekanika langit"). Ia juga yang memperkenalkan theori probabilitas dalam statistik. Maka kita bisa mengerti dasar pandangan determinismenya: segala hal bisa diperhitungkan, bisa diprediksi.

Pengaruh Laplace di dunia ilmu amat membekas. Tapi seperti dikatakan Hawking, pandangannya "harus diubah".

Pada 1927, fisikawan Jerman Heisenberg, dengan penelitian mekanika kuantum, mengguncang dunia sains dengan theori "ketidakpastian" (Unschärfeprinzip). Heisenberg menunjukkan bahwa untuk memprediksi masa depan, kita harus sanggup mengukur secermat-cermatnya posisi dan kecepatan gerak partikel hari ini. Paradoksnya: kian akurat kita mengukur posisi partikel itu, kian kurang cermat kita menangkap kecepatannya-begitu pula sebaliknya.

Buat beberapa lama, sedikit yang mendengarkan Heisenberg. Bagi Einstein, semesta tak acak-acakan. Di dalamnya tak ada yang serba kebetulan. "Tuhan tak bermain dadu," ujarnya. Yang tampak sebagai ketakpastian itu hanya gejala sementara. Ada realitas yang jadi dasar, yang membuat partikel-partikel punya posisi dan kecepatan yang tertentu. Kita hanya bisa melihat realitas itu seakan-akan lewat kaca yang gelap.

Tapi ilmu fisika terus bergerak. Pertanyaan baru muncul dan theori baru datang. Beberapa ilmuwan, dengan perkembangan mekanika kuantum, menunjukkan bahwa partikel tak seperti yang diduga Einstein: mereka tak punya posisi dan kecepatan yang bisa ditentukan dengan rapi. Mereka ada dalam bentuk "fungsi gelombang", wave function. Namun, di alam semesta, "lubang hitam", yang bertebar kecil-kecil di mana-mana, menelan informasi tentang partikel yang ada hari ini-maka apa yang akan mewujudkan satu partikel kelak tak bisa ditentukan. Determinisme guyah. Hawking: "Einstein dua kali keliru ketika ia mengatakan Tuhan tak bermain dadu. Tuhan bermain, dan tak hanya itu, Ia membingungkan kita dengan melemparkan dadu ke tempat yang tak terlihat."

"Alam semesta," tulis Hawking, "terus-menerus mengejutkan kita."

Meski demikian, Hawking tak menanggalkan determinismenya. Kutipan dari The Grand Design menunjukkan bias kuat ilmu-ilmu pasti. Ia berpendapat kita hidup di alam semesta yang tak tunggal, bukan uni-versum, melainkan multi-versum, tapi ia melihat proses kehidupan ditentukan sebab-dan-akibat yang polanya satu. Manifestasinya beraneka ragam.

Di sini ia tak sadar: ia tak jauh dari keyakinan agama-agama. Bhagavata Purana, kitab suci Hindu abad ke-8, menegaskan, "Ada semesta yang jumlahnya tak terhitung di samping yang kita tempati...." Tapi sebagaimana bagi agama umumnya, semesta yang berlapis-lapis itu tak terbuka: ada surga dan neraka, ada karma, ada narasi yang menutup proses.

Mungkin salah satu kelemahan perspektif agama dan ilmu-ilmu, juga pada Hawking, adalah gagalnya menangkap "gerak bebas" dari dalam yang dikenal dalam seni-gerak tak terhingga yang membuat gambar prasejarah dan karya Picasso bagian dari "alam semesta yang terus-menerus mengejutkan". Bukankah seni, kreativitas, adalah proses merayakan yang tak terduga?

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus