TEPUK tangan keras bergema Jumat pagi lalu begitu wakil tiap
fraksi selesai menyampaikan kata akhirnya. Dihadiri 357 dari 460
anggotanya, sidang pleno DPR hari itu secara aklamasi menyetujui
RUU Pemilu untuk disahkan menjadi undang-undang. UU ini
merupakan perubahan dari UU no. 15/1969 tentang Pemilihan Umum
anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang
juga telah diubah dengan UU no. 4/1975.
Namun tidak semua wajah cerah pagi itu. Pada saat sidang pleno
berlangsung. Di ruang Fraksi Persatuan Pembangunan Amin
Iskandar dan Jusuf Hasjim kelihatan asyik berbicara dengan
wartawan. Beberapa anggota dari F-PP lainnya tampak
berseliweran. Mereka semua adalah dari unsur Nahdatul Ulama (NU)
yang pagi itu menolak hadir.
Hanya 38 orang dari F-PP hari itu hadir dalam sidang pleno.
Semuanya dari unsur non-NU. Tapi kehadiran mereka -- mewakili
fraksi -- telah memungkinkan UU itu disahkan secara aklamasi.
Sebab sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR keputusan berdasar
mufakat sah bila dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota yang
mewakili unsur semua fraksi. Hingga voting bisa dihindari.
Apa yang terjadi? "Kami menunjukkan sikap tidak menyetujui dan
tidak ikut bertanggung jawab karena tidak puas dengan materi RUU
Pemilu," kata Chalik Ali, anggota F-PP dari unsur NU. Sehari
sebelumnya, sikap kelompok NU ini telah diumumkan lewat suatu
pernyataan yang ditandatangani 8 orang -- antara lain Chalik
Ali, Jusuf Hasjim, Muchtar Chudori dan Aminuddin Azis -- yang
mewakili lebih dari 50 anggota F-PP dari unsur NU.
Keputusan untuk absen dalam sidang pleno itu dilakukan karena
menganggap F-PP sampai hari Kamis itu belum mencapai keputusan
untuk menyetujui materi RUU yang sebelumnya sudah diterima
secara aklamasi oleh Panitia Khusus (Pansus)/Pemilu.
Pernyataan itu juga menyebutkan, oknum yang hadir dalam sidang
pleno tidak bisa mengatasnamai fraksi tapi atas tanggung jawab
pribadinya. Dari kelompok non-NU keluar bantahan keras. "Kami
hadir dalam sidang pleno bukan atas nama pribadi, tapi atas
keputusan pimpinan fraksi tanggal 25 Februari malam," ucap
Ismail Hasan Metareum. Para anggota F-PP yang hadir dalam sidang
pleno itu juga mengantungi instruksi pimpinan F-PP yang
dikeluarkan Jumat pagi itu. Isi perintah yang ditandatangani
Tengku H.M. Saleh (Wakil Ketua dan H.A.A. Malik (Sekretaris)
itu menginstruksikan seluruh anggota F-PP hadir dalam sidang
pleno hari itu.
Waktu RUU ini pada 4 September 1979 disampaikan oleh Presiden
ke DPR, sudah bisa diduga pembicaraan akan seret. Sejak
pagi-pagi semua pihak yang berkepentingan -- parpol, golkar dan
pemerintah -- siap dengan memasang kuda-kuda. Alotnya pembahasan
bisa dilihat dari lama dan banyaknya sidang Pansus.
Sejak Pansus memulai sidang pada 19 Oktober 1979, pembicaraan
RUU ini berjalan tidak lancar. Masa sidang Pansus sendiri
diperpanjang 4 kali dengan rapat pleno 31 kali. Pertengahan
Januari lalu, Pansus membentuk panitia lobi dan panitia perumus
yang mengadakan rapat sebanyak 20 kali.
Panitia tersebut kemudian diperas lagi menjadi panitia lobi
kecil yang bertugas membahas materi yang krusial sampai 21
Februari. Karena jalannya tersendat, diadakan sarasehan antara
pimpinan DPR, fraksi dan Mendagri di rumah Wakil Ketua DPR
Mashuri. Setelah bekerja selama 110 hari, barulah Pansus bisa
mencapai konsensus terakhir.
Terutama buat parpol, UU Pemilu ini agaknya soal hidup-mati.
Nampaknya ekses-ekses yang terjadi selama Pemilu 1971 dan 1977
yang dianggap merugikan pihak parpol masih segar dalam ingatan
mereka. Karena itu F-PP misalnya sejak awal telah mengajak untuk
mengatur kembali atau memperbaiki susunan dan kedudukan MPR dan
DPR, serta sekaligus juga UU Pemilu. Alasannya: keresahan yang
ada dalam masyarakat terutama bersumber pada kurang berfungsinya
aparat kontrol seperti DPR dan DPRD.
Usul perombakan ini buat parpol berarti bak bertepuk sebelah
tangan. Sikap pemerintah sejak semula sudah jelas, seperti
tercantum dalam Rancangan Penjelasan RUU Pemilu. "Pada
prinsipnya perubahan-perubahan yang diadakan itu tidak bersifat
fundamental yang berarti tidak mengubah dasar pikiran, tujuan,
asas dan sistem pemilu sebagaimana dimaksud dalam UU Pemilu."
Memiliki 128 kursi di DPR -- PPP 99 kursi dan PDI 29 -- harapan
tipis bagi parpol untuk mencapai tujuan mereka.
Turut Campur
Hatta, berbagai taktik dan strategi diterapkan. Pihak pemerintah
dan F-KP misalnya mengisyaratkan kemungkinan terjadinya voting
jika parpol bersikeras menolak RUU ini. Sedang PDI menjawab akan
melakukan walk-out (meninggalkan ruang sidang) bila F-KP
memaksakan voting. Akhirnya, RUU ini tidak bisa disahkan DPR dan
pemerintah terpaksa memakai UU Pemilu sebelumnya. Pihak F-KP
mengana UU lama ini lebih mengmtungkan, namun parpol bisa
memakainya sebagai alasan untuk menuding bahwa pemerintah tidak
melaksanakan Ketetapan MPR untuk menyempurnakan UU Pemilu yang
ada.
Tercatat 48 materi, tergabung dalam 17 ikatan persandingan yang
dibahas oleh Pansus. Ada beberapa prinsip yang mati-matian
diperjuangkan pihak parpol. Yang dianggap terpenting adalah
masalah peningkatan peranan parpol dan golkar dalam pemilu
sesuai dengan Tap MPR no. IV/MPR/1978 dan pasal 6 Tap MPR no.
VII/MPR/1978. Ini meliputi kegiatan, perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan pemilu.
Parpol menuntut agar bersama golkar mereka ikutserta mulai dari
instansi tertinggi pemilu yaitu Lembaga Pemilihan Indonesia
(LPU) sampai pada instansi terendah Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS).
Masalah krusial lain adalah soal pengangkatan 25 anggota DPR
dari F-KP. Pihak parpol menghendaki agar jumlah anggota yang
diangkat hanya 75 orang saja dari ABRI hingga yang dipilih
menjadi 385 orang. "Kami menghendaki dengan dihapuskannya
pengangkatan 25 orang ini hak rakyat untuk memilih mereka akan
dikembalikan," ujar Chalik Ali dari F-PP.
Prinsip lainnya adalah kebebasan pemilih melaksanakan dan
menggunakan haknya dalam Pemilu, termasuk kebebasan untuk
mengunjungi kegiatan kampanye golongan manapun. Juga masalah
pengaturan para pejabat pemerintahan yang tidak dicalonkan dalam
pemilu untuk tidak turut campur secara langsung maupun tidak.
"Apa yang dicapai masing-masing pihak dalam RUU Pemilu adalah
sudah maksimal," kata Warsito Puspoyo, koordinator F-KP dalam
Pansus Pemilu. Maksudnya fraksinya telah melepas beberapa hal
dan memenuhi tuntutan parpol. "Jelas kita semua tidak bisa 100%
puas. Ada yang memberi dan ada yang menerima," lanjutnya.
Diakuinya, F-PP sejak semula selalu berusaha agar RUU Pemilu ini
tidak diselesaikan lewat voting.
Pamudji dari F-PDI menyatakan puas dengan UU Pemilu yang
disahkan, walau tidak 100%. "Bagaimanapun juga UU Pemilu ini
jauh lebih baik dibanding yang sebelumnya," ujarnya pekan lalu.
Ada yang baru dalam UU Pemilu yag baru disahkan itu. Di
samping perubahan pada beberapa pasal, ada juga penambahan
beberapa ketentuan baru. Selain itu masih ada lagi beberapa
kesepakatan yang akan dituangkan dalam peraturan pelaksanaan.
Nampaknya yang dianggap hasil terbesar parpol adalah dibentuknya
Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu dari tingkat pusat sampai
kecamatan. Keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintah, parpol,
golkar serta ABRI, masing-masing paling banyak 3 orang.
Sebelumnya parpol menuntut agar wakil parpol dan golkar bisa
menjadi anggota KPPS. Ini ditolak keras oleh pihak pemerintah
karena sesuai dengan Tap MPR, yang mempunyai wewenang
melaksanakan pemilu adalah Presiden selaku mandaris.
Tuntutan parpol agar anggota yang diangkat hanya 75 orang
mewakili ABRI dipatahkan pihak pemerintah F-KP dan F-ABRI dengan
alasan masalah pengangkatan 100 orang itu adalah hak prerogatif
Presiden. "Itu berdasar konsensus nasional pada 1968," kata
seorang tokoh F-KP.
Toh tuntutan parpol agar jatah 4 anggota dari Timor Timur
diambil dari 100 orang yang diangkat Presiden akhirnya berhasil.
Kabarnya Mendagri sukar diyakinkan untuk bisa menerima tuntutan
ini. Baru setelah Presiden sewaktu dikonsultasi menyatakan
persetujuannya, Amirmachmud mengiyakan.
Satu hal lagi yang memerlukan persetujuan Presiden adalah
masalah tanda gambar Ka'bah bagi PPP. F-PP menuntut agar secara
jelas tanda gambar Ka'bah dicantumkan dalam RUU Pemilu. Ini
ditentang keras oleh pihak pemerintah. F-KP sendiri dalam
rembukan kemudian menegaskan bahwa golkar tidak takut dengan
tanda gambar itu. Akhirnya yang berhasil dicapai adalah jaminan
lisan Mendagri -- yang telah disetujui Presiden -- bahwa dalam
Pemilu 1982 nanti tanda gambar Ka'bah pasti bisa dipakai PPP.
Menurut sumber TEMPO para wakil F-PP dalam Pansus kemudian
mendapat kecaman keras dari anggta lain karena berhasil
mendapat gentleman agreement Mendagri saja.
Dalam sarasehan, dicapai juga kesepakatan mengenai Berita Acara
pemungutan suara serta pemungutan suara ulangan. Dalam pemilu
yang akan datang Berita Acara pemungutan suara tidak lagi
dipisahkan dari hasil penghitungan suara, tapi disatukan.
Pemungutan suara di suatu TPS bisa dibatalkan dan diulangi bila
terbukti adanya ancaman pada pemilih atau bila ada kecurangan
dalam pemungutan dan penghitungan suara.
Ada usaha untuk memperbaiki pelaksanaan pemilu, sekalipun tidak
ada perubahan yang benar-benar mendasar. Yang jelas ada
perbaikan dalam mekanisme untuk mencegah timbul dan terjadinya
kecurangan dalam pemilu. Dengan kata lain, ada usaha menegakkan
prinsip pemilu yang langsung, bebas dan rahasia. Walau yang
terpenting adalah bagaimana pelaksanaannya nanti.
Yang ikut meramaikan perdebatan RUU Pemilu adalah munculnya
suatu ptisi tertanggal 20 Februari tetapi baru diedarkan 5 hari
kemudian. Ditandatangani 26 tokoh tua dan muda, antara lain
Kasman Singodimedjo, M. Natsir, Ali Sadikin, Hoegeng, A.H.
Nasution, Ismail Suny, Abdullah Syafiie, A.M. Fatwa dan Ibrahim
G. Zakir, petisi ini menghimbau DPR dan pemerintah agar dalam
usaha perbaikan UU Pemilu tidak tergesa-gesa mengambil
keputusan.
Lembek
Disebutkan juga dalam petisi agar pemilu sesuai dengan UUD 1945.
Pemilu yang bertentangan dengan UUD 1945 berarti mengingkari
tugas dan janji Orde Baru untuk melaksanakan UUD 1945 secara
murni dan konsukuen. Dalam masa 1965-1980 sudah cukup untuk
meniadakan alasan, hambatan dan rintangan yang menyebabkan
keadaan transisi dalam melaksanakan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
Sambutan terhadap petisi ini umumnya positif sekalipun banyak
yang menganggap pengajuannya terlambat karena pembicaraan RUU
Pemilu ini sudah hampir selesai. Kabarnya ada beberapa tokoh
yang menolak ikut menandatangani petisi itu karena menganggapnya
"terlalu lembek".
Pertanda apa semua ini? Disahkannya secara aklamasi UU Pemilu
yang baru, absennya kelompok NU dalam sidang yang mengesahkannya
dan munculnya petisi nampaknya tak lain adalah langkah demokrasi
kita. Disahkannya UU Pemilu tanpa kehadiran unsur NU menurut
Munasir dari F-PP merupakan "mufakat bulat yang benjol". Adakah
demokrasi Pancasila baru mencapai tahap itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini