Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMUS pada dasarnya menggambarkan situasi dan kondisi pada zamannya. Ini tecermin pada pemaknaan terhadap kata-kata yang termuat dalam kamus tersebut, seperti pada lema puasa. Penelusuran makna puasa dapat kita mulai dari Kamoes Indonesia (1942) susunan E. Soetan Harahap. Dalam kamus itu, Soetan mencantumkan poeasa dengan makna “memegang, artinja: tiada makan, tiada minoem seboelan Ramadan pada siang hari”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soetan kemudian menerbitkan kamus lain pada 1948 dengan judul Kamus Indonesia Ketjik. Di sana puasa diartikan sebagai “berpantang makan” dengan turunan berpuasa, yang artinya “tidak makan siang hari (pada bulan Ramadan)”. Sementara itu, W.J.S. Poerwadarminta, dalam Logat Ketjil Bahasa Indonesia (1948), memaknai puasa sebagai “(1) tidak makan dan tidak minum” dan “(2) bulan Ramadan”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiap keterangan seakan-akan menandaskan bahwa kesadaran mengenai waktu menjadi perkara penting dalam menjalani puasa. Sekilas, pemaknaan itu belum detail dan ketat. Apalagi batasan waktu yang disebutkan adalah tidak makan dan tidak minum pada siang hari. Makna yang sama masih digunakan hingga 1951. Salah satunya ditulis kembali oleh Hassan Noel Arifin melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia (1951).
Perubahan muncul pada 1952 melalui Kamus Saku Bahasa Indonesia susunan Reksosiswojo, St. Muh. Sa’id, dan A. Sutan Pamuntjak. Di kamus tipis setebal 104 halaman tersebut kita mendapat pengertian puasa sebagai “menahan hawa nafsu, makan-minum dll. sedjak terbit fadjar sampai magrib”.
Yang terasa adalah pemaknaan puasa dalam kamus-kamus ini sebatas pada agama Islam. Bila merujuk pada asal-usulnya, kata puasa sebetulnya bersumber dari bahasa Sanskerta upawasa yang berarti “mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung”. Cendekiawan Jalaludin Rakhmat di Surabaya Post (1995) menjelaskan, “Dari sejarah agama, kita tahu bahwa puasa dilakukan oleh orang-orang Kristen, Yahudi, Konfusianisme, Hindu, Tao, Jainisme, agama-agama lain, termasuk pengikut agama-agama lama.”
Setiap agama dan keyakinan tentu memiliki aturan dan ketentuan masing-masing yang tidak harfiah sebagaimana makna dalam kamus. Di Indonesia, umat Islam memang mayoritas sehingga banyak orang di sini akan berterima dengan keterangan yang ada di kamus. Meskipun demikian, sebuah kamus umum semestinya menimbang pula makna puasa bagi agama-agama lain, yang punya pengertian dan aturan masing-masing.
Kamus Besar Bahasa Indonesia VI Daring mengakomodasinya dengan mencantumkan dua makna untuk lema puasa, yakni “(1) meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)” dan “(2) salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari; saum”. Makna kedua ditambah keterangan n Isl, yang berarti bahwa kata ini merupakan kata benda (noun) dalam Islam.
Dengan cara berbeda Kamus Dewan Edisi Keempat (2007) terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia mengakomodasi makna umum puasa dan makna khusus puasa dalam agama Islam pada definisi puasa, yakni “1. perbuatan menahan diri drpd makan dan minum dgn sengaja (utk sesuatu maksud yg tertentu); 2. perbuatan menahan diri drpd makan dan minum dll antara waktu matahari naik hingga matahari jatuh (dlm agama Islam)”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Puasa"