Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Kebudayaan intens

Menurut data statistik indonesia sebagai negara paling banyak belanja di singapura. padahal indonesia termasuk negara miskin. akar kebudayaan indonesia termasuk tidak intens, malas tapi suka berfoya-foya.

8 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Singapura, tak banyak orang bertepuk tangan untuk Indonesia. Dan itu tak cuma terjadi ketika Swie King bertanding melawan Han Jian, di ruang pertandingan bulutangkis yang seperti beruap oleh panas. Tapi haruskah kita kaget? Seharusnya tidak. Penonton bulutangkis Singapura memang bukan orang Inggris yang hadir di pertandingan kejuaraan All England di Empire Pool, Wembley. Di sana, para penonton yang tertib bertepuk necis untuk permainan yang bagus. Tapi di gedung bulutangkis Singapura, 85% dari 6.000 penonton berteriak-teriak hanya untuk pemain RRC. Mereka a priori tak mendukung tim Indonesia. Jangan salah faham. Bukan karena orang-orang Singapura itu lebih dekat kepada "negeri leluhur". Di Republik Singapura Lee Kuan Yew cukup berhasil menanamkan rasa kebangsaan "Singapura" di antara para keturunan Hoakiau itu. Bila RRC jadi favorit mereka malam itu, semata-mata itu hanya karena Indonesia bukanlah negeri yang mereka sukai. Tidak enak, memang. Namun gambaran banyak orang Singapura tentang Indonesia adalah gambaran yang tidak sebagus sangka kita. Sudah tentu ini hanya dugaan awal, rumusan atas sebuah kesan. Pengumpulan pendapat umum dl Singapura tentang tetangganya yang besar di Selatan ini memang belum pernah diadakan. Tapi di pertemuan-pertemuan tak resmi, dalam lelucon semi iseng, dalam obrolan menenangga, citra mereka tentang orang Indonesia kurang-lebih begini inilah orang-orang negeri melarat, yang anehnya gemar menghamburkan uang dengan mudah .... Orang Indonesia memang tercatat dalam statistik mereka sebagai pengunjung yang deras dan sekaligus konsumen yang besar di toko-toko Singapura -- lebih besar ketimbang turis Australia ataupun Jepang. Sementara itu orang Singapura tahu, bahwa Indonesia bukanlah negeri yang "maju". Bahkan agak jauh ketingalan dari republik mereka yang kecil itu. "Saya sendiri tak mampu untuk berbelanja seperti orang Indonesia berhelanja," ucap seorang diplomat Singapura, seraya menyebut income per capita ASEAN. Syahdan, Perdana Menteri Lee Kuan Yew pernah memproyeksikan image bangsa Singapura sebagaimana ia membentuk dirinya sendiri: warga dari masyarakat yang keras-kuat, makhluk yang tidak suka berleha-leha dan berfoya-foya, manusia yang tak merokok dan tak mau mabuk, bangsa yang bersih, suka sport dan bekerja mati-matian. Memang, sebuah masyarakat yang puritan dan praktis tanpa humor. Tapi Lee Kuan Yew punya teori ada bangsa-bangsa yang "berkebudayaan intens" dan ada yang bukan. Ada bangsa yang sukses dengan cepat di bidang ekonomi lantaran tahan merangkak dari bawah secara habis-habisan, ada bangsa yang senyum-senyum, nyanyi-nyanyi dan akhirnya gelagapan. Jepang, Korea, Taiwan, Cina, Vietnam dan tentu saja Singapura, termasuk golongan yang pertama mereka yang dengan akar kebudayaan Cina, tergolong intens" Indonesia jelas "tidak intens". Bukankah di Bali orang main layang-layang, menyabung jago, main gamelan dan menari-nari? Bukankah di Batak A Sing Sing So tak putus-putusnya di paktertuak? Bukankah di Jawa orang senyum terus menghabiskan waktu di bawah burung perkutut? Tentu, teori semacam itu biasa ditertawakan. Ia tak melihat sejarah dengan cermat dan perbedaan-perbedaan "subkultur" dalam satu wilayah kebudayaan. Seorang penulis resensi majalah The Economist malah pernah menyebut fikiran Lee Kuan Yew bagaikan sinar laser tajam, cemerlang, tapi sempit. Namun teorinya tentang "kebudayaan intens" bagaimana pun juga mencerminkan citra yang banyak menghinggapi orang Singapura tentang diri mereka sendiri dan tetangganya yang "Melayu". Prasangka? Apa pun namanya, ia tak mudah beranjak. Apalagi kita sendiri seperti selalu mengukuhkannya. Lihatlah kasus harta simpanan Haji Thahir di pengadilan Singapura. Dialah contoh bagaimana orang Indonesia suka akan kemewahan tapi tak suka berkeringat habis-habisan. Kita mungkin sakit hati orang di sana tak bertepuk untuk Liem Swie King. Tapi kita mungkin cuma bisa malu bila mereka bertepuk untuk kekalahan kita melawan maling.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus