Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memang bulat tapi benjol

Disetujui secara aklamasi ruu yang secara aklamasi diterima oleh pansus tapi tanpa unsur n.u. hasil yang dicapai sudah maksimal, dan lebih baik dari sebelumnya.

8 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEPUK tangan keras bergema Jumat pagi lalu begitu wakil tiap fraksi selesai menyampaikan kata akhirnya. Dihadiri 357 dari 460 anggotanya, sidang pleno DPR hari itu secara aklamasi menyetujui RUU Pemilu untuk disahkan menjadi undang-undang. UU ini merupakan perubahan dari UU no. 15/1969 tentang Pemilihan Umum anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang juga telah diubah dengan UU no. 4/1975. Namun tidak semua wajah cerah pagi itu. Pada saat sidang pleno berlangsung. Di ruang Fraksi Persatuan Pembangunan Amin Iskandar dan Jusuf Hasjim kelihatan asyik berbicara dengan wartawan. Beberapa anggota dari F-PP lainnya tampak berseliweran. Mereka semua adalah dari unsur Nahdatul Ulama (NU) yang pagi itu menolak hadir. Hanya 38 orang dari F-PP hari itu hadir dalam sidang pleno. Semuanya dari unsur non-NU. Tapi kehadiran mereka -- mewakili fraksi -- telah memungkinkan UU itu disahkan secara aklamasi. Sebab sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR keputusan berdasar mufakat sah bila dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota yang mewakili unsur semua fraksi. Hingga voting bisa dihindari. Apa yang terjadi? "Kami menunjukkan sikap tidak menyetujui dan tidak ikut bertanggung jawab karena tidak puas dengan materi RUU Pemilu," kata Chalik Ali, anggota F-PP dari unsur NU. Sehari sebelumnya, sikap kelompok NU ini telah diumumkan lewat suatu pernyataan yang ditandatangani 8 orang -- antara lain Chalik Ali, Jusuf Hasjim, Muchtar Chudori dan Aminuddin Azis -- yang mewakili lebih dari 50 anggota F-PP dari unsur NU. Keputusan untuk absen dalam sidang pleno itu dilakukan karena menganggap F-PP sampai hari Kamis itu belum mencapai keputusan untuk menyetujui materi RUU yang sebelumnya sudah diterima secara aklamasi oleh Panitia Khusus (Pansus)/Pemilu. Pernyataan itu juga menyebutkan, oknum yang hadir dalam sidang pleno tidak bisa mengatasnamai fraksi tapi atas tanggung jawab pribadinya. Dari kelompok non-NU keluar bantahan keras. "Kami hadir dalam sidang pleno bukan atas nama pribadi, tapi atas keputusan pimpinan fraksi tanggal 25 Februari malam," ucap Ismail Hasan Metareum. Para anggota F-PP yang hadir dalam sidang pleno itu juga mengantungi instruksi pimpinan F-PP yang dikeluarkan Jumat pagi itu. Isi perintah yang ditandatangani Tengku H.M. Saleh (Wakil Ketua dan H.A.A. Malik (Sekretaris) itu menginstruksikan seluruh anggota F-PP hadir dalam sidang pleno hari itu. Waktu RUU ini pada 4 September 1979 disampaikan oleh Presiden ke DPR, sudah bisa diduga pembicaraan akan seret. Sejak pagi-pagi semua pihak yang berkepentingan -- parpol, golkar dan pemerintah -- siap dengan memasang kuda-kuda. Alotnya pembahasan bisa dilihat dari lama dan banyaknya sidang Pansus. Sejak Pansus memulai sidang pada 19 Oktober 1979, pembicaraan RUU ini berjalan tidak lancar. Masa sidang Pansus sendiri diperpanjang 4 kali dengan rapat pleno 31 kali. Pertengahan Januari lalu, Pansus membentuk panitia lobi dan panitia perumus yang mengadakan rapat sebanyak 20 kali. Panitia tersebut kemudian diperas lagi menjadi panitia lobi kecil yang bertugas membahas materi yang krusial sampai 21 Februari. Karena jalannya tersendat, diadakan sarasehan antara pimpinan DPR, fraksi dan Mendagri di rumah Wakil Ketua DPR Mashuri. Setelah bekerja selama 110 hari, barulah Pansus bisa mencapai konsensus terakhir. Terutama buat parpol, UU Pemilu ini agaknya soal hidup-mati. Nampaknya ekses-ekses yang terjadi selama Pemilu 1971 dan 1977 yang dianggap merugikan pihak parpol masih segar dalam ingatan mereka. Karena itu F-PP misalnya sejak awal telah mengajak untuk mengatur kembali atau memperbaiki susunan dan kedudukan MPR dan DPR, serta sekaligus juga UU Pemilu. Alasannya: keresahan yang ada dalam masyarakat terutama bersumber pada kurang berfungsinya aparat kontrol seperti DPR dan DPRD. Usul perombakan ini buat parpol berarti bak bertepuk sebelah tangan. Sikap pemerintah sejak semula sudah jelas, seperti tercantum dalam Rancangan Penjelasan RUU Pemilu. "Pada prinsipnya perubahan-perubahan yang diadakan itu tidak bersifat fundamental yang berarti tidak mengubah dasar pikiran, tujuan, asas dan sistem pemilu sebagaimana dimaksud dalam UU Pemilu." Memiliki 128 kursi di DPR -- PPP 99 kursi dan PDI 29 -- harapan tipis bagi parpol untuk mencapai tujuan mereka. Turut Campur Hatta, berbagai taktik dan strategi diterapkan. Pihak pemerintah dan F-KP misalnya mengisyaratkan kemungkinan terjadinya voting jika parpol bersikeras menolak RUU ini. Sedang PDI menjawab akan melakukan walk-out (meninggalkan ruang sidang) bila F-KP memaksakan voting. Akhirnya, RUU ini tidak bisa disahkan DPR dan pemerintah terpaksa memakai UU Pemilu sebelumnya. Pihak F-KP mengana UU lama ini lebih mengmtungkan, namun parpol bisa memakainya sebagai alasan untuk menuding bahwa pemerintah tidak melaksanakan Ketetapan MPR untuk menyempurnakan UU Pemilu yang ada. Tercatat 48 materi, tergabung dalam 17 ikatan persandingan yang dibahas oleh Pansus. Ada beberapa prinsip yang mati-matian diperjuangkan pihak parpol. Yang dianggap terpenting adalah masalah peningkatan peranan parpol dan golkar dalam pemilu sesuai dengan Tap MPR no. IV/MPR/1978 dan pasal 6 Tap MPR no. VII/MPR/1978. Ini meliputi kegiatan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pemilu. Parpol menuntut agar bersama golkar mereka ikutserta mulai dari instansi tertinggi pemilu yaitu Lembaga Pemilihan Indonesia (LPU) sampai pada instansi terendah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Masalah krusial lain adalah soal pengangkatan 25 anggota DPR dari F-KP. Pihak parpol menghendaki agar jumlah anggota yang diangkat hanya 75 orang saja dari ABRI hingga yang dipilih menjadi 385 orang. "Kami menghendaki dengan dihapuskannya pengangkatan 25 orang ini hak rakyat untuk memilih mereka akan dikembalikan," ujar Chalik Ali dari F-PP. Prinsip lainnya adalah kebebasan pemilih melaksanakan dan menggunakan haknya dalam Pemilu, termasuk kebebasan untuk mengunjungi kegiatan kampanye golongan manapun. Juga masalah pengaturan para pejabat pemerintahan yang tidak dicalonkan dalam pemilu untuk tidak turut campur secara langsung maupun tidak. "Apa yang dicapai masing-masing pihak dalam RUU Pemilu adalah sudah maksimal," kata Warsito Puspoyo, koordinator F-KP dalam Pansus Pemilu. Maksudnya fraksinya telah melepas beberapa hal dan memenuhi tuntutan parpol. "Jelas kita semua tidak bisa 100% puas. Ada yang memberi dan ada yang menerima," lanjutnya. Diakuinya, F-PP sejak semula selalu berusaha agar RUU Pemilu ini tidak diselesaikan lewat voting. Pamudji dari F-PDI menyatakan puas dengan UU Pemilu yang disahkan, walau tidak 100%. "Bagaimanapun juga UU Pemilu ini jauh lebih baik dibanding yang sebelumnya," ujarnya pekan lalu. Ada yang baru dalam UU Pemilu yag baru disahkan itu. Di samping perubahan pada beberapa pasal, ada juga penambahan beberapa ketentuan baru. Selain itu masih ada lagi beberapa kesepakatan yang akan dituangkan dalam peraturan pelaksanaan. Nampaknya yang dianggap hasil terbesar parpol adalah dibentuknya Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu dari tingkat pusat sampai kecamatan. Keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintah, parpol, golkar serta ABRI, masing-masing paling banyak 3 orang. Sebelumnya parpol menuntut agar wakil parpol dan golkar bisa menjadi anggota KPPS. Ini ditolak keras oleh pihak pemerintah karena sesuai dengan Tap MPR, yang mempunyai wewenang melaksanakan pemilu adalah Presiden selaku mandaris. Tuntutan parpol agar anggota yang diangkat hanya 75 orang mewakili ABRI dipatahkan pihak pemerintah F-KP dan F-ABRI dengan alasan masalah pengangkatan 100 orang itu adalah hak prerogatif Presiden. "Itu berdasar konsensus nasional pada 1968," kata seorang tokoh F-KP. Toh tuntutan parpol agar jatah 4 anggota dari Timor Timur diambil dari 100 orang yang diangkat Presiden akhirnya berhasil. Kabarnya Mendagri sukar diyakinkan untuk bisa menerima tuntutan ini. Baru setelah Presiden sewaktu dikonsultasi menyatakan persetujuannya, Amirmachmud mengiyakan. Satu hal lagi yang memerlukan persetujuan Presiden adalah masalah tanda gambar Ka'bah bagi PPP. F-PP menuntut agar secara jelas tanda gambar Ka'bah dicantumkan dalam RUU Pemilu. Ini ditentang keras oleh pihak pemerintah. F-KP sendiri dalam rembukan kemudian menegaskan bahwa golkar tidak takut dengan tanda gambar itu. Akhirnya yang berhasil dicapai adalah jaminan lisan Mendagri -- yang telah disetujui Presiden -- bahwa dalam Pemilu 1982 nanti tanda gambar Ka'bah pasti bisa dipakai PPP. Menurut sumber TEMPO para wakil F-PP dalam Pansus kemudian mendapat kecaman keras dari anggta lain karena berhasil mendapat gentleman agreement Mendagri saja. Dalam sarasehan, dicapai juga kesepakatan mengenai Berita Acara pemungutan suara serta pemungutan suara ulangan. Dalam pemilu yang akan datang Berita Acara pemungutan suara tidak lagi dipisahkan dari hasil penghitungan suara, tapi disatukan. Pemungutan suara di suatu TPS bisa dibatalkan dan diulangi bila terbukti adanya ancaman pada pemilih atau bila ada kecurangan dalam pemungutan dan penghitungan suara. Ada usaha untuk memperbaiki pelaksanaan pemilu, sekalipun tidak ada perubahan yang benar-benar mendasar. Yang jelas ada perbaikan dalam mekanisme untuk mencegah timbul dan terjadinya kecurangan dalam pemilu. Dengan kata lain, ada usaha menegakkan prinsip pemilu yang langsung, bebas dan rahasia. Walau yang terpenting adalah bagaimana pelaksanaannya nanti. Yang ikut meramaikan perdebatan RUU Pemilu adalah munculnya suatu ptisi tertanggal 20 Februari tetapi baru diedarkan 5 hari kemudian. Ditandatangani 26 tokoh tua dan muda, antara lain Kasman Singodimedjo, M. Natsir, Ali Sadikin, Hoegeng, A.H. Nasution, Ismail Suny, Abdullah Syafiie, A.M. Fatwa dan Ibrahim G. Zakir, petisi ini menghimbau DPR dan pemerintah agar dalam usaha perbaikan UU Pemilu tidak tergesa-gesa mengambil keputusan. Lembek Disebutkan juga dalam petisi agar pemilu sesuai dengan UUD 1945. Pemilu yang bertentangan dengan UUD 1945 berarti mengingkari tugas dan janji Orde Baru untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsukuen. Dalam masa 1965-1980 sudah cukup untuk meniadakan alasan, hambatan dan rintangan yang menyebabkan keadaan transisi dalam melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Sambutan terhadap petisi ini umumnya positif sekalipun banyak yang menganggap pengajuannya terlambat karena pembicaraan RUU Pemilu ini sudah hampir selesai. Kabarnya ada beberapa tokoh yang menolak ikut menandatangani petisi itu karena menganggapnya "terlalu lembek". Pertanda apa semua ini? Disahkannya secara aklamasi UU Pemilu yang baru, absennya kelompok NU dalam sidang yang mengesahkannya dan munculnya petisi nampaknya tak lain adalah langkah demokrasi kita. Disahkannya UU Pemilu tanpa kehadiran unsur NU menurut Munasir dari F-PP merupakan "mufakat bulat yang benjol". Adakah demokrasi Pancasila baru mencapai tahap itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus