Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo mengajak sejumlah influencer atau pemengaruh ke Ibu Kota Nusantara (IKN) untuk mengawali menempati kantor yang baru. Influencer itu bukan orang yang mengidap penyakit flu yang encer, melainkan pesohor di dunia maya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka penyanyi, pemain film, komika, pembawa acara, dan orang yang memiliki profesi sejenis lainnya. Mereka punya pengikut di media sosial dalam jumlah yang sangat besar. Merekalah pihak yang diajak Jokowi ke IKN. Naik pesawat kepresidenan. Dari Balikpapan, mereka menjajal mengendarai sepeda motor gede di jalan tol dan ditutup mengikuti pesta makan malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi sangat senang. Ia tampak semringah meski malamnya tidak bisa tidur nyenyak karena mesin pendingin ruangan tak bekerja maksimal. Namun banyak pihak yang tidak senang, lalu mengkritik. Dari sekian orang yang tak suka ini ada yang penting disebutkan.
Dia adalah Ninik Rahayu. Jabatannya Ketua Dewan Pers. "Saya heran kenapa Presiden datang ke IKN mengajak influencer. Semestinya yang diajak pers dong, mereka bisa melihat dengan jernih,” kata dia. Mengajak wartawan, kata Ninik, jauh lebih penting ketimbang pemengaruh karena wartawan bisa menggunakan prinsip-prinsip jurnalistik dan kerja secara profesional.
Ninik benar secara teori dan Jokowi pun tidak salah melihat fakta. Wartawan punya kode etik organisasi. Beritanya harus seimbang. Berita yang buruk ditulis buruk dan yang baik ditulis baik. Pers adalah pilar ke sekian dari demokrasi. Produk pers pun dianggap sebagai bahan edukasi.
Masyarakat yang cerdas antara lain karena produk persnya bermutu dan dihormati. Dengan begitu, jika wartawan yang diundang ke IKN (memang ada segelintir wartawan sebagai pelengkap), masyarakat mendapatkan informasi yang lengkap, apa kelebihan IKN dan apa kekurangannya.
Jokowi mungkin melihat fakta lain. Berapa orangkah yang membaca produk jurnalistik wartawan saat ini? Koran dan majalah mati bergelimpangan. Kalaupun ada yang masih dicetak, itu dijual khusus, misalnya lewat toko online. Produk jurnalistik (yang dikelola wartawan profesional) lari ke media online, tapi masih terengah-engah. Sementara itu, para pesohor ini bisa menyiarkan berbagai informasi dalam sekejap di media sosial, baik itu di Instagram, Facebook, YouTube, maupun TikTok.
Mau tahu berapa pengikut para pemengaruh itu? Raffi Ahmad memiliki 60 juta pengikut, Atta Halilintar 30 juta, Gading Marten 24 juta, Irwansyah 16 juta, Willie Salim 11,8 juta, Meicy Villia 11,1 juta, Dian Ayu Lestari 1,7 juta, dan Ferry Maryadi punya 1,2 juta. Itu baru di Instagram dengan akun utama. Mereka punya akun lain. Misal, pasangan Raffi dan istrinya, Nagita, punya akun lain di Instagram dengan nama @Raffinagita1717. Pengikutnya 76 juta lebih.
Memang akun para selebritas itu isinya bermacam-macam. Tentu lebih ke urusan profesinya sebagai penyanyi dan bintang film ataupun kegiatan keluarga. Juga lebih banyak candaan menyapa pengikutnya. Namun begitu mereka mengunggah bagaimana menjajal jalan tol Balikpapan-IKN, mengunggah istana garuda dengan patungnya, serta mengunggah ruang-ruang istana negara dan pesta makan malam, ratusan juta orang melihat kehebatan IKN itu. Tak ada sesuatu yang perlu dipertanyakan.
Baca editorial:
Berbeda jika wartawan meliput, hal-hal kecil pasti dijadikan selingan berita. Misalnya pernyataan tidak konsisten pejabat IKN yang menyebutkan air sudah masuk dan langsung bisa diminum, nyatanya botol-botol air mineral memenuhi meja makan. Ini contoh kecil kebohongan publik.
Pernahkah ada yang menyelisik, siapa follower para influencer itu? Dari kalangan mana mereka? Apakah ada para pengambil keputusan yang menjadikan unggahan para selebritas itu sebagai bahan untuk mengambil kebijakan? Apakah unggahan influencer itu ada pengaruhnya terhadap kemajuan IKN untuk masa depan? Melihat komentar-komentar yang ada, sepertinya tidak nyambung.
Kurang dari tiga bulan lagi, Jokowi turun takhta. Rasanya tak perlu lagi mengkritik hal ini, biarkan dia riang gembira sebelum lengser. Apalagi Jokowi sudah minta maaf kepada bangsa atas kepemimpinannya. Kalau sudah minta maaf terbuka dan masih melakukan kesalahan, itu bukan pemimpin yang baik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo