Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBIJAKAN politik luar negeri Indonesia dengan Negeri Tirai Bambu di bawah pimpinan Presiden Prabowo Subianto berbelok tajam dibanding pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Pernyataan bersamanya dengan Presiden Republik Rakyat Cina Xi Jinping tentang kerja sama pengembangan "di wilayah-wilayah dengan klaim yang tumpang-tindih" membawa Indonesia makin dekat dengan Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prabowo bertemu dengan Xi Jinping pada Sabtu, 9 November 2024, dalam rangkaian lawatan perdananya setelah terpilih menjadi presiden ke-8 Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, Prabowo dan Xi Jinping membuat kesepahaman bersama tentang pengembangan "di wilayah-wilayah dengan klaim yang tumpang-tindih" dan membentuk Komisi Pengarah Bersama Antar-Pemerintah untuk penerapannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya tak ada potensi sengketa wilayah apa pun antara Indonesia dan Cina kecuali di dekat Laut Natuna Utara, yang termasuk kawasan Laut Cina Selatan. Itu pun hanya "riak-riak kecil" ketika ada kapal Cina melintasi wilayah Indonesia atau kejar-kejaran kapal patroli Indonesia dengan kapal nelayan Cina. Berbeda dengan sengketa antara Cina dan Filipina di perairan itu yang sudah sangat keras hingga berujung ke Mahkamah Arbitrase Internasional.
Selama ini Cina mengklaim sekitar 90 persen Laut Cina Selatan berdasarkan konsep "sembilan garis putus-putus". Ini dongeng tentang wilayah tangkap tradisional nelayannya zaman dulu yang menjelajah begitu jauh hingga masuk kawasan yang sekarang termasuk wilayah Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam. Berdasarkan hikayat itu, Cina mereklamasi beberapa pulau di sekitar Laut Cina Selatan dan membangun basis militer layaknya pos pertahanan terluarnya. Cina mengusir kapal-kapal dagang dan nelayan yang melintasi wilayah tersebut, yang sebenarnya termasuk perairan internasional alias siapa saja boleh melewatinya dengan tujuan damai.
Tak ada dasar hukum Cina atas konsep tersebut. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tidak mengakuinya, padahal Cina termasuk negara yang mengadopsi hukum laut ini. Saat memutuskan gugatan Filipina, Mahkamah Arbitrase Internasional juga menyatakan bahwa klaim Cina itu tidak memiliki dasar hukum internasional. Indonesia dan negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) lain selama ini berpegang pada putusan UNCLOS sehingga juga menolak konsep garis putus-putus itu.
Cina sedang menjual dongengnya dan Prabowo menelan dongeng itu tanpa melakukan diskusi yang memadai dengan para diplomat serta ahli hukum internasional yang selama ini mempertahankan sikap Indonesia tentang Laut Cina Selatan. Pengakuan Prabowo terhadap konsep tersebut seperti membiarkan halaman belakang rumah negeri ini tiba-tiba dapat dipagari tetangga dari desa sebelah, hanya karena si tetangga mengaku kakeknya dulu sering memancing di pekarangan itu.
Keberpihakan Prabowo kepada Cina tidak sebatas itu. Dia juga menyatakan bahwa masalah muslim Uighur di Xinjiang serta Tibet (Xizang) sebagai "urusan dalam negeri Cina" dan "dengan tegas mendukung upaya Cina untuk menjaga pembangunan serta stabilitas" di kedua wilayah itu.
Lagi-lagi Prabowo membuat pernyataan tanpa berdiskusi dulu dengan para diplomat Kementerian Luar Negeri. Indonesia selama ini tak pernah menyatakan sikap semacam itu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa Cina telah melanggar hak asasi manusia dalam menangani kedua wilayah itu. Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, telah menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap kebijakan keras Cina di sana.
Dengan dukungan Prabowo itu, wajar Indonesia kini dipandang sebagai negara yang tidak konsisten. Indonesia mengecam keras Israel yang membunuh warga Palestina di Gaza, tapi membiarkan Cina mempersekusi warga Uighur dan mencaplok Tibet.
Sikap Prabowo menjadi angin segar bagi Cina karena mendapat sekutu penting di kawasan Asia Tenggara di tengah derasnya kecaman dunia. Keberpihakan ini akan makin menjauhkan Indonesia dari kebijakan politik luar negeri bebas aktifnya. Padahal pilihan politik tersebut yang membuat Indonesia selama ini dihormati banyak negara dan memudahkan Indonesia bekerja sama dengan negara mana pun.
Perubahan politik luar negeri ala Prabowo yang grasah-grusuh ini akan membuat Indonesia terkucil dalam pergaulan internasional. Posisi Indonesia, yang selama ini berusaha berimbang dalam menghadapi hegemoni Cina dan Amerika, berantakan dalam sekejap hanya karena godaan bisa menarik investasi lebih besar dari Cina.
Dampaknya akan luas. Keberpihakan itu, misalnya, akan membuat Amerika menarik kembali segala investasi dan bantuannya di Indonesia. Sikap pragmatis Prabowo berdampak jauh lebih besar dari sekadar menelan dongeng Negeri Panda tentang nelayannya yang menjelajah hingga dekat Natuna.