Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kaji Ulang Menghapus Subsidi BBM Pengemudi Ojek Online

Pemerintah hendak menghapus subsidi BBM bagi pengemudi ojek online. Dampak ekonominya besar.

3 Desember 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah berencana menghapus subsidi BBM bagi pengemudi ojek online.

  • Niat menata penerima subsidi BBM yang salah sasaran akan memicu salah sasaran berikutnya.

  • Sektor informal ojek online paling banyak menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.

SUDAH jatuh tertimpa tangga, sudah jadi prekariat tak mendapat subsidi pula. Pemerintah akan mencoret pengemudi ojek online sebagai penerima bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi atau mendapat bantuan langsung tunai pengganti subsidi BBM. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia beralasan ojek online adalah sektor bisnis, bukan transportasi umum yang layak mendapat subsidi negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Argumen Bahlil Lahadalia itu tak masuk akal. Ojek online memang tak masuk transportasi umum menurut Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun, pada kenyataannya, di tengah layanan transportasi publik yang buruk, ojek online melayani jasa pengantaran orang dan barang yang dipakai banyak orang Indonesia. Para pengemudi ojek umumnya juga kelompok miskin atau rentan miskin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penurunan jumlah kelas menengah sebesar 5 persen atau 9,84 juta pada 2019-2024 terserap oleh pekerjaan informal, paling tinggi menjadi pengemudi ojek online. Saat ini ada 4 juta pengemudi ojek aplikasi yang umumnya tinggal di perkotaan Jawa. Lungsuran dari kelas menengah ini yang menambah jumlah kelompok masyarakat rentan miskin sebanyak 24,23 persen dalam lima tahun menjadi 67,7 juta orang.

Jika pengemudi ojek online tak bisa mengakses BBM bersubsidi, tekanan terhadap mereka makin kuat karena penghasilannya kian berkurang. Saat ini rata-rata pengeluaran pengemudi ojek online untuk membeli BBM bersubsidi adalah 20 persen dari penghasilan kotor sehari. Pendapatan itu masih harus dipotong perusahaan aplikasi yang mencapai 70 persen—tiga kali lipat dari ketentuan pemerintah.

Untuk mencegah penghasilan berkurang, perusahaan aplikasi bisa saja menaikkan tarif. Namun masyarakat menengah-bawah yang menjadi pengguna jasa mereka akan terkena imbasnya. Walhasil, jika kebijakan ini tak ditinjau ulang, pukulan terhadap ekonomi akibat kebijakan mengeluarkan pengemudi ojek dari daftar penerima subsidi BBM akan meluas. Di tengah merosotnya daya beli, kebijakan subsidi yang keliru akan memperparah keadaan.

Jikapun hendak membatasi pengemudi ojek online mendapat subsidi dengan dalih unit usaha dan menghindari salah sasaran, kriterianya perlu selektif. Misalnya, pengemudi yang dikeluarkan dari daftar penerima subsidi adalah pemilik dan pengemudi taksi online, sementara pengemudi ojek online tetap bisa membeli BBM bersubsidi atau menerima BLT. Apabila tarif taksi online naik, toh pengguna umumnya kelas menengah-atas yang tak berhak mendapat subsidi.

Peninjauan ulang kebijakan penerima subsidi BBM sudah seharusnya dilakukan. Bertahun-tahun penerima subsidi ini tak tepat dan banyak penyelewengan. Namun, jika pemilahan tak tepat, akan menjadi bumerang bagi ekonomi secara keseluruhan. Menurut laporan Google, transaksi ojek online tahun ini mencapai Rp 141 triliun, naik 13 persen dibanding pada tahun lalu. 

Jika tekanan ekonomi karena pencabutan subsidi membuat ojek online tak lagi menguntungkan sehingga pengemudi berhenti menarik penumpang, tak hanya tingkat pengangguran yang naik, transaksi yang menyumbang konsumsi juga akan anjlok. Tahun lalu, menurut Badan Pusat Statistik, dari 59 persen pekerja informal, ojek online menjadi jenis pekerjaan paling banyak menyerap pengangguran lulusan perguruan tinggi.

Pemerintah belum terlambat mengkaji ulang rencana menghapus pengemudi ojek online mendapatkan subsidi BBM karena dampaknya ke mana-mana. Jangan sampai keinginan menata ulang penerima subsidi BBM yang salah sasaran itu justru menyebabkan kehidupan masyarakat yang sudah tertekan menjadi makin menderita.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus