DI Singapura, tak banyak orang bertepuk tangan untuk Indonesia.
Dan itu tak cuma terjadi ketika Swie King bertanding melawan Han
Jian, di ruang pertandingan bulutangkis yang seperti beruap oleh
panas.
Tapi haruskah kita kaget? Seharusnya tidak. Penonton bulutangkis
Singapura memang bukan orang Inggris yang hadir di pertandingan
kejuaraan All England di Empire Pool, Wembley. Di sana, para
penonton yang tertib bertepuk necis untuk permainan yang bagus.
Tapi di gedung bulutangkis Singapura, 85% dari 6.000 penonton
berteriak-teriak hanya untuk pemain RRC. Mereka a priori tak
mendukung tim Indonesia.
Jangan salah faham. Bukan karena orang-orang Singapura itu lebih
dekat kepada "negeri leluhur". Di Republik Singapura Lee Kuan
Yew cukup berhasil menanamkan rasa kebangsaan "Singapura" di
antara para keturunan Hoakiau itu. Bila RRC jadi favorit mereka
malam itu, semata-mata itu hanya karena Indonesia bukanlah
negeri yang mereka sukai.
Tidak enak, memang. Namun gambaran banyak orang Singapura
tentang Indonesia adalah gambaran yang tidak sebagus sangka
kita. Sudah tentu ini hanya dugaan awal, rumusan atas sebuah
kesan. Pengumpulan pendapat umum dl Singapura tentang
tetangganya yang besar di Selatan ini memang belum pernah
diadakan. Tapi di pertemuan-pertemuan tak resmi, dalam lelucon
semi iseng, dalam obrolan menenangga, citra mereka tentang orang
Indonesia kurang-lebih begini inilah orang-orang negeri melarat,
yang anehnya gemar menghamburkan uang dengan mudah ....
Orang Indonesia memang tercatat dalam statistik mereka sebagai
pengunjung yang deras dan sekaligus konsumen yang besar di
toko-toko Singapura -- lebih besar ketimbang turis Australia
ataupun Jepang. Sementara itu orang Singapura tahu, bahwa
Indonesia bukanlah negeri yang "maju". Bahkan agak jauh
ketingalan dari republik mereka yang kecil itu. "Saya sendiri
tak mampu untuk berbelanja seperti orang Indonesia berhelanja,"
ucap seorang diplomat Singapura, seraya menyebut income per
capita ASEAN.
Syahdan, Perdana Menteri Lee Kuan Yew pernah memproyeksikan
image bangsa Singapura sebagaimana ia membentuk dirinya
sendiri: warga dari masyarakat yang keras-kuat, makhluk yang
tidak suka berleha-leha dan berfoya-foya, manusia yang tak
merokok dan tak mau mabuk, bangsa yang bersih, suka sport dan
bekerja mati-matian.
Memang, sebuah masyarakat yang puritan dan praktis tanpa humor.
Tapi Lee Kuan Yew punya teori ada bangsa-bangsa yang
"berkebudayaan intens" dan ada yang bukan. Ada bangsa yang
sukses dengan cepat di bidang ekonomi lantaran tahan merangkak
dari bawah secara habis-habisan, ada bangsa yang senyum-senyum,
nyanyi-nyanyi dan akhirnya gelagapan.
Jepang, Korea, Taiwan, Cina, Vietnam dan tentu saja Singapura,
termasuk golongan yang pertama mereka yang dengan akar
kebudayaan Cina, tergolong intens" Indonesia jelas "tidak
intens". Bukankah di Bali orang main layang-layang, menyabung
jago, main gamelan dan menari-nari? Bukankah di Batak A Sing
Sing So tak putus-putusnya di paktertuak? Bukankah di Jawa
orang senyum terus menghabiskan waktu di bawah burung perkutut?
Tentu, teori semacam itu biasa ditertawakan. Ia tak melihat
sejarah dengan cermat dan perbedaan-perbedaan "subkultur" dalam
satu wilayah kebudayaan. Seorang penulis resensi majalah The
Economist malah pernah menyebut fikiran Lee Kuan Yew bagaikan
sinar laser tajam, cemerlang, tapi sempit. Namun teorinya
tentang "kebudayaan intens" bagaimana pun juga mencerminkan
citra yang banyak menghinggapi orang Singapura tentang diri
mereka sendiri dan tetangganya yang "Melayu". Prasangka? Apa pun
namanya, ia tak mudah beranjak.
Apalagi kita sendiri seperti selalu mengukuhkannya. Lihatlah
kasus harta simpanan Haji Thahir di pengadilan Singapura. Dialah
contoh bagaimana orang Indonesia suka akan kemewahan tapi tak
suka berkeringat habis-habisan. Kita mungkin sakit hati orang
di sana tak bertepuk untuk Liem Swie King. Tapi kita mungkin
cuma bisa malu bila mereka bertepuk untuk kekalahan kita melawan
maling.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini