Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Demokrasi Wani Pira di Bengkulu

Penangkapan calon Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, menunjukkan OTT efektif mendeteksi korupsi. Satu dari 545 kepala daerah.

28 November 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Operasi tangkap tangan masih efektif bagi KPK mendeteksi tindak pidana korupsi.

  • OTT Gubernur Bengkulu terjadi karena laporan masyarakat adanya mobilisasi dana APBD mendukung Rohidin Mersyah dalam pilkada.

  • Ada 545 kepala daerah berlaga yang mungkin memakai cara sama mendanai kampanyenya.

GUBERNUR Bengkulu Rohidin Mersyah adalah contoh sempurna cerita democracy for sale paling klasik tentang patronase, klientelisme, dan politik uang dalam pemilihan umum. Ia memerintahkan anak buahnya menyetip anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk mendanainya maju kembali dalam pemilihan kepala daerah serentak pada 27 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi mencokoknya empat hari sebelum hari pencoblosan sehingga uang yang sudah terbungkus amplop itu urung ia sebarkan. Uang yang disita senilai Rp 7 miliar dalam pelbagai pecahan yang sudah terbungkus amplop bergambar Rohidin dan Meriani, calon wakil gubernurnya. Dalam operasi tangkap tangan (OTT) itu, terungkap bahwa uang tersebut digunakan untuk “serangan fajar”, suap para kandidat kepala daerah menjelang hari pemilihan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rohidin pun segera digelandang ke Jakarta dan menjadi tersangka korupsi. KPK juga menetapkan Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu Isnan Fajri dan ajudan Gubernur, Evriansyah, sebagai tersangka korupsi perkara itu. KPK memakai Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang pemaksaan mendapatkan uang korupsi dan gratifikasi.

Masalahnya, Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah tetap mengizinkan kepala daerah yang tertangkap tangan bisa terus mengikuti tahap-tahap pilkada. Rohidin Mersyah bahkan bisa tetap dilantik jika meraup suara terbanyak dalam pemilihan. Ia baru dicopot jika statusnya telah naik menjadi terpidana alias vonisnya telah berkekuatan hukum tetap di Mahkamah Agung.

Penangkapan Rohidin sekaligus menyangkal usulan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak yang hendak menghapus operasi tangkap tangan. Menurut Tanak, saat ia memberikan presentasi di depan Dewan Perwakilan Rakyat pekan lalu karena terpilih menjadi calon komisioner KPK 2024-2029, operasi tangkap tangan oleh KPK tak efektif mencegah orang melakukan korupsi. Usulan Tanak itu mendapat sambutan meriah para anggota DPR.

Jika KPK kelak mengadopsi usulan Tanak, yang terpilih kembali menjadi Wakil Ketua KPK, calon gubernur korup seperti Rohidin Mersyah tak akan bisa ditangkap. Penyidik KPK harus menunggu dua alat bukti untuk bisa menangkap seseorang yang terduga melakukan korupsi. Dalam pengumpulan bahan itu, seorang koruptor bisa secepat kilat menghilangkan barang bukti.

Berbeda dengan operasi tangkap tangan. Dalam OTT, penyidik yang mendapat informasi perbuatan korupsi bisa mengintai para tersangka sehingga bukti yang mereka dapatkan merupakan bukti keras korupsi. Dengan begitu, penyidikan bisa lebih cepat dan bukti-buktinya dapat segera dilimpahkan ke pengadilan. OTT lebih hemat biaya dibanding penyelidikan dokumen dan pemeriksaan saksi-saksi yang memakan waktu.

OTT juga bisa menghindarkan KPK sia-sia menyidik sebuah perkara karena status tersangka atau penangkapan terduga koruptor gugur karena digugat secara praperadilan. Operasi tangkap tangan merupakan cara penyidik mendapatkan bukti telak tanpa harus diuji lebih dulu sebelum penyidikan dimulai. Ada banyak perkara yang disidik secara konvensional dengan penelusuran dokumen dan saksi gugur karena gugatan praperadilan tersangka kejahatan.

Penangkapan Rohidin ini juga mengingatkan DPR agar segera merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Seharusnya calon kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan otomatis tak bisa mengikuti pilkada sampai ia bisa membuktikan diri tak melakukan korupsi. Namun pengingat ini bisa menjadi inspirasi bagi DPR merevisi Undang-Undang Antikorupsi dengan mencabut kewenangan OTT oleh KPK.

Pada era “demokrasi wani pira”, di zaman pelanggaran hukum dan etika terjadi secara telanjang, harapan baik selalu patah oleh niat jahat yang disahkan dengan mengubah hukum serta aturan. Dengan OTT yang masih berlaku pun KPK hanya bisa mendeteksi satu Rohidin yang melakukan korupsi. Sementara itu, pilkada serentak berlangsung di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Bukan tak mungkin para inkumben mengumpulkan logistik pemilu dengan cara yang sama.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus