BEDA pendapat dalam F-PP antara kelompok NU dan non-NU
mengenai RUU Pemilu menonjol di hari-hari terakhir menjelang
disahkannya RUU tersebut. TEMPO berusaha merekam berkembangnya
perbedaan sikap itu menurut urutan peristiwa.
Pada 25 Februari diadakan rapat DPP PPP di rumah Ketua Umum J.
Naro. Hasilnya DPP dapat menerima hasil pembahasan RUU Pemilu
sebagai yang dilaporkan wakil F-PP dalam Pansus. Berdasar rapat
itu, pada 27 Februari dikeluarkan instruksi DPP pada pimpinan
F-PP untuk menerima RUU dalam sidang pleno 29 Februari.
Alasannya sebagian besar usul F-PP yang dinilai prinsipiil telah
tercantum dalam RUU.
Oleh kelompok NU, rapat ini dianggap tidak sah. Bahkan menurut
Jusuf Hasjim, Idham Chalid sendiri belakangan menjelaskan bahwa
rapatnya di rumah Naro pada 25 Februari sebagai "bukan rapat
DPP".
Malamnya di ruang 434 DPR diselenggarakan rapat pimpinan F-PP,
dihadiri antara lain oleh Zamroni (NU) H.M. Saleh (Perti), Imam
Sofwan (NU), Sudardji (MI) dan Amin Iskandar (NU). Rapat
memutuskan: F-PP bisa menerima kalau saksi/pengawas bukan
sebagai anggota KPPS, tapi masih termasuk organik KPPS. Dengan
bekal inilah Imam Sofwan sebagai anggota Pansus mengikuti
sarasehan. Pada 26 Februari sarasehan tingkat tinggi memasuki
hari terakhir. Masalah paling krusial, yaitu keikutsertaan
parpol dan golkar dalam kepanitiaan pemilu sampai tingkat KPPS
dengan kedudukan sebagai pengawas dan saksi, akhirnya berhasil
diselesaikan.
Waktu timbul kemacetan dalam sarasehan, suatu kelompok kecil
terdiri Sudarko (F-KP), Suprapto (Sekjen Depdagri), Ismail
Metareum dan Chalik Ali (F-PP), Rubiono (F-ABRI) serta Subagio
dan Abdul Madjid (F-PDI) masuk ke kamar kerja Wakil Ketua DPR
Mashuri di lantai III DPR untuk berunding. Dalam kelompok kecil
ini, F-KP, F-ABRI dan pemerintah menyetujui tuntutan parpol
untuk ikut serta sebagai pengawas dan saksi sampai KPPS.
Hasil ini kemudian dilaporkan pada saraschan di ruang tamu
Mashuri. Pihak parpol kelihatan senang, namun Mendagri
Amirmachmud dan Sukardi (F-ABRI) kaget mendengar itu. Setelah
diyakinkan, barulah mereka mengerti Konon Mendagri langsung
berkonsultasi dengan Presiden lewat telepon.
Keluar dari sarasehan, Imam Sofwan (F-PP) menyatakan cukup puas
dengan hasil yang dicapai fraksinya. Tapi sampai malam ternyata
ia belum mengetahui sikap fraksinya. Malamnya di kalangan F-PP
mulai timbul perbedaan pendapat.
Bersamaan dengan rapat pleno Pansus yang memutuskan menyetujui
secara aklamasi RUU Pemilu, pada 27 Februari di ruang KK-III
DPR diadakan rapat fraksi PP. Kelompok NU menyatakan tidak
menyetujui hasil Pansus dan kabarnya Imam Sofwan sempat pingsan
karena dikecam kanan-kiri.
Malamnya perdebatan dibawa ke atas dalam rapat PB NU di kantor
PB di Jalan Kramat Raya. Rapat yng dihadiri antara lain oleh
K.H. Idham Chalid dan K.H. Maskur ini dipimpin oleh K.H. Anwar
Musyaddad dan berlangsung dengan sengit sampai subuh. Konon
keputusan diambil secara voting. Hasil rapat "dapat memahami"
sikap kelompok NU dalam F-PP yang tidak akan menghadiri sidang
pleno DPR 29 Februari karena beberapa materi yang prinsipiil
belum tertuang dalam RUU. Idham Chalid dan Masykur menyatakan
tunduk pada keputusan mayoritas.
Sebelumnya, pada pagi 27 Iebruari itu keluar surat dari DPP
PPP yang memutuskan menerima rumusan RUU Pemilu, ditandatangani
Idhan Chalid, J. Naro, Masykur dan Jahja Ubeid. Berdasar ini
H.M. Saleh dan H.A. Malik mengatasnamai pimpinan F-PP pada 28
Februari mengeluarkan edaran menganjurkan para anggota F-PP
menghadiri sidang pleno 29 Februari.
Surat yang dikeluarkan sore hari ternyata hanya diedarkan pada
kelompok non-NU. Hari itu hubungan kelompok NU dan non-NU di
ruang fraksi nampak "kurang mesra". Kelompok NU sore itu
mengadakan rapat lagi dan menegaskan kembali tidak akan hadir
dalam sidang pleno yang mengesahkan RUU Pemilu hari Jumat
Penyiaran keputusan ini tergesa-gesa hingga tidak semua koran
sempat diberitahu.
Jadi apa sebetulnya beda pendapat antara kelompok NU dan non-NU?
Kelompok non-NU menganggap sikap yang mereka ambil telah sesuai
dengan keputusan rapat DPP partai. Sedang dalam kelompok NU
sendiri terasa ada beda pendapat yang bisa disatukan dalam rapat
PB lewat voting. Sikap yang diputuskan: menganggap ada kesalahan
prosedur dalam penentuan keputusan mengenai RUU Pemilu.
Menurut Chalik Ali, dalam memutuskan suatu RUU, keputusan harus
diambil dalam rapat pimpinan/anggota fraksi. Lazimnya, surat DPP
dibahas dalam rapat itu. Sedang surat DPP mengenai RUU Pemilu
tidak dibahas dalam rapat pimpinan/anggota fraksi.
Tapi bukankah wakil F-PP dalam Pansus sudah memaraf beberapa
materi dalam RUU sebagai tanda setuju? "Benar," kata Jusuf
Hasjim. "Tapi sidang pleno fraksi dapat menilainya kembali,
apakah hasil yang digarap Pansus sesuai dengan tuntutan atau
tidak," tambahnya.
Memang belum jelas, siapa yang lebih berhak memutuskan: DPP
partai atau rapat pleno fraksi. Rupanya dalam tubuh PPP sendiri
makin kuat kehendak untuk mengubah cara pengambilan keputusan
yang selama ini masih dianggap "tradisional". Akan sikap keras
kelompok muda dalam NU, banyak yang menafsirkan bahwa sikap itu
juga merupakan bagian dari kampanye menjelang 1982. untuk
menarik simpati calon pemilih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini